NovelToon NovelToon
Heera. Siapakah Aku?

Heera. Siapakah Aku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintamanis / Berbaikan / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Putri asli/palsu
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Dian Fauziah

Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32

[ Setengah jam lagi aku akan menjemputmu ]

Masih ada cukup waktu agar aku bisa bersiap. Mada juga tengah bersiap karena dia akan menemani Leona menemui orang tuanya. Sejak semalam, aku tidak bicara pada Mada. Aku masih kecewa, hanya itu saja.

Biasanya aku yang menyiapkan baju dan keperluan lain, tapi kali ini Mada melakukannya sendiri. Aku pun begitu memilih baju yang cocok untuk pergi hari ini. Sebuah dress polos menjadi pilihanku. Lengan panjang dan tidak banyak aksesoris. Sederhana, tapi tidak terlihat murahan.

Sebelum pergi aku menyempatkan memoles makeup lebih dulu. Tentu agar aku tidak terlihat kusam dan banyak pikiran. Aku ingin semua orang yang melihatku adalah wanita yang penuh senyum meski sedang banyak masalah.

"Kau mau kemana?"

"Aku bilang sudah ada janji," kataku.

"Dengan siapa?" wajah marah terlihat dari Mada.

"Kak Mada."

Leona kembali membuka pintu kamar tanpa permisi. Saat ini aku dan Mada tengah saling tatap. Tidak ingin membuang waktu, aku sedikit berjinjit dan mencium pipi Mada.

"Aku pergi dulu," lirihku seraya melangkah pergi.

Sampai di samping Leona aku hanya tersenyum tipis lalu melewatinya. Dia benar-benar wanita yang mengerikan bagiku. Jika aku dan Mada berpacaran, mungkin aku sudah meninggalkannya. Sayangnya ikatan sakral sudah mengikat kami, dan bagiku pernikahan bukanlah sebuah candaan.

Dengan lift aku turun. Di bawah aku sudah melihat sopir yang kemarin mengantarku pulang. Dia berjalan lebih dulu sementara aku mengikutinya. Pak Arga masih di dalam mobil, dia terlihat tenang dengan sebuah buket bunga mawar di tangannya. Aku tahu bunga itu untuk Ibu Heni.

"Pagi, Pa."

"Pagi juga. Ayo jalan."

Aku mengatakan alamat di mana Mada pernah mengantarkan aku ke sana. Makam ibu Heni.

Dalam perjalanan kami hanya saling diam. Bahkan sampai di makam pun kami masih tidak membicarakan apapun. Sopir hanya membukakan pintu, Pak Arga turun baru kemudian diriku.

Aku yang baru ke dua kalinya datang mencoba mengingat-ingat. Sampai di sebuah batu nisan bertuliskan Heni Zanita. Aku berhenti, mempersilahkan Pak Arga mendekat.

Tidak aku sangka. Pak Arga meletakkan bunga itu di tengah makam. Lalu dia terduduk lemas, bahkan tangisnya langsung pecah. Hawa di sana langsung berubah, aku bahkan merasa sakit saat melihat Pak Arga melakukannya.

Kalimat rindu dan cinta Pak Arga ungkapkan di sana. Bahkan Pak Arga mengenang kisah indah yang pernah mereka lewati. Aku duduk di sisinya, mendengarkan semuanya. Aku juga mencoba mengenal ibu Heni dari semua yang diucapkan oleh Pak Arga.

"Jika malam itu kau tidak datang, mungkin kau masih hidup."

Deg!

Apa aku akan mendengarnya sekarang? Apa aku akan tahu kebenarannya saat ini? Lalu kenapa aku merasa gelisah dan seperti tidak siap.

"Lihatlah, putri kita tumbuh dengan sehat. Dia bersamaku, meski kamu tahu aku masih lemah seperti dulu. Aku tidak bisa melindungimu maupun Heera. Jadi, aku meminta Mada untuk menjaganya."

Aku mencoba untuk tenang dan tidak bertanya apapun.

"Maafkan aku Heni. Aku masih belum bisa membalaskan dendammu padanya. Maafkan aku."

Tangis Pak Arga semakin memilukan. Aku hanya bisa menepuk pundaknya perlahan. Aku tidak tahu apa ini benar atau salah, tapi aku tidak tega melihat Pak Arga seperti ini.

"Bagaimana ibu terbunuh?"

Pak Arga menoleh padaku. Suasana yang awalnya cerah kini mulai mendung. Mungkin sebentar lagi gerimis atau bahkan hujan.

"Memang seharusnya kamu sudah tahu. Ayo, kita pindah tempat yang lebih nyaman."

Aku mengangguk. Dalam perjalanan utu aku terus berpikir bagaimana nanti jika Oma Melati mengatakan pada Pak Arga jika aku hanya anak yang dia angkat. Aku takut membuat Pak Arga kecewa dan kembali depresi, padahal saat ini Pak Arga sudah terlihat normal.

Sebuah kafe yang tidak jauh dari makam. Kami duduk berdua, kebetulan kafe itu juga sepi pengunjung. Pelayan membawakan dua minuman yang sudah kami pesan. Pak Arga dengan tenang menyesap kopi yang sudah dia pesan.

"Nikmat sekali. Sudah lama aku tidak melakukan hal ini," kata Pak Arga.

Aku hanya tersenyum.

"Kamu ingin dengar yang sebenarnya?" tanya Pak Arga.

"Iya, tapi aku ingin bertanya satu hal dulu pada Papa."

"Apa?"

"Bagaimana jika aku bukan anak kandungmu?"

Pak Arga terlihat begitu tenang bahkan tidak ada perubahan ekspresi apapun di wajahnya. Aku benar-benar tidak tahu arti dari semua itu.

"Aku tidak peduli, bagiku kau adalah berkah dalam hidupku. Hal yang sangat berharga yang aku miliki."

Kalimat itu menyentuh hatiku. Aku merasa bahagia dan senang, tapi juga terharu. Seperti inikah dianggap ada dan dihargai.

"Dia meninggal di malam pernikahan kami yang ke tujuh. Di mana mungkin saat itu umurmu sudah tiga tahun."

Pak Arga menatap keluar kafe dengan tatapan teduh.

"Aku memesan sebuah restoran untuk merayakannya. Hal yang selalu kita lakukan setiap tahun meski kehilanganmu merubah sikap Heni."

Terlihat Pak Arga mencoba untuk tetap tenang saat mengatakan semuanya.

"Hari itu Heni bersikap berubah. Dia tidak murung lagi, bahkan dia kembali ceria. Dia bilang akan mengatakan alasannya padaku saat malam nanti."

Aku sedikit membenarkan posisi dudukku agar lebih nyaman.

"Aku menantinya. Malam itu, kami bertemu seperti biasanya. Makanan sudah terhidang dengan menu kesukaannya. Sampai di saat dia minum sebuah jus. Dia terlihat kesakitan, memegangi dadanya dan mencoba mengatakan sesuatu."

Apakah mungkin Ibu Heni di racun? Bagaimana bisa? Apa alasannya?

"Aku panik dan mencoba meminta bantuan. Tidak aku menyangka saat aku kembali Heni sudah berlumuran darah. Di tangannya ada sebuah pistol kecil."

Aku kaget mendengar hal ini. Pantas saja dalam artikel mengatakan Ibu Heni bunuh diri. Apa mungkin ada yang sengaja memanipulasi kematian ini.

"Aku ingin mendekat, tapi Heni memintaku berhenti di tempat. Sesaat aku kacau, sampai aku tahu maksudnya. Di mana jika aku sampai memegangnya, akulah yang akan menjadi tersangka dalam pembunuhan itu."

Kali ini nafasku cukup cepat. Hari ini, hari yang aku tunggu. Di mana aku akan tahu siapa aku sebenarnya.

"Dalam nafas yang sudah tidak beraturan. Heni tersenyum padaku, dia mengatakan dengan terbata. Putri kita selamat."

Pak Arga mengambil sebuah tisu untuk menyeka air matanya. Mungkin ingatan inilah yang selama ini membuat Pak Arga tertekan dan menjadikannya depresi.

"Heera. Aku tidak pernah depresi."

Aku kaget tahu akan hal ini.

"Jangan katakan pada siapapun termasuk Mada. Aku mengatakan ini karena aku tahu kau tulus merawatku. Alasan aku melakukannya, karena aku ingin tahu dalang di balik kematian istriku."

"Apa Papa akhirnya tahu?"

Pak Arga mengangguk. "Aku sudah tahu, tapi aku belum bisa memberi hukuman pada mereka. Aku ingin kau yang melakukannya."

"Kenapa aku?"

"Karena kau adalah putriku. Putri kandungku."

1
Berlian Nusantara dan Dinda Saraswati
ehhh blm ada yg ketemu novel ini kah aku izin baca ya thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!