Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Pesta malam itu terlihat elegan dan penuh kemewahan. Lantai dansa sudah mulai dipenuhi tamu-tamu penting yang berbaur dalam balutan busana terbaik mereka. Musik klasik mengalun pelan, menciptakan suasana romantis namun penuh ketegangan, setidaknya bagi seseorang yang berdiri diam di sudut ruangan dengan mata yang tak henti mengawasi.
Reyhan.
Wajahnya tampak tenang, tapi tatapannya tajam, menusuk ke satu titik, Nayla, yang berdiri bersama Arlan.
Seketika langkah seseorang mendekat. Ara, dengan gaun elegan yang membalut tubuh semampainya, tersenyum manis sambil mendekat.
“Aku tidak tahu kalau ibumu… bukan ibu kandungmu,” ucap Ara, suaranya pelan, mencoba membuka pembicaraan.
Reyhan mengalihkan pandangan sekilas ke arah Ara, lalu kembali menatap ke depan. “Apa maksudmu?”
“Aku baru dengar semuanya… tentang masa lalu, tentang apa yang dia lakukan pada Nayla juga. Aku… aku benar-benar tidak tahu, Reyhan.”
Tapi Reyhan tidak merespons. Matanya kembali mengunci pada Nayla.
Dan detik berikutnya, Nayla dan Arlan masuk kembali ke ballroom dari arah taman. Wajah Nayla pucat, tapi ia mencoba tetap tersenyum. Di sisi Nayla, Arlan berjalan perlahan, tangan mereka hampir bersentuhan.
Reyhan mengepalkan rahangnya.
Dengan cepat, ia menarik tangan Ara. “Ayo.”
Ara terkejut. “Eh? Rey, ke mana—”
“Ke tengah.”
“Serius? Kamu ngajak aku berdansa?” Mata Ara langsung berbinar, senyum lebarnya nyaris tak bisa ditahan.
Tanpa menjawab, Reyhan langsung membawa Ara ke lantai dansa. Musik waltz mengalun. Tangan Reyhan menggenggam tangan Ara dan memulai gerakan pertama. Tapi gerakan itu dingin, kaku, seolah Ara tak benar-benar ada di sana.
Reyhan tidak menatap Ara sama sekali. Tatapannya terpaku hanya pada satu titik, Nayla.
Dan Nayla melihat semuanya.
Langkahnya terhenti. Matanya membeku ketika melihat Reyhan, kini berdansa begitu dekat dengan Ara.
Hatinya mencelos.
“Kalau kamu tidak nyaman, kita bisa pergi,” bisik Arlan pelan.
Nayla menggeleng pelan. “Tidak, aku baik-baik saja.”
Tapi Arlan tahu Nayla sedang membohongi dirinya sendiri.
Seketika, Arlan tersenyum tipis. “Kalau dia ingin bermain seperti itu, biar aku temani kamu menari.”
“Apa?” Nayla tersentak.
Arlan tidak menunggu. Ia langsung mengajak Nayla, lalu membawanya ke tengah lantai dansa, tepat berseberangan dengan Reyhan dan Ara.
Dan dalam hitungan detik, kedua pasangan itu kini berdansa berhadapan.
Mata Reyhan membara ketika melihat tangan Arlan melingkar di pinggang Nayla. Meskipun itu hanya tipu muslihat Arlan. Tangannya tak menyentuh pinggang Nayla. Dia tahu batasannya. Tatapan Nayla teralihkan ke samping, tak sanggup membalas pandangan Reyhan.
Ara yang merasakan suasana tegang justru semakin menggantungkan dirinya di lengan Reyhan, berharap tarian itu menjadi awal baru bagi mereka.
Tapi Reyhan menatap lurus, bukan ke pasangannya, melainkan ke Nayla.
Musik masih mengalun. Para tamu masih berdansa. Tapi semuanya menjadi kabur bagi Reyhan.
Tatapannya tidak pernah lepas dari Nayla. Melihat Arlan tersenyum, tangan prianya begitu dekat dengan wanita yang seharusnya masih menjadi istrinya, darah Reyhan mendidih.
Langkahnya terhenti.
Tanpa aba-aba, Reyhan melepaskan genggaman Ara dengan kasar.
“Astaga! Reyhan!” Ara hampir tersandung saat tubuhnya terdorong mundur.
Reyhan tak peduli. Dia melangkah cepat, menghampiri Nayla dan Arlan yang masih berdansa.
“Cukup!” bentaknya dingin.
Nayla dan Arlan menoleh bersamaan.
Reyhan langsung meraih pergelangan tangan Nayla, menariknya keluar dari pelukan Arlan.
“Reyhan!” Nayla terkejut.
Arlan dengan cepat mencoba menahan gerakan Reyhan. “Hei, kau tidak bisa seenaknya menariknya begitu.”
Reyhan menoleh padanya, tajam. “Dia masih istriku. Jadi aku berhak.”
“Dan bukankah kalian akan bercerai?” Arlan membalas tenang, tapi nada suaranya cukup menusuk.
Tapi Reyhan tak menggubris. Ia menarik Nayla dengan paksa, mengabaikan tatapan para tamu yang mulai berbisik-bisik. Beberapa pelayan bahkan terdiam di tempatnya karena terkejut.
“Reyhan, lepaskan. Jangan buat keributan di sini,” kata Nayla panik.
Namun Reyhan tak berhenti. Dia terus menggiring Nayla keluar dari ballroom menuju lorong sepi di belakang gedung.
Begitu mereka sampai di ujung lorong, Reyhan mendorong pintu darurat dan membawa Nayla ke area balkon terbuka yang menghadap taman gelap. Udara malam terasa menusuk.
“Apa maksudmu?” Reyhan membentaknya. “Kenapa Arlan?”
Nayla terdiam. Hatinya bergetar hebat. Tangan Reyhan yang masih mencengkeram pergelangannya terasa dingin dan kaku.
“Apa karena dia sepupuku? Kau ingin membalas perlakuanku sebelumnya? Sudah ku katakan aku benar-benar menyesalinya, Nayla.” suaranya bergetar. “Kau tahu persis dia keluargaku. Kau sengaja?”
“Aku sudah bilang... aku menyukai pria lain,” jawab Nayla lirih.
“Dan kau memilih ARLAN?!” Reyhan membentak, matanya menyala penuh amarah.
“Lalu kenapa?” Nayla mencoba tetap tegar meski tubuhnya gemetar. “Bukankah kita akan segera bercerai?”
“Bukan karena aku ingin! Tapi karena kamu memintanya!” Reyhan berseru. “Dan sekarang aku tahu alasannya hanya karena kau ingin berakhir di pelukan Arlan?!”
“Cukup, Reyhan!”
“Kenapa dia?! Dari semua orang, kenapa harus dia?!”
Nayla menutup mata. Kepalanya mulai berdenyut. Dada kirinya terasa sesak. Tapi ia tak boleh terlihat lemah.
“Karena dia tidak akan mencintaiku seperti kamu…” jawab Nayla akhirnya, lirih.