NovelToon NovelToon
40 Hari Sebelum Aku Mati

40 Hari Sebelum Aku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Fantasi / Reinkarnasi / Teen School/College / Mengubah Takdir / Penyelamat
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Dara

Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.

hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.

selamat membaca....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 17. Persahabatan

Bandung, Mei 2011

Wajah polos Karina kecil memandangi ibunya yang tengah membereskan beberapa barang di dapur dengan heran. Mengapa mama mengepak begitu banyak barang kedalam kardus, pun juga dengan baju-bajunya dan adik bayinya kedalam koper? Apakah mereka akan bertamasya jauh, sehingga mama memerlukan begitu banyak barang untuk dibawa? Karina tak berani bertanya sekalipun ia tampak gelisah melihat ibunya yang sejak beberapa hari ini tidak banyak bicara. Bahkan, ia merasa sudah sangat lama melihat senyum yang biasanya menghangatkan hari-harinya. Ia hanya mengingat pesan ibunya beberapa hari yang lalu untuk membantu mengemas barang-barang dari kamarnya dan juga pesan ibunya untuk menjaga adiknya yang masih bayi.

“Jaga adik bobo ya kak, mama mau lanjutin beres-beres.”

Pesan mama pagi itu. Karina kecil hanya mengangguk. Arah matanya mengekor ibunya yang sibuk dengan kardus-kardus, sambil sesekali ia mengawasi adiknya yang tertidur pulas dikasur lantai depan televise. Ia terlalu bocah untuk memahami apa yang telah terjadi, namun ia mengerti bahwa ibunya sedang tidak baik-baik saja. Matanya redup beberapa hari ini, tak jarang terihat sedang menangis walaupun ibunya berusaha untuk tampak baik-baik saja di depannya dan adiknya.

Bu Nurma menurunkan semua barang dari lemari dapurnya, mengemas semua alat masak yang memungkinkan untuk ia bawa. Besok pagi, mereka akan pindah ke Jakarta. Sesuai permintaan pak Budiman suaminya, mereka harus mengosongkan rumah itu dan pergi sejauh mungkin dari kota itu.

“Pergilah dengan anak-anakmu. Pergi sejauh yang kamu bisa. Aku gak mau melihat kalian lagi di rumah itu.”

Begitu kata pak Budiman kemarin lusa melalui telephon, kepada bu Nurma.

“Kenapa kau tega sekali kepada kami mas Budi? Apa salah kami padamu?”

“Tidak usah banyak tanya, Nurma! Kau tau apa yang terjadi, jangan pura-pura bodoh!”

Hanya itu kalimat terakhir Budiman kepada Nurma, yang sama sekali tidak pernah ia sangka, bahwa rumah tangganya akan berakhir setragis ini. Tanpa penjelasan, tanpa perpisahan. Bahkan Budiman tidak sudi mengatakan langsung di depan istrinya, hanya menyampaikan lewat telephon saja.

Ya, sejak kedatangan Nurma kerumah bu Dini beberapa hari yang lalu, sampai detik ini, Budiman tidak sekalipun mendatangi Nurma untuk sekedar menemui anak-anaknya. bahkan anehnya Budiman tak lagi menyebut Karina dan Dimas sebagai ‘anakku’, akan tetapi menyebut mereka sebagai’anakmu’ kepada Nurma. Sayangnya, nurma tidak pernah diberi kesempatan untuk mendapatkan penjelasan apapun dari Budiman.

Sejak saat itu, Nurma memutuskan untuk mengajak anak-anaknya pergi meninggalkan Bandung dan berhijrah ke Jakarta. Beruntung, Nurma memiliki teman baik di Jakarta yang mau menampungnya dan anak-anaknya dirumah lama keluarganya yang sudah tidak lagi ditempati. Nurul teman baiknya semasa SMA yang juga adalah seorang ibu tunggal, sudah lebih dulu tinggal dan menetap di Jakarta pasca perceraiannya. Ia dan ibunya kembali kerumah nenek moyangnya yang sudah diwariskan kepada ibunya. Setelah Nurul berhasil membangun usaha dengan berdagang, ia kemudian membeli rumah baru tak jauh dari rumah moyangnya, yang saat ini sudah kosong. Rumah itulah yang ditawarkan kepada Nurma untuk tinggal sementara dirinya dan anak-anaknya.

“Kakak, besok pagi kita akan pindah rumah ke Jakarta. Sekolah kakak juga akan pindah kesana. Nanti mama carikan sekolah TK yang lebih bagus dari yang disini. Gak papa kan kak?”

Bu Nurma menghampiri Nurma yang masih setia menunggui adiknya yang masih terlelap dalam tidur siangnya. Ia mengangguk, meskipun ia sedikit bingung mengapa harus pindah? Lalu dirumah siapa dia akan tinggal nanti? Mengapa papanya lama sekali tidak datang?

Karina kecil tak dapat menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan itu. Namun ia juga tak memiliki keberanian untuk menanyakan hal itu kepada ibunya.

“Besok kita pindah naik mobil truk besaaar. Nanti barang-barang yang ini ditaruh di belakang. Kakak sama mama sama adik duduk di depan sama pak supir. Oke?”

Karina kembali mengangguk.

“Papa gak ikut ya ma?”

Karina mencoba menanyakan keberadaan ayahnya, namun ia tak mampu melanjutkan pertanyaannya saat melihat ibunya hanya menggeleng dan semburat kesedihan terpancar diwajah ibunya. Nurma tak lagi mau belama-lama membahas Budiman, ia lantas meraih tubuh bayi Dimas dengan kedua tangannya, memeluk dan membawanya masuk kedalam kamar. Karina hanya mengikuti tubuh ibunya hingga masuk kedalam kamar dengan tatapan matanya saja. Ia tau bahwa ibunya membutuhkan waktu untuk menyendiri, dan ia tak berani mengganggu.

**

Jakarta, Mei 2011

“Kamu bebas tinggal disini sampai kamu bisa beli rumah sendiri buatmu dan anak-anak Nur.”

Nurul menyambut kedatangan Nurma dan anak-anaknya siang itu dengan gembira. Sudah lama ia dan Nurma sahabatnya tidak bertemu. Terpisah oleh jarak Jakarta-Bandung sejak Nurul memutuskan membawa anak semata wayangnya dan ibunya yang sudah sakit stroke kembali ke tanah kelahirannya di Jakarta. Nasib pernikahan Nurul memang tragis. Suaminya meninggal karena kecelakaan saat anak perempuan mereka baru berusia dua tahun. Setelah kematian suaminya, usaha Nurul di Bandung mengalami kebangkrutan, yang membuatnya terpaksa harus menjual rumahnya di Bandung dan kembali kerumah peninggalan neneknya di Bandung. Rumah inilah yang saat ini ditempati oleh sahabatnya, Nurma. Sahabat yang ternyata juga mengalami kisah pernikahan tragis yang sama dengannya, harus berpisah dari suaminya Budiman, saat mereka memiliki anak yang baru berumur satu setengah tahun.

“Terimakasih banyak Rul, kalau gak ada kamu, aku pasti bingung mau bawa anak-anak pindah kemana.”

“Dengan senang hati Nurma, aku pasti akan membantumu selama aku mampu.”

“Tapi apa gak apa-apa kalau aku tinggal disini? Ini kan rumah keluargamu Rul?”

“Gak apa-apa, rumah ini sudah hampir setahun kosong, sejak aku beli rumah sendiri di ujung gang sana. Rumah ini memang berencana untuk aku jual. Tapi masih harus menunggu sampai kepengurusan surat-surat rumahnya selesai.”

“Kalau keluargamu yang lain tau kalau rumah ini aku tempati, apa tidak akan jadi masalah nantinya?”

“Gak usah khawatir. Adiku Rusni kan juga sudah dapat bagian warisan sendiri dan sudah dijual juga. Sekarang bahkan sudah sukses jadi dosen di Bandung. Rumah ini memang jatah warisanku dari ibuku, pemberian nenekku. Sudahlah, kau jangan sungkan. Yang terpenting adalah kau ada tempat untuk berlindung bersama anak-anakmu. Sambil kita bicarakan pelan-pelan rencanamu kedepan mau bagaimana. Ibuku juga sudah setuju kamu dan anak-anak tinggal sementara disini.”

Nurul menggenggam tangan Nurma penuh pengertian, membuat Nurma yang sedang kalut saat itu merasa sedikit lega. Setidaknya, ia tak harus terlantar bersama anak-anaknya tanpa tempat tinggal.   Dan tujuan. Mengingat ia sendiri adalah anak yang tak lagi punya keluarga. Kedua orang tua Nurma sudah tiada, dan saudara-saudaranya juga dalam kondisi yang tak mungkin ia tega untuk merepotkan mereka. Nurul lah satu-satunya harapan Nurma saat ini.

“Anak cantik, siapa namanya?”

Nurma membungkukan badannya, mensejajari tubuh anak perempuan seusia anak gadisnya, yang sedari tadi memegangi baju ibunya dan menggendong sebuah boneka kelinci dipelukannya.

“Karina tante.”

“Wah, nama yang cantik. Karina mau gak, kenalan sama anak tante? Anak tante juga umurnya sama kaya Karina. Mau kan?”

Karina mengangguk dengan semangat, ia akan punya teman baru, pikirnya.

“Nanti sore, kalau anak tante sudah pulang sekolah, nanti tante ajak main kesini. Dia punya banyak boneka loh.”

Wajah Karin berbinar bahagia, membayangkan ia akan segera memiliki teman main boneka, pasti akan sangat menyenangkan, pikirnya.

“Nurma, anakmu juga sudah sekolah TK kan di Bandung?”

“Iya, sudah. Dia juga sudah bisa baca dan tulis.”

“Kalau gitu, biar nanti mendaftar di sekolah TK Nia anaku saja. Biar anakmu juga bisa cepat beradaptasi dengan teman-teman barunya disini.”

Nurma mengangguk. Saat ini tidak banyak yang bisa ia pikirkan selain segala hal yang terbaik untuk anak-anaknya.

“Aku butuh pekerjaan Rul. Aku harus bisa bangkit menghidupi anak-anaku.”

“Iya, aku mengerti. Nanti ya kita bahas lagi. Sekarang yang penting kita beres-beres dulu biar segera kamu bisa istirahat. Rumah ini baru saja aku suruh orang untuk dibersihkan. Jadi saat kamu datang sudah beres, tinggal kamu tata barang-barangmu saja dan bisa langsung kamu pakai istirahat.”

Nurul menuntun langkah Nurma menuju kamar yang sudah ia siapkan sebelumnya. Kamar yang cukup luas dibanding dengan kamarnya yang ada di Bandung. Rumah tua milik keluarga Nurul juga lumayan luas walaupun bangunannya memang sudah berumur, namun cukup kokoh dan bersih. Lebih dari cukup untuk Nurma dan anak-anaknya memulai hidup baru mereka.

“Ini kamarmu. Sudah aku siapkan Kasur dan lemari baru untuk kalian. Disebelah juga ada kamar untuk anakmu Karina. Tapi baru ada Kasur saja. Nanti kau beli sendiri meja belajar kalau Karina sudah siap untuk tidur sendiri dikamarnya.”

Mata Nurma berkaca-kaca. Sungguh kebaikan yang sangat berarti baginya dakam keadaan seperti ini. Entah bagaimana caranya berterimakasih pada sahabatnya dan juga keluarganya.

“Nurul, terimaksih banyak.”

Hanya kalimat itu dan sebuah pelukan yang mampu Nurma berikan untuk sahabatnya Nurul, yang membalas pelukannya dengan hangat, mengusap punggungnya memberikan kekuatan untuk Nurma yang masih terlihat sangat kacau dan lemah. Entah sudah berapa ahri sahabatnya itu tidak makan dan tidur dengan benar. Kelopak matanya yang menghitam serta badannya yang lemah jelas terlihat bahwa kondisinya memang sangat terpukul.

“Oh ya Nur, di ruang tamu ada foto muda nenekku dan foto muda kakekku. Tidak apa-apa kan kalau saat ini foto itu tetap ada disana?”

Tidak apa-apa Rul, biarlah tetap disana. Aku pasti akan merawatnya dengan baik.”

Kedua sahabat itu kembali berpelukan dalam haru. Setidaknya, untuk saat ini masalah Nurma bisa teratasi, ia hanya perlu sedikit waktu untuk menikmati kegetiran hidupnya sebelum ia memaksa hatinya untuk segera bangkit berjuang untuknya dan anak-anaknya.

***

1
Soraya
apa mungkin Pak bewok penjualan es itu budiman
Soraya
mampir thor
🔥_Akane_Uchiha-_🔥
Sangat kreatif
mamak
keren mb Dy,
Tiga Dara: hey... sapa nih??
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!