Mahren Syafana Khumairoh tidak pernah menyangka dalam hidupnya, jika pertemuannya dengan penyanyi religi —Laki Abrisan Gardia akan membawanya pada kekacauan tak berujung.
Berawal dari bantuan lelaki itu yang membawanya masuk ke dalam hotel, menjadi berita media yang tak ada habisnya. Ditambah sulutan amarah dari keluarga besar sang idola yang terus menuntut sebuah penyelesaian. Pada akhirnya membuat Laki dan Syafa menyepakati perjanjian dalam jalinan suci di luar nalar manusia normal.
Apakah keputusan yang mereka ambil mampu membebaskan mereka dari masalah? Atau malah semakin dalam menyiksa keduanya?
AWAS! ZONA BAPER!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alyanceyoumee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 Ketidak Sempurnaan
لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنَّسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ
فِيهِنَّ خَيْرَتٌ حِسَانٌ فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَنَّ
"Aww... Astagfirullah..." desis Syafa yang terbangun dari tidur. Rasa pegal di seluruh tubuhnya benar-benar tersebar sempurna. Tentu saja, sejak lima jam lalu wanita itu tidur dengan posisi duduk di kursi rias. Bagaimana tidak pegal?
Sambil memijat-mijat tengkuk, Syafa mulai berdiri. Membenarkan posisi pinggangnya yang berasa mau patah, ke sebelah kiri dan kanan bergantian. Setelah sendi pinggang nya berbunyi, baru ia merasa sedikit baikan.
Kedua alisnya mengerut. Suara tahrim? Di tingkat delapan puluh juga masih terdengar ya suara tahrim di mesjid? Alhamdulillah... batinnya. Dia merasa bahagia saja saat mendengar do'a-do'a di subuh... tidak, tunggu sebentar. Ini bukan do'a, tapi... surat Ar-rahman? Bener gak sih? Otaknya mulai berfikir keras. Dan semua tanya terjawab saat kedua iris mata ambernya menemukan sosok Laki yang tengah tertidur lelap sambil melantunkan surat Ar-rahman.
Ngigau? desis Syafa sambil berjalan mendekati ranjang.
Bagus ya lelaki jaman sekarang, bisa tidur terlelap sampe-sampe ngigau di tempat tidur yang nyaman, tanpa memikirkan ada wanita yang tidur di tempat berukuran 35 cm persegi. Waw! rutuk Syafa yang merasa rugi karena tidur di atas kursi seukuran itu.
Perlahan Syafa mendekatkan wajahnya ke arah Laki. Dia hanya penasaran akan pendengarannya sendiri. Bener Ar-rahman ko, desisnya dengan posisi wajah tepat satu jengkal di atas wajah Laki yang tidur terlentang. Lalu...
Jeng..
Tiba-tiba kedua bola mata Laki terbuka lebar dan bertanya, "Kamu ngapain?"
"Astagfirullah!" Syafa terkesiap dan dengan tidak teratur berjalan mundur. Dan...
Bruk!
Dia terjatuh.
Aw... ringisnya sambil mengusap pantat berulang. Syafa jatuh terduduk di lantai dengan jarak lima langkah dari Laki.
"Kenapa kamu mengagetkanku?!" protesnya sambil merasakan kesakitan.
"Kagetan mana jika dibandingkan dengan orang yang lagi tidur pas bangun tiba-tiba beberapa senti diatasnya ada wajah seorang wanita?! Apa yang kamu lakukan? Mau mencuri ciuman pas saya tidur?!" kelakar Laki.
"Enak saja, Enggak!!!" bantah Syafa sewot.
Laki duduk, lalu sedikit menggeliat sambil berkata, "If you want to kiss me, don't steal in secret. just ask directly, I'll grant it later. With pleasure." Ada senyum meledek tersungging di bibir Laki.
"It's just your wish. and until whenever, it will never happen!" tegas Syafa.
"Oke, kita lihat saja nanti," tukas Laki dengan wajah menantang.
"Jam berapa sekarang?" lanjut Laki.
"Jam lima pagi! Sana ke kamar kamu! Aku mau shalat subuh. Sudah kesiangan!" usir Syafa. Wajahnya jutek seketika. Dia tidak suka Laki membicarakan hal jorok seperti itu. Lambungnya langsung kontraksi. Asam lambung naik, memicu perasaan mau muntah.
"Di bawah kan ada mushala, ngapain shalat di kamar? Berjamaah dapet 27 pahalanya. Gak tertarik?"
Sesaat Syafa terdiam. Dia bingung menjawab tawaran Laki. Antara yes or no.
"Kalau kebetulan lagi bisa berjamaah apa susahnya, kan? Itu sih menurut saya. Kalau..."
"Iya, ayo berjamaah," potong Syafa.
"Maksudnya..."
"Iya ngerti. Kamu ambil wudhu saja dulu. Bukannya aku gak mau, cuma gak enak saja tadinya." Syafa menjelaskan apa yang dirinya rasakan. Jujur dari awal bukannya tidak kepikiran mengenai berjamaah. Satu banding dua puluh tujuh, mending dua puluh tujuh kemana-mana lah. Cuma Syafa hanya merasa tidak yakin Laki mau melakukannya. Syafa bukan istri yang benar-benar ingin dijadikan makmumnya. Itu saja.
"Gak enak kenapa? Tunggu saja di mushala " gumam Laki. "Ini saya bawa, mau saya ketik," lanjutnya pelan, sambil mengacungkan kertas SOP yang di tulis Syafa semalam, lalu berjalan menuju pintu keluar kamar Syafa.
...🍃🍃🍃...
Dari kejauhan tampak Laki dan Syafa yang duduk di belakangnya tengah menengadahkan kedua telapak tangan. Setelah menjalankan dua rakaat shalat subuh berjemaah, dengan di pimpin Laki sebagai seorang imam dan... suami, mereka memunajatkan banyak do'a. Keduanya terlihat begitu khusu.
Selanjutnya, perlahan Laki memutar tubuh. mengulurkan tangan kanan. Mengajak Syafa bersalaman.
Kedua alis Syafa mengerut. Membiarkan tangan kanan Laki menggantung dihadapan. Aku harus menyalaminya bagaimana? Biasa saja seperti rekan kerja, atau menciumnya, karena peran dia sebagai seorang suami? Syafa bingung sendiri.
Ah... Terserah, simpulnya sambil menjabat tangan Laki. Coba bayangkan jabatan tangan teman dekat yang setelah sekian lama tiba-tiba kembali bertemu. Syafa melakukan jabatan tangan gaya seperti itu. Pertama dia menjabat tangan Laki kuat, menaikan turunkannya dua kali. Lalu setelahnya dia melilitkan jempol tangan miliknya dengan milik Laki.
"Makasih subuh ini sudah membantuku mendapatkan dua puluh tujuh pahala," ungkap Syafa setelah beberapa detik melepaskan lengan Laki.
Laki melongo. Dia enggan menjawab apa yang Syafa katakan. Jika wanita lain, apa sikapnya akan sama seperti dia? penasaran Laki. Wanita ini lama-lama makin nyebelin! gerundel Laki. Dia tidak terima sikap semaunya Syafa.
"Ulangi!" perintah Laki penuh penekanan.
"Apanya yang ulangi?" Syafa tidak mengerti.
"Salamannyaaa!" ucap Laki dengan memanjangkan bagian ujung dari kata tersebut.
"Hm? Kenapa?" Syafa masih tidak mengerti. Namun dia bertanya sambil kembali menerima jabatan tangan Laki. Dan di luar prediksi, Laki menggerakkan tangannya ke wajah Syafa. Lebih tepatnya bibir Syafa. Membuat Syafa jadi mencium punggung tangannya.
"Begini yang benar. Itu baru terlihat seperti suami istri," ungkap Laki sambil berdiri dan bergegas pergi.
Syafa mendelik. Menatap sinis kepergian Laki. Apa sih maunya? Gak jelas! Harusnya aku menambahkan juga aturan dilarang saling bersalaman dalam SOP, batinnya. Sambil melipat mukena, wanita itu terus menggerutu. Ya, dia menggerutu dengan bibir sedikit menyabit.
Beberapa langkah sebelum menaiki tangga, Laki kembali bicara. Membuat Syafa yang baru keluar mushala mematung mendengarkan.
"Oh iya, saya lupa. Bi Titin kerjanya sampai hari jum'at saja. Sabtu minggu dia gak masuk. Dari dulu emang kontrak kerjanya begitu. Jadi sabtu minggu kamu yang masak ya, Roh."
"Apa?! Tapi aku gak bisa..."
"Saya mau periksa banyak hal. Mau bekerja. Jadi jangan ganggu saya di ruang kerja, ok!" titah Laki memotong bicara Syafa. Lalu ngeloyor pergi.
"Aku gak bisa masak, Ki..." gumam Syafa pelan. Seumur hidupnya Syafa belum pernah masak. Ya, nyatanya bukan hanya keluarga darah biru atau konglomerat yang selalu tidak bisa masak. Orang seperti Syafa pun, yang hidupnya biasa saja. Sangat biasa malah, tidak bisa melakukan itu.
Setiap detik dari hidupnya dia habiskan untuk bekerja menghidupi dirinya sendiri. Ada utang yang selalu menghantui dan membuntutinya. Tidak ada waktu untuk memasak. Atau coba-coba belajar masak. Lagi pula kalau di bandingkan, masak sendiri dengan membeli temen nasi yang sudah jadi, lebih iritan beli jadi kemana-kemana. Jauh perbandingannya. Jadi, selain memasak nasi, masak air, goreng telor, dan memasak mie instan, tidak ada lagi yang bisa Syafa lakukan. Sialnya. Kedua jenis temen nasi yang dia kuasai itu tidak terlihat juntrutannya. Tidak ada telor, tidak ada mie instan. Sempurna.
Syafa mematung di depan lemari pendingin yang pintunya di biarkan terbuka. Apa yang harus aku masak? pikirnya. Banyak sekali sayuran di lemari. Daging ayam, sapi, ikan, udang, cumi, dan belasan jenis sayuran yang tidak dia tau nama satu persatunya. Yang dia tau nama sayur adalah, sayur lodeh, sayur oseng, sayur sop, sayur asem, dan sayur bening. Ini... jenis dedaunannya jarang Syafa lihat. Hanya kol, wortel, bayam, kangkung, yang bersahabat dengan mata dan mulut Syafa selama ini. Tapi sayur mayur ini... Ah... entahlah. Dan kalau dimasak, harus dimasak bagaimana? Dia tidak tau jenis bumbu yang harus di gunakan.
Syafa beranjak ke bagian bumbu yang tertata di wadah-wadah cantik. Dan ketika dia membukanya satu persatu, hatinya langsung merasa sedih dan terluka. Apa semua ini?
Ini semua gara-gara ada lelaki yang mengajaknya menikah cepet. Dari awal dia menarget menikah di usia lima puluh setelah semua utang nya lunas. Rencananya satu bulan sebelum menikah mau belajar masak dulu. Tapi sekarang? Semuanya terlalu jauh berbeda dengan rencana.
"Hmmm... Bagaimana ini?" Syafa berjongkok lemas di depan kumpulan bumbu yang memelototinya.
Jam menunjuk angka enam lebih tiga puluh menit. Dan Syafa masih tidak melakukan apa-apa. Oh tidak. Dia sudah memasak nasi. Tapi untuk membuat temen nasinya, dia belum melakukan apapun. Takut salah.
Akhirnya, dengan ragu Syafa berjalan mendekati pintu ruang kerja Laki. Membuka daun pintu dengan ragu.
"Laki..."
"Hm? Bukannya sudah saya katakan untuk tidak mengganggu?" kata Laki dengan tidak mengubah arah pandangnya dari laptop. Lelaki itu sibuk mengetik SOP yang tertulis di kertas bertuliskan tangan Syafa tadi malam. Dia memilah point-point dari hampir dua puluh point yang di tulis Syafa menjadi sepuluh point saja. Dalam artian, selain sepuluh point yang dia ketik, dia tidak menyetujuinya.
"Tapi itu..."
"Sudah siap makan nya? Sebentar lagi saya ke sana," tebak Laki salah. Salah total.
Syafa diam. Wanita itu hanya berdiri sambil menghentak-hentakkan kaki dengan pelan. Enggan rasanya menjelaskan semuanya pada Laki.
"Kenapa? Ko diam?" tanya Laki. Lelaki itu sudah mengarahkan pandangan pada Syafa yang menunjukan wajah penuh sesal.
"Belum. Aku gak bisa masak," jawab Syafa pelan. Malu? Ya, ada sedikit rasa malu yang Syafa rasakan saat itu.
Sesaat Laki menatap Syafa. "Kita seusia kan? 28 ya?" Syafa berbalik mantap Laki. Dia tidak mengerti arah pembicaraannya.
"Kemana saja kamu selama 28 tahun? Sampai gak bisa masak?" sindir Laki sambil berdiri dari posisi duduk.
Syafa membisu. Dia menyadari salah satu ketidak Sempurnaan dirinya adalah itu. Tidak bisa memasak.
...🍃🍃🍃...
To be continued.
.
.
.
Hmmmm... Alhamdulilah Parting Smile bisa update bab 32. Yuhu.... jangan lupa like dan komennya ya. Sehat-sehat semuanya 🥰🤲
yang handsome pangeran kah?