NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 25

Langkah kaki mereka menuruni anak tangga dengan pelan. Pagi masih menyisakan embun yang menempel di kaca-kaca jendela besar. Di tengah keheningan itu, Rafael menggenggam tangan Dewi erat, tapi lembut. Sehangat matahari pagi yang menyentuh pipi tanpa paksa, sehalus desir angin yang menyibak rambut tanpa menyakiti.

Genggaman itu bukan hanya tangan yang menyatu. Ia membawa banyak cerita… dan luka.

Tangan yang kini menggenggam lembut itu dulunya adalah tangan yang menebar kematian. Tangan yang tak ragu menyentuh pelatuk, menghapus nyawa, atau menghancurkan siapa pun yang menghalangi jalannya. Tangan yang dingin… penuh noda.

Tapi hari ini, tangan itu tak lagi dingin. Ia hidup. Ia berubah.

Dewi merasakannya. Untuk pertama kalinya, Rafael tak memaksanya mengikuti… melainkan menuntunnya, seperti seseorang yang takut kehilangan arah.

Saat mereka sampai di lantai dasar, beberapa anak buah Rafael tampak berdiri tegak di sisi-sisi ruangan, menjaga seperti biasa. Tapi langkah Rafael tak terhenti. Ia menatap Marco.

Dengan suara tegas tapi tak meninggikan nada, Rafael berkata,

“Hari ini, aku pergi. Kau pegang semuanya. Jangan ganggu aku… tak peduli seberapapun pentingnya.”

Marco menunduk dalam.

“Saya mengerti, Tuan. Jika ada sesuatu yang muncul…”

Rafael menatap tajam. “Kau tahu harus berbuat apa.”

Tak ada kata lanjut. Tak perlu. Karena Marco sudah tahu: tak seorang pun boleh mengusik ketenangan hari ini. Tidak dunia luar. Tidak dendam yang tertunda. Tidak darah yang biasa ia teteskan tanpa ragu.

Lalu mereka melangkah ke teras. Sebuah mobil hitam mewah dengan jendela gelap sudah terparkir tenang di sana, siap menelan mereka dalam keheningan perjalanan. Juno, tangan kanannya. Telah duduk santai di balik kemudi. Ia tak bertanya, tak bersuara. ia hanya tahu bahwa hari ini bukan hari biasa.

Pintu dibuka. Rafael menggenggam tangan Dewi lagi, mempersilakannya masuk lebih dulu. Dewi duduk dengan tenang, tubuhnya menempel pada jendela, memandangi pagi yang perlahan memudar dari halaman rumah yang kini terasa seperti penjara baginya.

Mobil mulai melaju, meninggalkan rumah besar itu. Rumah yang dulu tampak megah, tapi menyimpan begitu banyak jeritan dalam dindingnya. Rumah itu tak pernah benar-benar hidup. Ia hanya menjadi saksi bisu atas semua tangisan yang tertahan dan kematian yang terbungkam.

Rafael melirik Dewi dari sudut mata.

“Aku tahu kau tak pernah tenang di rumah itu,” ucapnya pelan.

Dewi hanya diam.

“Aku pernah berjanji akan membawamu ke tempat yang damai,” lanjut Rafael, suaranya rendah tapi mantap.

“Hari ini, aku akan menepatinya.”

Dewi menoleh perlahan. Tatapannya masih menyimpan waspada, tapi kali ini, tidak setajam biasanya. “Tempat… yang damai?” ulangnya, lirih.

Rafael mengangguk. “Rumah baru. Tak ada darah. Tak ada jeritan. Hanya kamu, aku… dan anak kita.”

Untuk beberapa detik, Dewi terdiam. Matanya tak berkedip, seolah mencoba menelan semua kata itu satu per satu. Tapi yang paling mengguncang hatinya adalah: Rafael menyinggung soal anak kita. Ia belum pernah mendengarnya menyebut janin dalam kandungannya sebagai bagian dari mereka. Selalu hanya tentang dia… atau Dewi. Tapi tidak hari ini.

Mobil berbelok meninggalkan jalanan kota, melewati pepohonan rindang dan sawah yang menguning di kejauhan. Udara semakin bersih. Heningnya perjalanan justru terasa seperti lagu yang belum selesai ditulis.

Akhirnya, di ujung jalan kecil yang seolah tersembunyi dari dunia luar, berdirilah sebuah rumah bergaya minimalis tapi anggun. Tak besar, tak megah. Tapi tenang. Dikelilingi pagar putih, taman kecil yang mulai tumbuh bunga liar, dan suara burung yang bersahut dari pepohonan sekitar.

Dewi menatap rumah itu dari balik jendela mobil. Sesuatu dalam dirinya perlahan mencair. Bukan sepenuhnya percaya… tapi cukup untuk membuatnya ingin keluar dari mobil dan melihatnya lebih dekat.

Pintu pagar dibuka secara otomatis, dan mobil berhenti tepat di depan teras rumah.

Rafael turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Dewi. Ia kembali mengulurkan tangan, menatap wajah istrinya itu.

“Percayalah padaku… walau hanya hari ini.”

Dewi menatap tangan itu. Masih tangan yang sama. Tapi getarnya berbeda. Ia ragu, tapi ia membiarkan jari-jarinya menyentuh jemari Rafael.

Dan untuk pertama kalinya, Dewi melangkah ke rumah yang tak menyimpan jeritan.

Sebuah awal. Sebuah janji. Sebuah rumah… yang mungkin bisa disebut pulang.

Dewi melangkah perlahan masuk ke dalam rumah. Derit halus dari pintu utama terdengar saat Rafael membukanya. Udara segar menyambut mereka. tidak ada aroma darah, tidak ada bau besi dari senjata, tidak ada jejak kekerasan seperti yang selama ini menemani napas Dewi dalam rumah sebelumnya. Rumah ini… benar-benar bersih.

Begitu kaki Dewi menyentuh lantai kayu berwarna hangat, ada desiran lembut yang menjalari dadanya. Suasana rumah itu begitu tenang, seperti pelukan seorang ibu yang lama tak ia rasakan. Dinding-dindingnya bersih, dengan cat putih krem yang menenangkan mata. Ada bunga segar di vas kaca di atas meja ruang tamu, jendela-jendela terbuka membiarkan cahaya matahari masuk dengan hangat.

“Ini…” Dewi menatap sekeliling dengan tatapan takjub. “Ini rumah yang kamu… siapkan?”

Rafael hanya mengangguk pelan. Tak ada kalimat panjang, tak ada kesombongan seperti biasanya. Ia hanya berdiri di ambang pintu, memandangi Dewi yang mulai berjalan mengelilingi ruangan.

Langkah Dewi menuntunnya ke dapur. Meja kayu bundar dengan dua kursi kecil menghadap ke taman belakang. Tirai putih bergoyang tertiup angin. Ia membuka pintu geser kaca yang menghubungkan dapur dan taman kecil. Aroma tanah basah, suara burung, dan gesekan daun bambu membuatnya menahan napas sejenak.

Damai… pikirnya. Apa benar ini nyata?

Rafael mendekat, berdiri di belakang Dewi. “Kau bisa berkebun kalau mau. Atau sekadar duduk di sini sambil membaca.”

Dewi berbalik, menatap wajah lelaki itu. Tatapan Rafael kali ini… tak mengandung bara. Hanya guratan kelelahan dan keinginan untuk bertahan. Bersama.

Mereka melanjutkan menjelajahi ruangan lain. kamar tidur yang sederhana tapi hangat, kamar bayi yang telah disiapkan meski belum berisi apapun, hingga ruang kecil dengan rak buku dan jendela besar yang menghadap ke perbukitan di kejauhan.

Tapi di luar, tak jauh dari pagar rumah, seseorang memperhatikan mereka.

Seorang pria tua, mengenakan caping dan membawa keranjang bambu di punggungnya, tampak berjalan pelan melewati depan rumah itu. Dari luar, ia terlihat biasa saja. Tak ada yang mencurigakan dari langkahnya yang berat, atau pakaian lusuhnya yang penuh noda tanah. Ia seperti petani biasa yang lewat setelah bekerja di ladang.

Namun, matanya tidak pernah benar-benar lurus ke depan. Setiap beberapa langkah, ia melirik ke arah rumah. Terutama ke jendela-jendela yang terbuka dan ke arah pintu belakang yang sempat dibiarkan Rafael terbuka sesaat.

Orang itu adalah mata.

Seorang petani miskin dari desa seberang, yang baru saja menerima segepok uang dari seseorang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Ia tidak tahu siapa Dewi, siapa Rafael. Ia hanya tahu, tugasnya sederhana: melihat dan melaporkan. Katanya, tugas itu tidak berbahaya. Tidak perlu menyusup, tidak perlu mencuri, apalagi membunuh.

Hanya… melihat.

Apa yang tidak ia tahu adalah.  nama Rafael saja bisa membuat seseorang kehilangan nyawa hanya karena salah menyebut. Dan kini ia sedang mengamati lelaki itu. dari balik caping dan keranjang bambunya.

Beberapa meter setelah melewati rumah, sang petani berhenti di balik semak. Ia mengeluarkan ponsel kecil murahan dari balik bajunya, lalu dengan tangan gemetar mengetik pesan singkat:

“Rumah sunyi. Hanya mereka berdua.dan satu pria lain. Tidak ada penjaga. Rumah terisolasi. Mudah dijangkau.”

Ia menekan kirim. Pesan itu masuk ke nomor yang telah ia hafal dengan terpaksa: nomor milik Malik.

...

Ponsel milik Malik bergetar pelan di atas meja reyot yang terbuat dari kayu tua yang sudah mulai keropos. Di tengah kesunyian ruangan besar yang hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung usang, getaran itu terdengar nyaring, seperti menandai dimulainya sebuah mimpi buruk.

Malik meraihnya perlahan. Saat matanya membaca isi pesan dari petani suruhannya, sorot matanya berubah. Perlahan, bibirnya menyeringai. Sebuah senyum dingin merayap di wajahnya yang dipenuhi bekas luka masa lalu. Ia bergumam pada dirinya sendiri, pelan tapi penuh kemarahan yang terpendam:

"Benar kata pelayan itu... Rafael sudah melemah sekarang."

Genggamannya pada ponsel mengencang.

Tanpa membuang waktu, Malik mengetik balasan singkat kepada petani itu.

“Terus awasi. Laporkan setiap gerakan mereka.”

Setelah mengirim balasan, Malik bangkit dari kursinya. Langkah-langkahnya berat namun pasti, bergema di lantai marmer gedung tua yang menjadi markas sementaranya. Di antara dinding yang dipenuhi bayangan masa lalu, ia menyusun rencana. Tapi bukan Rafael yang akan ia incar. Bukan orang itu. Tidak secara langsung.

“Tidak… aku tak akan menyentuh Rafael dulu,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Aku akan menyentuh titik terlemahnya.”

Matanya menyipit, menatap tembok kosong seolah membayangkan wajah yang telah lama menghantuinya.

“Dewi…” ucapnya lirih, penuh dendam.

“Dan anak dalam kandungannya.”

Kenangan tentang masa lalu membanjiri pikirannya. jeritan ibunya, tubuh adiknya yang tak bernyawa, darah ayahnya yang mengalir di hadapannya, semuanya karena satu orang. Rafael.

Ia mengepalkan tangan.

“Sebagaimana kau telah menghancurkan hidupku, Rafael…” desisnya,

“…aku akan menghancurkan milikmu. Perlahan. Tanpa ampun.”

Lalu, dari bibirnya pecah tawa. Awalnya pelan, sekadar desis lirih yang memantul di dinding sepi. Namun detik demi detik, tawanya membesar. Menjadi gelak panjang yang menggema, penuh kebencian dan kegilaan.

Tawa yang lahir dari jiwa yang telah kehilangan segalanya. dan kini hanya hidup untuk membalas dendam.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!