NovelToon NovelToon
BATAL SEBELUM SAH

BATAL SEBELUM SAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Konflik etika / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Keluarga
Popularitas:152.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:

“Sah.”

Namun sebelum suara itu terdengar…

“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”

Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.

Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.

Siapa dia?

Istri sah yang selama ini disembunyikan?

Mantan kekasih yang belum move on?

Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?

Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.

Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

32. Menohok

Kian menatap tajam, tapi kali ini... bukan karena ingin menyakiti.

Mungkin karena ingin menguji. Atau mungkin... karena ia ingin tahu rasa dari kelembutan yang ia abaikan terlalu lama.

"Jangan terlalu baik, Kanya," ucapnya perlahan.

"Aku bisa salah paham."

Kanya menatapnya.

Dan meski wajahnya tersembunyi di balik cadar, sorot matanya menjawab tanpa ragu.

"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang istri," ujarnya pelan.

"Tidak lebih... tidak kurang."

Ia menghela napas. Suaranya tak bergetar, justru penuh keyakinan.

"Aku hanya ingin menjadi istri yang bisa kau banggakan...meski kau belum bisa mencintaiku."

Kian terkunci dalam tatapan itu.

Dan untuk pertama kalinya... ia tak tahu harus membalas dengan apa.

Kian nyaris melangkah keluar kamar ketika ia menoleh dan melihat Kanya berdiri dengan tangan terulur.

Keningnya mengernyit.

"Kau meminta uang bulananmu?" tanyanya datar, hampir sinis.

Kanya menundukkan wajah sejenak sebelum menjawab.

"Aku hanya ingin menyalami suamiku… sebagai bentuk hormat dan baktiku."

Suara itu tenang. Tapi ada napas panjang yang ia tarik sebelumnya, seperti sedang menahan beban yang tak terlihat.

Kian menatapnya sesaat. Dalam hati, ia sempat curiga, apakah ini hanya akting untuk mencuri simpatinya? Tapi justru karena Kanya tak meminta apa-apa, karena ia hanya mengulurkan tangan untuk menyalami, bukan untuk menagih, kecurigaan itu terasa memalukan.

Ada sesuatu yang menohok di dada Kian. Kanya tak menuntut, tak menagih haknya, hanya memberi penghormatan. Dan itu membuatnya merasa seperti orang yang paling tidak pantas menerima hormat dari perempuan sekuat itu.

"Dan soal uang bulanan," lanjut Kanya, suaranya tetap lembut tapi mantap.

"Aku bisa menanggung diriku sendiri… meski kau belum memberikannya. Tapi jika kau memang ingin memberinya, aku akan menerimanya dengan penuh syukur. Karena aku tahu… itu memang hakku."

Ia mengangkat wajah, menatap suaminya lurus-lurus.

"Masalah kau tak ingin mengambil hakmu sebagai suami, itu pilihanmu. Tapi aku pantas mendapatkan hakku sebagai istrimu, karena aku sudah menjalankan kewajibanku."

Kian menatapnya tajam. Kali ini bukan hanya karena ingin mengintimidasi. Tapi karena… kalimat itu terasa menohok, tanpa harus bernada tinggi.

"Kau semakin berani pada suamimu," gumamnya.

Kanya tidak gentar. Tapi juga tidak menantang. Ia hanya menatap dengan keyakinan, bukan amarah, apalagi kesombongan. Tapi keyakinan seorang perempuan yang belajar menerima perannya tanpa kehilangan martabatnya.

"Aku tidak takut apapun… selama aku merasa benar."

Senyum miring muncul di wajah Kian.

"Oh, ya?" gumamnya pelan. Ia menunduk perlahan, mendekat hingga napasnya terasa di balik cadar Kanya.

Kian tidak perlu berkata banyak. Kedekatan mereka saja sudah cukup membuat udara terasa menekan.

Jantung Kanya berdegup tak karuan. Tangannya mengepal di samping tubuh, kakinya nyaris ingin mundur, tapi ia paksa tetap berdiri. Ia tak ingin terlihat lemah. Tidak di hadapan pria yang berkali-kali menoreh luka di hatinya.

Sosok yang melukai bukan dengan belati, tapi dengan kata-kata… yang lebih menyakitkan dari luka fisik.

Kian berhenti sangat dekat. Wajahnya condong ke depan, menunduk sedikit ke arah telinga Kanya.

"Kalau begitu..." bisiknya pelan, "...sebutkan nomor rekeningmu."

Suara itu terdengar seperti tantangan. Tapi hembusan napasnya menyentuh sisi hijab Kanya dan mengguncang ketenangannya.

Wajah Kanya memanas. Tak menyangka Kian sengaja mendekat sedekat itu hanya untuk menanyakan nomor rekening. Tapi ia tetap tak bergerak. Hanya menelan ludah pelan, lalu menyebutkan angka demi angka dengan suara yang ia jaga agar tak bergetar.

Tapi dadanya tak bisa dibohongi, gelombang gugup itu datang tanpa permisi.

Beberapa detik kemudian, suara notifikasi memecah keheningan.

Kian mengangkat wajahnya dari layar ponsel, menatap Kanya.

"Sudah," ucapnya tenang.

"Kalau masih kurang, bilang saja. Jangan buat aku malu di depan siapa pun, terutama orang tuaku."

Kanya mengangguk pelan.

"Terima kasih."

Lalu, dengan gerakan penuh takzim, ia meraih tangan Kian dan mengecup punggung tangan suaminya dengan lembut, seperti istri yang sepenuhnya menyerahkan rasa hormatnya.

Kian diam. Tak menarik tangannya seketika. Ada getar hangat yang menjalar dari kulit ke jantung. Perasaan dihargai yang selama ini tak pernah ia minta, tapi kini mengusik diam-diam.

Refleks, ia menarik tangannya. Menjauh. Lalu mengambil tas kerja dari meja.

"Assalamualaikum," ucapnya pendek, sebelum melangkah keluar kamar.

Kanya membalas segera.

"Waalaikumsalam. Hati-hati," ucapnya tulus.

Kian tak menjawab lagi. Tapi langkahnya sedikit melambat di depan pintu. Entah karena suara itu... atau karena hatinya yang mendadak terasa ganjil.

Kanya tersenyum tipis di balik cadarnya.

Matanya menatap pintu yang baru saja dilewati suaminya.

"Setidaknya… ia pamit sebelum pergi. Dengan ucapan salam," batinnya tenang.

Kanya menutup pintu perlahan setelah Kian pergi. Bunyi langkah suaminya yang menjauh masih tertinggal samar di telinga, hingga akhirnya benar-benar hilang ditelan sunyi. Ia memutar tubuh, bersandar di pintu. Matanya menutup perlahan.

Napasnya berat.

Hatinya lebih berat lagi.

Ia melangkah pelan ke meja, mengambil ponsel. Jemarinya bergerak lambat membuka aplikasi perbankan. Angka itu muncul, 50 juta.

Matanya menatap layar tanpa berkedip.

Angka yang luar biasa bagi seseorang sepertinya, yang dua tahun terakhir belajar hidup mandiri dengan usahanya sendiri. Tapi justru karena terlalu besar, dan datang tanpa kerja keras… terasa asing.

Ia tak tersenyum. Tak terkejut. Tak juga bersorak.

Hanya hening.

Dan napas yang lolos perlahan dari bibirnya.

Seolah hatinya tengah menimbang sesuatu yang jauh lebih berat dari sekadar nominal yang tertera.

"Sebanyak apa pun uang ini..." bisiknya nyaris tak terdengar, "…nggak akan pernah bisa membayar luka yang dia tinggalkan."

Ia menarik napas panjang, menahan sesuatu yang mengganjal di dada.

"Mungkin... ini caranya menunjukkan bahwa aku masih berarti. Setidaknya sebagai istri. Bukan sebagai wanita."

Tangannya menggenggam ponsel itu erat. Bukan karena uangnya, tapi karena ia masih ingin percaya… bahwa di balik luka yang belum sembuh, masih ada ruang kecil untuk tumbuh.

"Meski ini tak bisa menyembuhkan luka yang kau sebabkan… setidaknya ini bentuk tanggung jawabmu," batinnya lirih.

"Tapi aku tak tahu… apakah ini tulus, atau hanya formalitas agar kau tak tampak buruk di mata orang lain."

Ia menarik napas panjang, menatap layar sekali lagi.

"Tapi… mungkin bukan itu yang paling penting."

"Yang penting, aku tidak menyerah jadi istrimu. Bukan karena uang. Tapi karena aku ingin tetap menjalankan bagian yang seharusnya kulakukan… sampai kamu sadar, apa yang sebenarnya berharga."

Ia menunduk. Dalam diam, setitik air mata menetes. Cepat ia seka, lalu bangkit berdiri.

Langkahnya pelan menuju kamar mandi di sudut ruangan.

Ia berwudhu.

Air yang menyentuh wajah terasa lebih dingin dari biasanya. Tapi ia butuh itu, dingin yang menenangkan. Yang menjernihkan kepala dari panasnya emosi.

Di sisi lain, Kian menyandarkan tubuhnya ke jok mobil. Mesin sudah menyala, tapi ia belum menginjak pedal gas.

Satu tangan memegang setir, yang lain mengusap wajahnya dengan kasar.

Dadanya naik turun, napasnya berat.

“Kenapa dia bisa setenang itu?” batinnya gusar.

Sosok Kanya terbayang jelas di kepalanya. Tatapan teduh di balik cadar, cara bicaranya yang pelan… tapi mengena. Tanpa marah. Tanpa dendam. Tapi justru lebih menyakitkan dari teriakan.

Ia menggeleng pelan.

"Dia gak pernah membela diri. Bahkan saat aku menjatuhkannya dengan kata-kata tajamku.

Dia jujur. Mengakui salah tanpa dipaksa. Dan justru itu... yang paling mengganggu."

Tangan Kian mengepal di atas paha.

"Aku gak bisa debat sama dia."

"Atau mungkin… aku kalah bahkan sebelum sempat berdebat."

Pada akhirnya, mobil itu melaju. Tapi pikirannya tertinggal di kamar. Pada sosok wanita yang selama ini ia anggap lemah… dan tak pernah benar-benar ia pahami.

Sosok yang ternyata kuat. Kekuatan yang tersembunyi dalam diam yang menenangkan… dan justru karena itulah, ia merasa kecil.

Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya-tanya…

“Apa dia benar-benar setulus itu… atau aku yang terlalu sering mengukur segalanya dengan curiga?”

Kian terus bergelut dengan perasaan dan logikanya. Ia tak sadar, sejak pernikahannya dengan Friska batal, ia tidak benar-benar merasa frustrasi. Yang ia rasakan justru malu. Harga dirinya tercabik.

Karena di matanya, ia telah dipermalukan. Dipermainkan oleh seorang gadis yang dulu menghilang seolah mati… lalu kembali membawa badai, menghancurkan semua rencana hidupnya.

Tapi hari ini, ia mulai bertanya, apa semua ini benar tentang cinta? Atau hanya tentang egonya yang terluka?

Apa ia sungguh mencintai Friska… atau hanya terobsesi pada sosok yang ia anggap sempurna? Cantik. Elegan. Cocok bersanding dengan citranya sebagai CEO muda. Bukan karena akhlaknya. Bukan karena pribadinya.

Dan kalau benar itu hanya obsesi… maka, yang patah selama ini bukan hatinya. Tapi kesombongannya.

Dan gadis yang selama ini ia anggap sebagai masalah... justru mungkin satu-satunya yang pernah memberinya arti.

Sayangnya… ia belum menyadari.

...🌸❤️🌸...

Next chapter...

Kian langsung berhenti. Tubuhnya menegang. Tatapannya berpindah cepat dari wajah Kanya ke kaki yang tertutup gamis. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia membungkuk dan mengangkat tubuh Kanya ke pelukannya.

"A-apa yang kau lakukan?!" pekik Kanya kaget, tangannya spontan melingkar ke leher Kian.

To be continued

1
Dek Sri
lanjut
Siti Jumiati
Friska ketahuan kalau ada didalam kamar mandi
Cicih Sophiana
Friska knp gak pulang aja dari td malam... biar kamu ada jg Friska kan gak di anggap ada sama mereka... dari pada lebih sakit hati mending pulang istirahat...
Siti Jumiati
apakah Friska yang mengintip dibalik kamar mandi
Cicih Sophiana
Alhamdulillah Kian sdh sadar...
awas Kanya ada yg mengintip tuh... pasti dia penasaran liat wajah kamu yg di sembunyikan ternyata cantik pantas aja Kian memilih Kanya... itu Friska yg bilang
Cicih Sophiana
semoga tdk membahayakan nyawa Kian...
phity
sdh kublng kan friska mestiny smlam kmu pamit sj sm kanya ini msh bertahan sja tp ad bagusnya si kmu tau yg sebenarnya...smoga itu menyadarkanmu
asih
hancur sudah lah hatinya friska ..niat .au mencari yg lebih baik Dari Kian ehh malah KTM sama yg kayak ngono kasian Kali kau fris
anonim
Looooo...Friska kenapa masih di rumah sakit - menginap pula.
Rupanya Kanya salat subuh di masjid rumah sakit - makanya Friska berani mendekat berdiri di samping ranjang Kian yang masih terlelap.
Friska di kamar mandi ketika Kanya datang mendekati Kian yang mulai membuka mata. Friska di balik pintu kamar mandi bisa melihat wajah Kanya ketika pashmina pengganti cadarnya di lepas.
Kian menjelaskan kejadian sewaktu Friska tanpa ijin masuk dalam mobil pada Kanya - terjadi dialok terbuka yang tanpa mereka berdua sadari ada sepasang telinga yang mendengarkan. Baguslah - jadi lebih jelas sekarang hubungan suami istri - Kian dan Kanya bagaimana - Friska harus paham atas arti pembicaraan Kian dan Kanya.
Fadillah Ahmad
Lanjutkan Kak Nana... Pokoknya Sampai Kanaya Hamil Kak Nana... 🙏🙏🙏😁
Puji Hastuti
Lanjut kk
Puji Hastuti
Friska ternyata kamu bukan rumah bagi kian /Grin/
septiana
Alhamdulillah... sekarang mereka sudah saling terbuka.. untuk Friska,jadikan ini semua sebagai pelajaran semoga kamu segera mendapatkan jodoh yg terbaik.
far~Hidayu❤️😘🇵🇸
bukan juga .. alasannya akhlaknya Kanya..bukan kerana kecantikan isterinya semata-mata
Felycia R. Fernandez
setelah dihadang penjahat, setelah hampir meninggal...
hari ini mereka bisa bicara dari hati ke hati...
saling mencurahkan isi hati masing masing💓💖💕💗
Anitha Ramto
kasihan banget kamu Friska...dengar Pengakuan Kian pada Kanya yang sangat takut kehilangan Kanya,ternyata Kian hanya mengagumimu bukan mencintaimu,sekarang kamu dengar sendirikan kalo Kian dan Kanya saling nencintai dan mereka pasangan yang serasi,, Kanya ada apa yaaa sampe kaget begitu...

di gantung lagi nih sm kak Nana...
dan suara dering ponselnya si Ftiska dari kamar mandi wkwkwk
far~Hidayu❤️😘🇵🇸: baguslah biarkanlah dia tahu yg benar supaya dia berhenti menjadi pelakor
total 1 replies
Liana CyNx Lutfi
Nahkan sdh saling terbuka dan sdh saling mencintai,friska belajarlah dr kanya soal kesabaran dan keikhlasan jngn krn sakit hati trs mencari pelarian carilah yg bnr2 tulus menerima
Sri Hendrayani
ooh ketahuan deh
Upi Raswan
iiih thor..kenapa sih seneng banget bikin penisisriiin ..tapi gpp deh.selalu menunggu dengan setiaaah
Nana Colen
iiiiiieh ni greget da..... lanjut lagi dooong jangan gantung 🙏🙏🙏🙏❤❤❤❤❤
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!