"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Mungkinkah Itu Kanya?
Di pendopo, angin berembus pelan. Aroma teh melati mengepul dari cangkir-cangkir tanah liat.
Fadlan menunduk hormat. “Saya sudah lama mendengar tentang Kanya, dari guru saya... dan juga dari para santri yang pernah mondok di sini. Saya pribadi sangat menghormati akhlak dan keteguhan yang dijaga Kanya.”
Sang ayah menimpali dengan nada yang mantap, “Fadlan sedang membangun usaha tekstil yang insyaAllah halal dan berkah. Kami ingin usaha ini bukan cuma berkembang, tapi juga jadi wasilah kebaikan—memberi peluang kerja dan membantu saudara-saudara kita mencari nafkah. Jika Ananda Kanya bersedia… kami akan sangat bersyukur menerimanya sebagai bagian dari keluarga.”
Sang ibu menyentuh lembut lengan suaminya, lalu menatap Kanya kembali.
“Kalau Ananda berkenan... kami juga ingin menawarkan satu hal,” ucapnya tulus. “Kami memiliki butik syar’i yang dikelola keluarga. Jika Ananda menjadi bagian dari keluarga kami, butik itu bisa Ananda kelola sendiri. Sesuai dengan nilai dan visi yang Ananda yakini.”
Kanya tercenung sejenak.
Sebuah tawaran yang begitu baik, disampaikan dengan adab dan tutur kata yang menyejukkan hati. Sesuatu yang mungkin akan membuat hati perempuan mana pun tergoyah... bila keadaan berbeda.
Kyai, Umi, dan Kanya saling berpandangan. Kemudian Kyai Zubair mengangguk pelan, lalu bersuara dengan tenang namun jelas.
“Jadi maksud kedatangan Bapak, Ibu, dan Ananda Fadlan adalah untuk meminang Kanya?” tanyanya, memastikan dengan lembut.
Ayah Fadlan tersenyum ramah. “Benar, Kyai. Kami datang membawa niat baik. Ingin meminang Ananda Kanya untuk putra kami, Fadlan. Alhamdulillah, kami memiliki usaha di bidang tekstil. Bukan yang terbesar, tapi insyaAllah cukup untuk menjamin masa depan Fadlan dan calon pendamping hidupnya. Jika Ananda Kanya berkenan... kami akan sangat bersyukur.”
Kyai mengangguk perlahan. Sorot matanya teduh, tapi suara helaan napasnya terdengar berat sebelum akhirnya berkata,
“Kami merasa sangat tersanjung dengan pinangan ini. Ini bentuk kepercayaan yang tidak kecil bagi kami.”
Hening sesaat mengiringi jeda.
“Tetapi dengan segala hormat... kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pinangan ini tidak bisa kami terima.”
Ketiga tamu itu tampak terkejut. Wajah sang ibu menyiratkan kekecewaan yang berusaha ia sembunyikan, sementara Fadlan menunduk, menahan rasa yang sulit diungkap.
Kyai melanjutkan dengan suara yang tetap tenang,
“Bukan karena kami memandang Ananda Fadlan kurang dalam hal apa pun, melainkan karena Ananda Kanya telah terikat dalam pernikahan.”
Suasana mendadak hening. Bahkan desau angin pun terasa menjadi saksi di antara mereka.
Fadlan menghela napas yang terasa berat. "Maaf, kami tak tahu."
Ayahnya menambahkan. "Kami hanya tahu Ananda Kanya tinggal di pondok ini sendirian. Tanpa keluarga. Jadi...kami mengira Ananda masih single."
Kyai tersenyum teduh. "Benar. Selama ini Ananda Kanya tinggal bersama kami tanpa keluarga. Ini karena Ananda pernah mengalami kecelakaan, dan hal itu membuatnya terpisah dari suaminya. Mereka saling mencari dan baru bertemu. Karena itu, tak sedikit yang menyangka Ananda Kanya belum bersuami.”
Kanya menatap Kyai sejenak. Ia sangat bersyukur, Kyai menjaga nama baiknya. Tak mengatakan bahwa ia menghindar dari suaminya untuk menata hati.
"Ternyata begitu ceritanya," ujar ibu Fadlan tetap lembut dan sopan. "Sayang sekali. Kami terlambat meminang." Ada kecewa yang coba disembunyikannya.
"Mohon maaf, jika telah membuat salah paham dengan status saya." Kanya menunduk dalam. "Saya sangat berterima kasih atas niat baik Kak Fadlan dan keluarga."
Umi Farida menggenggam tangannya hangat memberikan dukungan dalam diam.
Setelah beberapa percakapan hangat, mereka berpamitan dengan tetap menjaga adab dan kelembutan tutur.
***
Kafe Cinta dan Cangkir
Fadlan duduk di sudut kafe, dekat jendela besar yang menyuguhkan pemandangan jalan yang perlahan gelap. Alunan lagu dari band indie mengalun pelan di latar. Jemarinya mengusap permukaan cangkir, sementara pandangannya kosong menembus kaca.
Cangkir kopinya sudah lama mendingin, tapi Fadlan tetap menggenggamnya—seolah masih ingin merasa hangat dari sesuatu yang perlahan menghilang.
“Assalamualaikum,” tegur seseorang sembari menepuk bahunya ringan.
Fadlan tersentak kecil, lalu menoleh. Senyum tipis mengambang di bibirnya.
“Wa’alaikumussalam… Faiz? Sejak kapan kamu di kota ini?”
“Baru tadi sore,” jawab Faiz sambil menarik kursi di depannya. “Kangen sama masakan rumah. Tapi ya begini, nasib duda. Dulu tiap hari makan masakan rumahan—penuh cinta dan cita rasa.
Sekarang? Tiap hari beli, kadang rasanya kayak bumbu numpang lewat. Dulu hangat, sekarang... dingin, sendiri. Bahkan dompet pun ikut merana."
Fadlan tertawa kecil, tapi senyumnya mengambang getir.
Faiz memerhatikannya sebentar. “Kau kenapa? Gak keliatan senang ketemu sahabat lama.”
Fadlan diam sejenak. Ia menunggu pelayan mengantar minuman pesanan Faiz pergi, lalu baru bersuara.
“Aku sudah lama mencari istri. Tapi begitu hatiku benar-benar mantap pada seseorang… ternyata dia sudah ada yang punya.”
Faiz menaikkan alis, tertarik. “Perempuan mana yang bisa bikin CEO tekstil kita ini patah hati?”
“Namanya Kanya,” sahut Fadlan lirih. “Dia tinggal di pondok Kyai Zubair. Sederhana, mandiri, dan... rasanya sulit mencari yang seperti dia. Kupikir dia belum bertemu lelaki yang tepat karena selalu menolak pinangan. Tapi ternyata... hatinya sudah lebih dulu dimiliki.”
Faiz mengangguk pelan. “Kenapa nggak tanya aku dulu? Aku kerja di KUA. Bisa bantu cek status nikahnya... meski kalau nikah siri, aku angkat tangan.”
Fadlan tertawa singkat. “Iya... nikah siri sekarang terlalu berisiko. Terutama buat pihak perempuan.”
Mereka terdiam sejenak.
Lalu Faiz bersandar ke kursinya, menatap Fadlan. “Ngomong-ngomong soal itu… apa kamu dengar kabar tentang CEO Sanjaya Company yang batal menikah gara-gara istri sirinya datang ke acara ijabnya?”
Fadlan mengangguk pelan. “Iya. Aku dengar sedikit.”
“Aku ada di sana,” kata Faiz. “Lihat sendiri. Istri sirinya datang… bercadar dan jalannya sedikit terpincang. Mungkin karena itu sang CEO tak mau menikahinya secara resmi. Entah kenapa, tapi... aku kasihan pada perempuan itu.”
Fadlan menajamkan pandangan. “Bercadar dan jalannya... agak terpincang?”
Faiz mengangguk. “Iya. Kenapa?”
Fadlan cepat-cepat menggeleng. “Nggak, nggak apa-apa…”
Tapi dalam diamnya, pikirannya mulai bergerak. Ada sesuatu... yang tak bisa ia abaikan begitu saja.
“Bercadar dan jalannya agak terpincang…” gumamnya dalam hati. Seketika ia teringat perkataan Kyai Zubair kemarin:
"Selama ini Ananda Kanya tinggal bersama kami tanpa keluarga. Ini karena Ananda pernah mengalami kecelakaan, dan hal itu membuatnya terpisah dari suaminya. Mereka saling mencari dan baru bertemu. Karena itu, tak sedikit yang menyangka Ananda Kanya belum bersuami.”
"Mungkinkah itu Kanya?" pikirnya, mulai menyusun potongan-potongan dalam benaknya.
Tatapannya mengarah ke jendela. Tapi pandangannya jauh—seolah mencoba menembus kaca, deru kendaraan, dan semua kebetulan yang mulai terasa bukan sekadar kebetulan.
"Jika benar… dan dia tak dicintai suaminya… bolehkah aku berharap?—Astaghfirullah. Kenapa aku berpikir seperti ini?"
“Hei! Jangan melamun!” seru Faiz sambil menepuk pundaknya. “Kalau kesambet 'kan ribet.”
Fadlan tersentak ringan.
Faiz terkekeh, “Jangan bilang kau lagi patah hati? Santai aja, Bro. Meski wanita yang kau taksir udah ada yang punya, bukan berarti dunia runtuh.
Kau itu CEO—banyak gadis antre jadi istrimu kayak antre sembako murah. Beda sama aku, cuma PNS KUA. Duda pula.”
Fadlan ikut tertawa pelan. “Kekayaan dan jabatan mungkin memudahkan kita mencari istri. Tapi mencari istri yang bisa mendampingi dalam suka-duka, dan menerima kita seutuhnya—itu lebih langka dari emas. Harta ini hanya titipan. Dan titipan bisa diambil kapan saja. Jangan sampai salah pilih hanya karena silau status.”
***
Tak terasa, tiga hari telah berlalu.
Kanya berdiri di tengah kamar, memandangi koper dan dus-dus yang tertata rapi. Semua sudah selesai—urusan kuliah, pesanan butik Umi, bahkan barang-barangnya pun telah dikemas. Kini, hanya satu yang tersisa: kepulangannya.
Ia duduk di tepi ranjang, meraih ponsel yang tergeletak di meja. Jemarinya menggulir layar, mencari satu nama yang sejak tadi enggan ia sentuh—Zauji, panggilan dalam bahasa Arab yang berarti "suamiku".
Nama itu ia sematkan sendiri untuk pria yang kini menjadi pendamping halalnya. Hati kecilnya berdebat.
"Haruskah?"
Setelah beberapa detik terdiam, ia menarik napas panjang dan mulai mengetik.
>"Assalamu'alaikum. Kak, bisa jemput aku sore ini?"
Pesan terkirim. Tapi balasan tak kunjung datang.
Kanya mengernyit.
"Apa dia sibuk?" gumamnya. "Sebenarnya aku bisa pulang sendiri… tapi aku menghargai Mama dan Papa. Mereka pasti ingin kepulanganku dijemput suamiku, bukan pulang sendiri seolah belum bersuami."
Layar ponselnya kini gelap, mencerminkan perasaan yang ikut meredup. Ia menatapnya lama… lalu tiba-tiba tersentak.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁
Kanya juga bukan Wanita yang akan bertindak bodoh dan tidak akan nuduh Kian tanpa bukti yang kuat...
ayo Kanya berikan hakmu pada Kian...biar Kian tidak menyentuh wanita lain di luar,,perlihatkan wajahmu Kanya jika sedang berdua di kamar
Kamu melanggar larangan orang tua mu..
jangan sampai kamu kehilangan baru nyadar Kanya wanita terbaik.
ingat pesan ayahmu