SEQUEL ANAK MAFIA TERLALU MENYUKAIKU!
Di usia 19 tahun, Rosetta Lorenzo melakukan kesalahan fatal sehingga membuat nama Lorenzo jatuh ke tangan orang lain setelah dijebak oleh kekasihnya sendiri bernama Elijah Blackwood. Ditambah Rosetta harus kehilangan kakeknya demi menyelamatkan Rosetta dari kukungan Elijah setelah berhasil mencuci otak gadis itu dan membuat sebuah virus komputer berbahaya yang dijual belikan ke para kelompok bawah tanah.
Demi memulihkan kembali nama keluarganya, Rosetta harus menanggalkan nama Lorenzo.
Setelah bertahun-tahun berkeliling penjuru Amerika, Rosetta yang berpikir bisa pulang ke keluarganya justru meregang nyawa di tangan mantan kekasihnya, Elijah.
Saat ia berpikir benar-benar berakhir, ketika membuka mata Rosetta justru menemukan dirinya kembali menjadi bocah tujuh tahun.
Kali ini apakah Rosetta akan melakukan kesalahan yang sama ketika takdir justru membawanya kembali bertemu dengan Elijah? Bagaimana Rosetta membalaskan dendamnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32. SAKIT
Rosetta melihat sekeliling, semua tampak tak asing untuknya namun juga terlihat samar untuk diingat. Ia berada di tengah kota nan jauh dari rumah, berdiri di bawah naungan sebuah restoran tak ia kenal untuk melindungi diri hujan.
Ia mendapati dirinya tak lagi berada dalam tubuh kecil. Bisa ia lihat jari-jari panjang lentik kurusnya menandakan kalau ia berada dalam usia dewasa. Bagaimana bisa?
Suasana gelap yang mana malam telah turun dan gerimis yang cukup membuat situasi semakin melankolis. Rosetta ingat pernah berdiri seperti ini di sebuah kota yang amat jauh dari San Fransisco, saat dimana ia berada di titik terendah dalam hidupnya. Di bawah naungan kota Toronto, menunggu orang penting untuk datang.
"Rose?"
Suara familiar beringsut memasuki pendengaran gadis itu. Sosok tinggi dengan long coat hitam, menatap Rosetta dengan padangan sebal. Rasanya gadis itu tahu kenapa, karena Rosetta menolak untuk tinggal di mansion miliknya dan justru lebih memilih pergi dari satu tempat ke tempat yang lain seperti saat ini. Tapi melihatnya dengan wajah seperti itu, lucu juga. Biasanya ia hampir tidak pernah memerlihatkan ekspresi selain datar dan dingin.
"Rose?"
Suara lain terdengar oleh sang gadis. Suara yang amat Rosetta rindukan dan terdengar begitu jauh. Ia menoleh ke arah sumber suara. Tapi darimana asalnya? Tidak ada siapa-siapa di sini. Hanya ada diri Rosetta dan sosok yang berdiri tak jauh darinya.
"Rose?"
Suara itu kembali terdengar, suara ayah Rosetta. Gadis itu menatap nanar sekitarnya, mencari sosok sang ayah yang ingin sekali ia temui.
"Rosetta?"
Kelopak mata Rosetta terbuka, menunjukan iris biru yang amat ditunggu orang-orang sekitarnya untuk ditampakkan.
"Daddy?" ucap Rosetta, mencari sosok ayahnya.
"Daddy di sini, Sweetheart."
Rosetta melihat sosok ayahnya kini menatapnya penuh kekhawatiran. Ia melihat sekeliling, dan ada beberapa anggota keluarga mengerumuninya.
Perlu beberapa saat bagi Rosetta untuk memeroses yang terjadi, menyadari kalau yang ia lihat sebelumnya hanyalah sebuah mimpi. Ia kembali pada kenyataan dimana Rosetta dalam tubuh kecilnya, di rumahnya di San Fransisco bersama kelurganya. Ah, melegakan. Ia pikir kalau dirinya kembali di masa-masa tragis itu. Rupanya hanya potongan dari mimpi yang diambil dari otak dan ingatannya.
"Bagaimana perasaanmu, Rose?" tanya Rion, mengelus kepala Rosetta.
Gadis itu mencoba untuk bangun, namun langsung menyesali segera saat ia merasa kepalanya luar biasa sakit dengan pandangan berputar.
"Jangan bangun dulu. Kau sedang demam, Rose. Kau harus berbaring dan istirahat sampai sembuh," kata Rion yang langsung membaringkan kembali putrinya ke posisi semula.
"Baby, minum obat dulu," suruh Lili yang telah menyediakan obat sejak tadi.
Rosetta mengangguk, tidak ingin membantah apalagi berdebat seperti anak kecil karena menolak untuk minum obat. Lagi pula Rosetta tidak boleh sakit berkepanjangan saat ini. Ada banyak hal yang harus ia kerjakan.
Rion membantu Rosetta untuk duduk, pelan-pelan karena tidak ingin anaknya merasakan pusing apalagi mual karena tiba-tiba bangun.
Lili duduk di pinggir tempat tidur dan membantu Rosetta untuk meminum obat. Ia tersenyum kecil saat mendapati putrinya mengernyit tidak saat menelan obat di mulut, jelas untuk Rosetta obat itu terlalu pahit. Tapi Lili senang karena Rosetta minum obat tanpa protes sedikit pun.
"Good girl. Sekarang makan ini." Rion menyodorkan permen ke mulut Rosetta sebagai penetralisir rasa pahit dari obat.
Setelah itu Lili mengelap wajah dan leher Rosetta, menyeka keringat yang keluar akibat demam gadis itu. Terakhir ia memasangkan plester demam dan menyuruh Rosetta istirahat.
Rion dan Lili meninggalkan ruangan agar Rosetta bisa kembali istirahat.
Efek obat mulai Rosetta rasakan. Kepalanya tidak terlalu sakit seperti sebelumnya, namun ia bisa merasakan kantung mulai menyelimuti Rosetta bukan main.
Tepat ketika mata gadis itu mulai menutup, Rosetta dapat merasakan sentuhan pada tangannya. Ia membuka mata dan melihat siapa gerangan yang datang ke kamarnya. Sepertinya ibu Rosetta kembali untuk melihat keadaan putrinya ini.
"Kau memang bodoh, Rose."
Ah, Rosetta mengenal baik suara ini. Suara yang bahkan akan Rosetta kenali bahkan dalam tidur sekali pun.
"Rod?" panggil Rosetta dengan suara parau, tidak menyangka kakak kembarnya ini ada di sini.
"Ini akibatnya kalau kau melakukan semuanya sendirian. Apa susahnya memberitahuku tentang yang terjadi padamu. Kita sudah bersama bahkan sebelum datang ke dunia ini, berani sekali kau merepotkan dirimu sampai sakit seperti ini tanpa melibatkanku," cerocos Roderick.
Rosetta tertawa kecil mendengar gerutuan kembarannya ini. Ia pikir akan butuh waktu agar dirinya dapat bicara kembali dengan kakaknya ini. Rosetta senang kalau dugaannya ini salah.
"Kenapa kau tertawa?" tanya Roderick.
"Kukira kau masih marah padaku," jawab Rosetta.
"Seolah aku bisa marah lama padamu saja. Ingatlah itu bukan marah, tapi khawatir karena adikku melakukan hal sembrono tanpa memberitahuku, pantas saja dia selalu menghilang entah kemana beberapa bulan ini," gerutu Roderick.
Entah kenapa mendengar ocehan kembarannya ini terasa menyenangkan bagi Rosetta. Mungkin kemarin ia merasa takut ketika Roderick tiba-tiba mendiamkan dirinya. Tapi sekarang Rosetta sudah merasa jauh lebih lega.
Roderick berbaring di samping Rosetta, menggenggam erat tangan adiknya ini. Seolah ia takut kalau-kalau adiknya bisa pergi tanpa ia ketahui.
"Kau tidak boleh di sini, Rod. Nanti kau tertular demamku," kata Rosetta.
"Aku tidak selemah dirimu. Aku tidak akan pergi sampai kau sembuh," bantah Roderick.
"Maafkan aku. Aku tidak berniat menyampingkanmu atas masalahku. Aku hanya tidak ingin kau terlibat pada sesuatu yang tidak seharusnya kau ketahui. Biarkan aku saja yang mengurus semuanya," kata Rosetta.
"Bodoh. Setelah mendengar itu kau pikir aku akan membiarkanmu mengurus semuanya sendirian? Tentu saja tidak. Kalau kau tidak melibatkanku, aku akan menceritakan semuanya kepada Mom dan Dad," ancam Roderick.
"K-kau mengancamku?" Rosetta tidak percaya kalau kakaknya yang lemah lembut ini bisa bersikap agresif seperti ini.
"Akan kulakukan apa pun asal adik dan keluargaku aman. Kau pikir kau saja yang bisa melakukan sesuatu di belakang orang tua kita, huh?" tantang Roderick.
"Kau terdengar seperti orang tua," gerutu Rosetta.
"Kau pikir siapa yang sudah tua di sini?" balas Roderick.
"Kau benar-benar keras kepala," ucap Rosetta.
"Kau juga sama," balas Roderick.
Tak lama mereka tertawa akan perdebatan aneh yang mereka berdua buat ini. Mencairkan ketegangan di antara mereka berdua sejak kemarin.
"Rose. Aku kakakmu. Mungkin tidak banyak yang bisa kulakukan sekarang. Tapi sebisa mungkin aku akan membantumu. Aku akan belajar dengan giat agar nanti kau bisa menggunakanku untuk semua rencanamu," kata Roderick.
"Kau bukan objek, Rod. Yang aku inginkan agar kau melakukan apa yang kau inginkan. Raih apa yang kau cita-citakan. Aku ingin melihatmu menjadi orang yang hebat di masa depan, dan bilang ke semua orang kalau orang hebat itu adalah kakakku," ucap Rosetta. Di masa depan ia hanya berharap kalau hubungannya dengan kakak kembarannya ini baik-baik saja, tidak seperti masa itu.
"Aku harusnya sadar. Kau memang terlihat sangat dewasa, bahkan dari cara bicaramu juga. Tapi berjanjilah, tetap jadi dirimu sendiri. Seperti kata Daddy, bersenang-senang dan bahagia, Rose." Roderick bisa melihat mata adiknya itu mulai tertutup, tanda kalau Rosetta akan tertidur. Pastilah efek dari obat pemberian ibu mereka.
"Hmm," sahut Rosetta dengan mata yang sudah tertutup sempurna.
Roderick terus memerhatikan adiknya yang telah tertidur. Pikirannya jauh ke depan sana. Mulai saat ini Roderick harus memikirkan apa yang harus ia lakukan. Jalan mana yang harus Roderick pilih agar ia dapat menolong adiknya. Walau sejak insiden di sekolah tempo hari, Roderick sudah memutuskan akan menjadi apa di masa depan, kali ini ia akan lebih serius dengan keputusannya ini. Roderick akan mengambil langkah yang belum pernah Lorenzo ambil selama generasi pertama. Dimana keajaiban akan datang dari tangan Roderick kelak.
novelmu bagus sekali...