Setelah sepuluh tahun berumah tangga, akhirnya Sri Lestari, atau biasa di panggil Tari, bisa pisah juga dari rumah orang tuanya.
Sekarang, dia memilih membangun rumah sendiri, yang tak jauh dari rumah kedua orang tuanya
Namun, siapa sangka, keputusan Tari pisah rumah, malah membuat masalah lain. Dia menjadi bahan olok-olokan dari tetangganya.
Tetangga yang dulunya dikenal baik, ternyata malah menjadikannya samsak untuk bahan gosip.
Yuk, ikuti kisah Khalisa serta tetangganya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kasih Sayang Seorang Abang
"Nanti ya mak, doakan anakmu mudah rejekinya. Emas ini untuk masa depan Nisa, bukan untuk Andin," balas Amar di seberang sana.
"Pokoknya mak gak mau tahu, kamu harus adil sama mak dan istrimu. Ingat, kesuksesan mu, berkat doa emak juga, bukan hanya doa istrimu saja," cerocos Rohani.
"Iya, aku tahu ... Terima kasih mak, nanti jika pekerjaan pagar mesjid ini selesai, aku akan kirimkan uangnya untuk mak dan Andin. Agar kalian bisa membeli apapun yang emak mau," Amar mencoba bersabar menanggapi emaknya.
Karena puas akan jawaban dari Amar, barulah, Rohani menyerahkan kembali ponsel ke tangan Andin.
"Sabar ya," pinta Amar.
Andin hanya mengangguk, karena dia tidak terganggu sedikit pun tentang Amar memberikan emaknya uang. Toh nanti, jika Rohani meninggal, semua emas-emas itu, akan menjadi milik suaminya. Jadi, anggap aja, pemberian uang ke Rohani, sama dengan tabungan masa depan.
Setidaknya selama dia menikah dengan Amar, lelaki itu cukup bertanggung-jawab padanya. Dan Amar juga cukup memahaminya dalam segala hal.
Maka dari itu, Andin tak pernah cemburu, kala Rohani memamerkan emas ataupun uang dari Amar.
Setelah selesai berbincang dengan Amar. Andin memutuskan untuk memasak. Apa lagi, Nisa juga sudah tertidur pulas dalam pelukannya.
Di dapur, Andin mulai menyiapkan ikan kembung, yang sebelumnya di beli sama Azhar.
Hari ini, dia berencana, ingin menggoreng saja ikan tersebut. Tak lupa terasi dan kuah sayur bening sebagai pelengkapnya.
Andin juga masak menu mpasi untuk Nisa. Dia memakai ikan kembung, sebagai bahan utamanya.
Selesai masak, Andin mengetuk pintu kamar mertuanya. Dia ingin menjaga sang mertua untuk makan bersama. Seraya, ingin bicara dari hati ke hati.
"Masak apa?" tanya Rohani menuju dapur.
"Lihat aja," sahut Andin lirih.
"Kamu kok cuma masak ini? Ikannya kok cuma ini? Kan, aku juga beli kakap," cerocos Rohani, kala melihat menu sederhana yang ada di meja makan.
"Keburu lapar mak, ini aja mumpung Nisa tidur," bela Andin. "Kalo memang emak mau kakap, emak masak sendiri aja ya, jangan lupa, sisihkan juga untuk ku," ujar Andin cengengesan.
Rohani memutar mata malas, namun dia menarik kursi dan mulai menyendok nasi.
Andin baru saja mengambil piring, terdengar suara Nisa menangis. Alhasil, Andin kembali meletakan kembali piringnya. Dan berlari, ke kamar untuk melihat anaknya.
Sedangkan Rohani, semakin mempercepat makannya. Karena ia ingin bergantian sama Andin untuk menjaga Nisa.
Selesai makan, Rohani menyiapkan sepiring penuh nasi dan juga beberapa potong ikan untuk menantunya. Dia membawa piring tersebut ke kamar Andin.
"Makan dulu, biar Nisa emak yang asuh," ujar Rohani menyerahkan piring di depan wajah Andin.
Andin tersenyum simpul. Karena walaupun mertuanya terlihat kejam, akan tetapi sang mertua tidak segan memperhatikannya dengan memberi perhatian-perhatian kecil, seperti ini.
"Makasih mak," lirih Andin.
...****************...
Namanya juga hidup, udah tiga hari ini, ikan di warung Azhar tidak habis seperti biasanya. Padahal, dia sudah mengurangi jatah dari pemasok ataupun agen.
Yang sebelumnya dia pernah mengambil sekitar empat puluh atau lima puluh kilo. Sekarang, Azhar hanya memasok sekitar dua puluh lima sampai tiga puluh kilo. Akan tetapi, ikannya tak habis seperti biasanya.
"Daffa, tolong bagikan ikan ini pada orang kampung sebelah ya, yang biasa belanja disini," pinta Azhar, mulai membungkus ikan tersisa untuk di bagikan.
"Kok kampung sebelah, kan di kampung kita juga banyak orang fakir yah," ujar Daffa mengernyit bingung.
"Kita gak mungkin memberinya pada orang yang sama setiap hari, takut mereka kebiasaan. Lagi pula, orang kampung sebelah juga ada yang kerabat nenek kan?" tanya Azhar sembari menimbang rata ikan yang hendak di bagi. "Untuk lima orang aja ya, karena ini untuk kita makan," lanjut Azhar menyerahkan kantong plastik berisi ikan pada Daffa.
Daffa melesat pergi, setelah mengetahui kemana ikan itu harus di bawa
Begitu Daffa pergi, Amar mulai merapikan warung. Dia juga mulai menimbang-nimbang gula agar nanti saat dia tidak ada, Daffa lebih mudah dalam menjaganya.
Daffa pun kembali, dan Azhar minta izin pada anaknya untuk pulang, sedangkan Daffa sendiri di pinta untuk menjaga warung, menggantikannya.
"Hai anak cantik, hari ini rewel gak?" tanya Azhar setelah membersihkan dirinya. "Kamu harus baik budi ya, jangan buat ibu kerepotan," lanjut Azhar berbicara sendiri.
Tari yang berada di samping anaknya tersenyum melihat interaksi suaminya.
"Ibunya bawel gak? Apa ada keluh-kesah yang ingin di sampaikan?" tanya Azhar dengan suara yang lembut, dia bahkan mengecup sekilas punggung tangan istrinya.
"Bagaimana bisa bawel, suaminya aja semanis ini," kekeh Tari.
"Bagaimana gak manis, pengorbanan istrinya sampai membuat aku sebagai suami takut, takut kehilangan mu," lirih Azhar dengan suara yang berat.
Tari masih dalam masa nifas. Jadi, dia di haruskan untuk terus istirahat oleh Sari. Bahkan, untuk sekedar memengang sapu aja, dia di larang.
Begitu juga jika Sari tidak ada. Baik Daffa dan Azhar menjaga Tari secara bergantian. Dia dijaga bak kaca yang sangat rentan pecah. Seluruh perhatian hanya di curahkan untuk dia seorang.
Setelah makan, dan sedikit bermanja-manja dengan Tari. Akhirnya, Azhar kembali ke warung.
Dan saatnya Daffa yang kembali pulang ke rumah. Di karenakan, dia sudah duduk di kelas tiga SMA, dia harus bekerja ektra, untuk selangkah lebih dekat dengan cita-citanya.
"Betah amat sih, ni bayi tidur kalo sore gini," Daffa masuk kamar Tari, dan tidur di samping adiknya.
"Namanya juga bayi nak, baru juga tiga minggu. Ya, selain tidur ya nangis kerjaannya," sahut Tari, melirik Daffa.
"Bosan gak sih bu, di rumah terus selama empat puluh empat hari?" tanya Daffa penasaran.
"Bosan, tapi karena nenek mu melarang, ibu bisa apa?" kekeh Tari.
"Iya sih, nenek kalo marah, seperti bom yang mau meledak ya bu, bikin seisi rumah takut," gelak Daffa.
"Kamu malu gak, udah remaja gini punya adik?" akhirnya Tari mengeluarkan uneg-uneg ataupun rasa penasarannya pada Daffa.
"Gak lah, bu ... Dia adik ku, ngapain malu, dan aku bersyukur dia lahir saat aku remaja, karena sekarang tak ada lagi rasa cemburu dari ku untuknya, malah aku sebagai abang ingin menjaganya seperti menjaga ibu," jelas Daffa mencium pipi adiknya yang masih terlelap. "Aku berjanji, akan menjaganya seperti menjaga harta benda yang paling penting di hidupku," lanjut Daffa tulus.
Semoga masalahnya lekas membaik thor