Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati yang Terpilih dan Pencarian Makna
"Orang akan melupakan kebaikan kita, namun tetap berbuat baiklah! Berbuat baik bukan karena pujian orang lain, berhenti berbuat baik, bukan karena makian orang lain."
Prinsip ini, yang selalu Haisya yakini dan amalkan, perlahan menembus dinding tebal di hati Denny. Kebencian Denny terhadap Haisya yang semula begitu membara, kini perlahan pudar, ibarat air yang dapat memadamkan api. Haisya telah berhasil menaklukkan hati Denny, bukan dengan paksaan, melainkan dengan ketulusan dan kelembutan. Hati Denny telah luluh oleh kelembutan hati Haisya.
Waktu demi waktu Denny jalani bersama Haisya, baik di kampus maupun di luar. Denny semakin mengenal Haisya, mengenal pribadi yang tulus dan berprinsip. Ia ingin semakin dekat dengannya, ingin memahami lebih dalam apa yang membuat Haisya begitu berbeda. Sesekali ia mengajak Haisya keluar, meskipun hanya untuk makan di restoran sederhana atau sekadar jalan-jalan santai di taman kota London. Denny juga sangat menghargai Haisya yang berbeda keyakinan dengannya, tidak lagi mengejek atau merendahkan seperti dulu. Ada rasa hormat yang tumbuh di dalam dirinya.
***
POV DENNY
Denny duduk di bangku taman, memandang langit London yang kelabu, pikirannya melayang.
"ISLAM." Sebuah kata yang dulu terasa asing, bahkan pernah ia cemooh, kini terasa begitu indah, penuh dengan kedamaian. "HAISYA." Sosok sederhana, namun dengan kesederhanaan loe berhasil menyadarkan gua. Gua penasaran dengan Islam. Ajaran yang ada di agama itu terasa begitu benar, begitu logis.
Sejak pertama kali bertemu dengan Haisya, entah mengapa ada sesuatu yang berbeda darinya. Aura yang terpancarkan olehnya, ketenangan yang terpancar dari setiap gerakannya, telah memberikan perubahan cara pandang gua terhadap Muslim. Keyakinannya kepada Islam benar-benar kuat, kokoh tak tergoyahkan. Ia mencerminkan keimanan, ketaatan, dan ketakwaannya terhadap Tuhan. Dirinya adalah seorang wanita yang anggun, dan kecantikannya tidak hanya lahiriah, tetapi juga terpancar dari batinnya.
Haisya berbeda dengan gadis lainnya. Hatinya lembut selembut sutra, dan luas seluas angkasa. Orang seperti dirinya benar-benar langka, mungkin hanya ada satu dari seribu manusia di dunia. Kesabarannya benar-benar luar biasa, tekadnya benar-benar kuat. Meski telah dihina, dicaci, bahkan disakiti oleh gua sendiri, tapi ia tetap bersikeras untuk berbuat kebaikan, tanpa pamrih. Gua benar-benar beruntung dipertemukan dengannya.
POV Denny Off
***
Sebuah Pesan yang Menggelisahkan
Setelah mandi dan berpakaian rapi dengan busana muslimah yang sederhana namun elegan, Haisya melaksanakan shalat Dhuha. Kekhusyukan menyelimuti dirinya. Usai salat, ia beranjak menuju dapur untuk mengecek persediaan makanan. Dari jendela yang lebar, Haisya melihat sinar mentari pagi yang perlahan menciumi bunga anggrek Dendrobium yang berada di emperan, memancarkan keindahan yang menenangkan hati.
Haisya duduk di meja makan, menikmati semangkuk sereal dan segelas susu sebagai pengganjal perutnya sebelum memulai aktivitas perkuliahan.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Denny: Gua butuh bantuan loe! (08.01 AM)
Haisya yang baru akan memasukkan sesendok sereal ke dalam mulutnya, seketika menghentikan pergerakan tangannya. Ia meletakkan sendoknya, tampak fokus dengan ponselnya. Matanya membulat melihat rentetan notifikasi. Delapan belas panggilan tidak terjawab. Enam belas panggilan dari Denny, dan dua panggilan tidak terjawab lainnya dari Angel, teman seangkatannya di kampus.
"Ada apa ini tidak seperti biasanya," batin Haisya, rasa cemas mulai merayapi hatinya. Denny tak pernah menelepon sebanyak ini, apalagi Angel.
Haisya melakukan panggilan balik dan memilih nomor ponsel Denny. Ia khawatir kalau Denny benar-benar sedang membutuhkan dirinya. Panggilan dari Denny tidak terjawab sejak pukul 07.45 AM, ketika ia sedang khusyuk melaksanakan shalat Dhuha tadi. Dan kini ketika Haisya menghubunginya ulang, justru Denny yang tidak mengangkat panggilannya. Tiga kali, empat kali, lima kali, Haisya terus mencoba dan tetap saja belum ada tanggapan. Lalu, dengan perasaan gelisah, ia mengetik beberapa pesan.
Haisya: Apa yang bisa aku bantu, Den? (08.20 AM)
Haisya: Tolong jawab teleponku. (08.25 AM)
Haisya: Kamu di mana? (08.23 AM)
Ia kembali berusaha untuk menelepon Denny lagi. Kali ini, justru nomor Denny tidak aktif. Haisya semakin panik. Ia teringat dengan seseorang yang juga berusaha menghubunginya beberapa menit setelah panggilan Denny – Angel. Haisya segera mencari kontak Angel di ponselnya dan melakukan panggilan.
"Tuuut… tuuut… tuuut…"
Dua menit kemudian, durasi waktu telah berjalan, pertanda panggilan telah diterima.
Obrolan via telepon:
"Halo!" sapa Haisya, nadanya penuh kekhawatiran.
"Hi," jawab Angel, suaranya terdengar cemas. "Are you okay, Haisya?"
"Yes, I'm fine, why?"
"I guess you are in danger zone."
"What? Are you serious?" Haisya merasakan firasat buruk.
"Denny called me and he said that he was going."
"Really? Where? He sent me a short message that he needs an aid."
"I don’t know. Are you together with him?"
"Denny isn't active and I'm not going together with Denny."
"OMG xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx…" Angel mulai melontarkan rentetan kata-kata dan pertanyaan yang tidak jelas, menunjukkan kepanikannya.
Obrolan via telepon off
Haisya menyudahi obrolannya setelah Angel mengatakan banyak pertanyaan tentang Denny yang tak bisa ia jawab. Sekarang ia kebingungan, jantungnya berdebar tak karuan. "Apa yang harus aku lakukan? Dia pergi ke mana sebenarnya? Kenapa sekarang tidak bisa dihubungi? Denny… kamu telah membuatku khawatir…!!!" Haisya menggigit ujung jilbabnya, mencoba menahan rasa panik yang melandanya.
***
Perjalanan Spiritual Denny
Sekarang, Denny sendirian. Ia berada pada sebuah tempat baru yang tenang, mencari pelarian untuk melepaskan segala masalah dan kegundahan yang sedang ia miliki. Ia memandang langit London yang luas, penuh dengan pertanyaan tentang hidupnya. Ia penasaran dengan catatan takdir yang telah Tuhan tetapkan untuknya.
Tak jauh dari sana, ada gereja tua yang terlihat sepi. Entah karena bukan jadwal kebaktian, atau karena orang-orang sedang merasa bahagia sehingga tidak sempat untuk berdoa pada Tuhan. Denny melangkah mendekat, perlahan, seolah ditarik oleh kekuatan tak kasat mata. Semakin dekat dengan gereja itu, semakin dekat pula ia merasa dengan keberadaan Tuhannya. Ia masuk, memilih bangku di belakang, lalu berlutut, tangannya mengepal kencang di depan dada, menandakan kesungguhan doanya. Ia mencurahkan segala isi hatinya.
Setelah beberapa lama ia mengadu kepada Tuhannya, ia merasa sedikit lebih ringan. Sekarang ia kembali melanjutkan perjalanannya, tanpa arah yang pasti. Ia berjalan menyusuri jalanan London, hingga akhirnya berhenti di sebuah masjid yang cukup megah, arsitekturnya memukau. Masjid itu dipadati oleh para pengunjung atau orang-orang musafir yang sedang beristirahat dan beribadah. Denny terdiam di ambang pintu, matanya mengamati aktivitas dan gerakan-gerakan orang yang sedang melakukan salat, penuh kekaguman. Ia juga mendengarkan lantunan-lantunan ayat suci Al-Qur'an, yang baginya seperti alunan nada-nada yang sangat indah, menenangkan jiwa.
Lantunan yang biasa ia dengar di malam hari ketika di apartemennya dulu. Lantunan ayat-ayat Al-Qur'an yang selalu dibaca oleh Haisya. Hatinya begitu tenang mendengarkannya. "Hm," Denny menutup matanya, belum siap menerima kenyataan bahwa dirinya sedang dirundung kebimbangan spiritual yang mendalam.
Kata-kata David, teman lamanya, kembali terngiang di telinga Denny: "Jangan patahkan hatimu yang masih mencari, Den! Banyak manusia hidup di dunia dalam keadaan bimbang. Bahkan ada yang sampai dibawa mati karena hati mereka tidak peduli. Sedangkan hati kamu peduli, Tuhan Yesus menyayangi dan mencintaimu untuk mencari kemana hatimu ingin berlabuh maka carilah...!"
Kini hatinya semakin bimbang, terombang-ambing di antara dua keyakinan. Ia memiliki Tuhan Yesus, yang ia yakini sejak kecil, tapi ia juga percaya dengan adanya Tuhan Allah, yang ia rasakan begitu nyata melalui Haisya. Ia tahu ia tidak mungkin mencampurkan dua agama sekaligus dalam hidupnya. Ini adalah pilihan besar yang harus ia buat.
"Oke gue akan temukan suatu kebenaran," ucapnya dalam hati, sebuah tekad bulat untuk mencari jalan yang benar.
Ia melihat seorang Muslim yang sedang duduk di dekatnya. "Excuse me, where is the Muslim center?" tanyanya, ingin mencari tahu lebih banyak.
"Makkah," jawab seorang Muslim di sana, dengan senyum ramah. Jawaban itu membuat Denny terdiam. Sebuah perjalanan panjang menanti.
***
Sudah beberapa hari ini Haisya tidak bertemu atau bahkan hanya melihat Denny. Apartemen Denny kosong, ponselnya tidak aktif, dan tak ada kabar darinya. Tidak ada yang menanyakan tentang apa yang dia sedang lakukan, ataupun yang akan ia lakukan, tidak ada yang usil dan mengganggunya.
Kehampaan itu semakin nyata di dalam hatinya. Walaupun tidak ada suatu hubungan spesial di antara keduanya, ia sadar bahwa ia merindukan kehadiran Denny, entah mengapa. "Denny, kamu kemana sih? Maafin aku karena tidak sempat mengangkat telepon darimu," Haisya berbisik lirih, menatap keluar jendela kafe. "Di mana pun kamu berada sekarang, semoga kamu baik-baik saja, Den." Haisya duduk menyendiri di meja nomor 005 sebuah coffee shop yang ramai. Ia masih memikirkan tentang kepergian Denny yang begitu tiba-tiba dan sangat misterius.
Orang-orang bule itu silih berganti datang dan pergi, namun Haisya masih beristiqamah di sana, menatap kosong ke luar. Jus jeruk yang dipesannya pun telah diminumnya hingga kering, es batunya sudah mencair. Sekitar dua puluh menit lagi ada jam masuk kuliah, dan sebentar lagi ia akan melaksanakan ulangan akhir semester. Ia harus tetap fokus kuliah agar bisa mendapatkan nilai A. Ia mengambil tas pinggang dan notebook berwarna hitam kecoklatan miliknya, mempersiapkan diri untuk ujian penting yang menantinya. Fokusnya kini harus kembali pada tujuannya.