“Jika aku berhasil menaiki takhta ... kau adalah orang pertama yang akan ku buat binasa!”
Dijual sebagai budak. Diangkat menjadi selir. Hidup Esma berubah seketika tatkala pesonanya menjerat hati Padishah Bey Murad, penguasa yang ditakuti sekaligus dipuja.
Namun, di balik kemewahan harem, Esma justru terjerat dalam pergulatan kuasa yang kejam. Iri hati dan dendam siap mengancam nyawanya. Intrik, fitnah, hingga ilmu hitam dikerahkan untuk menjatuhkannya.
Budak asal Ruthenia itu pun berambisi menguasai takhta demi keselamatannya, serta demi menuntaskan tujuannya. Akankah Esma mampu bertahan di tengah perebutan kekuasaan yang mengancam hidupnya, ataukah ia akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASS31
Ba'da isya, Bey Murad, Ibu Suri, dan Esma menjenguk bayi Yasmin. Senyuman bahagia tersungging di bibir Yasmin saat menyambut mereka.
“Dengan segala kerendahan hati, hamba mengucapkan terima kasih banyak atas kunjungan ini. Kehadiran Baginda, Valide Sultan (Ibu Suri), serta Esma Hatun, merupakan kehormatan besar untuk diri hamba dan juga Pangeran kecil,” tutur Yasmin seraya menunduk hormat. “Sesungguhnya, hamba sempat khawatir bahwa pangeran tidak akan mendapatkan perhatian serta kasih sayang jika mengingat dosa-dosa yang telah hamba lakukan di dalam istana ini. Namun, melihat kehadiran kalian, sungguh ... hamba merasa lega.”
Bey Murad dan Ibu Suri bertukar pandang.
Sekilas, keduanya tampak tenang—namun di balik sorot mata Sang Raja, tersirat kewaspadaan yang sulit disembunyikan.
Bey Murad menegakkan punggungnya, ia berdeham pelan lalu berkata, “Di dalam tubuh pangeran, mengalir darah dinasti—tentu saja dirinya tak akan kekurangan apapun, termasuk perhatian dan hak-haknya. Masa lalumu tidak akan memengaruhi kasih sayang kami kepadanya, Yasmin. Yang terpenting adalah masa depan, dan bagaimana kau akan membimbingnya kelak.”
“Baginda ... terima kasih, hamba—” Suara Yasmin tercekat. Air mata palsu langsung menggenang di pelupuk matanya, buru-buru ia menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Ibu Suri menatap Yasmin lama. ‘Tutur katamu terlalu manis untuk terdengar tulus,’ batinnya.
Senyum kecil muncul di sudut bibir Ibu Suri. “Semoga kata-katamu sejujur air matamu, Yasmin Hatun,” sarkasnya. “Istana ini memiliki sejarahnya sendiri. Jangan sampai kau mengulang kesalahan yang sama. Kami semua berharap kau bisa menjadi ibu yang baik untuk pangeran.”
Di balik telapak tangan yang menutup wajahnya, Yasmin menggigit geram ujung bibirnya. ‘Perempuan tua bangka ini merusak suasana saja! Kau pasti tengah cemas, takut posisimu ku rebut bukan? Lihat saja, jika aku terpilih menjadi Valide Sultan, kau adalah orang pertama yang akan ku singkirkan dari Kerajaan.’
Yasmin buru-buru memasang raut sedih, lalu menyeka sisa bulir bening di sudut mata. “Hamba akan berusaha sebaik mungkin, Valide Sultan.” Ia mengulas senyuman tipis, lalu mendekati pangeran kecil. “Lihatlah wajahnya, Valide Sultan. Sungguh sangat tampan rupawan, ‘kan?”
Bayi mungil dengan kedua pipi bersemu merah, menggeliat kecil saat Ibu Suri mengusap lembut pipi bulatnya. Perempuan lanjut usia itu tersenyum, kali ini ia setuju dengan perkataan Yasmin.
“Kau benar, dia sangat tampan. Semoga pangeran kecil hanya mewarisi sifat-sifat terpuji dari kedua orang tuanya,” ujarnya lembut tetapi terdengar menusuk di gendang telinga Yasmin.
“Aamiin.” Yasmin memaksakan senyumnya.
Baginda Bey Murad mendekati buaian kayu berukir — tempat pangeran kecil tertidur pulas. Wajahnya tampak teduh ketika melihat mahluk kecil itu. Dengan hati-hati, ia mengangkat sang pangeran kecil ke dalam gendongannya.
Bibir Bey Murad berbisik pelan, melantunkan ayat-ayat suci di telinga pangeran, dan tak lama kemudian ia pun berucap, “Namamu ... Emir Zafran bin Murad. Semoga engkau tumbuh menjadi penegak kebenaran, pelindung umat, dan pembawa kemuliaan bagi dinasti ini.”
“Aamiin.” Yasmin tersenyum lebar. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Esma, menilik ekspresi yang sulit terbaca. ‘Hahaha, kau pasti sangat iri ‘kan, Esma?’ batinnya senang.
Esma membalas tenang tatapan Yasmin. ‘Apa maksud tatapanmu, itu? Kau kira aku iri? Pada manusia sinting sepertimu? Cih, tunggu saja. Bersenang-senanglah sepuasmu dulu.’
Yasmin melempar senyuman manis pada Esma, dan Esma pun sama begitu.
...***...
Beberapa minggu kemudian.
Yasmin masuk ke dalam has oda dengan membawa nampan di tangannya. Bey Murad menyambut kedatangan wanita itu dengan satu alis terangkat, tatapannya masih sama seperti sebelum-sebelumnya — datar.
“Assalamu'alaikum, Baginda ....” Yasmin menundukkan kepala. “Maaf bila hamba lancang datang tanpa diundang.
Bey Murad menghela napas pelan. “Waalaikumsalam,” sahutnya. “Ada gerangan apa engkau datang kemari, Yasmin?”
Yasmin mengangkat kepalanya perlahan, mengulas senyuman tipis. Ia mendekat ke meja kerja, membawa serta nampan perak berisi manisan warna-warni — potongan quince, delima, dan kacang pistachio bertabur madu.
“Hamba mendengar ... Baginda belum sempat bersantap sore. Hamba hanya ingin mempersembahkan sedikit manisan buatan tangan hamba sendiri. Semoga dapat menyegarkan pikiran Baginda di tengah penat dengan urusan istana,” jawab Yasmin lembut sambil meletakkan nampan tersebut ke atas meja. Sekilas, matanya bergerak liar menatap mahkota ber-permata hijau dalam genggaman Bey Murad.
‘Dia membuat mahkota? Mungkinkah ... ini pertanda? Mahkota itu ... untukku?’ Yasmin bermonolog di dalam hati. Jantungnya sampai berdebar kencang. ‘Apa ini karena aku melahirkan seorang pangeran? Karena statusku sebagai ibu dari pewaris takhta? Mungkinkah ... aku akan menjadi permaisuri?’ Senyum kecil tersungging di bibirnya, karena membayangkan dirinya duduk di samping Bey Murad dengan mahkota hijau itu bertengger anggun di kepalanya.
Bey Murad menatap datar ke arah Yasmin yang senyum-senyum sendiri. Ia berdeham pelan, mengalihkan perhatian wanita itu. “Kau boleh pergi, Yasmin,” ucapnya tanpa ekspresi, kembali fokus pada mahkota di tangannya.
Sedetik Yasmin terkesiap, senyumnya nyaris luntur. Namun, ia lekas kembali menarik sudut bibirnya, menyuguhkan senyuman palsu.
“Baik, Baginda,” jawabnya lembut seraya menundukkan kepala. “Hamba mohon pamit. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah kepada Baginda, serta memberikan kekuatan untuk memimpin kerajaan ini dengan adil dan bijaksana.”
Ia membungkuk hormat sebelum berbalik dan melangkah keluar dari has oda, meninggalkan Bey Murad yang kembali tenggelam dalam pekerjaannya.
Namun, belum sempat Bey Murad kembali fokus pada mahkota di tangannya, terdengar suara pintu kembali diketuk. Kali ini, Panglima Orhan yang datang menghadap.
“Baginda ....” Orhan membungkuk memberi hormat. “Hamba datang membawa informasi.”
“Katakan,” sahut Bey Murad singkat.
“Semua telah dipersiapkan sesuai perintah Anda, Baginda. Semua berjalan sesuai rencana. Pasukan elit telah disiagakan di perbatasan, dan mata-mata kita telah mengonfirmasi pergerakan mencurigakan dari kerajaan tetangga. Mereka tampaknya sedang merencanakan sesuatu yang besar, Baginda.”
Bey Murad mengangguk pelan, tatapannya berubah tajam. “Kapan mereka akan bergerak? Bagaimana dengan Rustum Pasha?” tanyanya dengan raut serius.
“Menurut perkiraan, dalam waktu dekat, Baginda. Mungkin dalam beberapa hari ke depan,” jawab Orhan. “Rustum Pasha ... pengkhianat itu sudah masuk ke dalam permainannya sendiri. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, maka kita akan segera membuka topengnya.”
Bey Murad meletakkan mahkota yang tadi digenggamnya ke atas meja. Ia berdiri dan berjalan mendekati jendela, menatap ke arah halaman istana yang mulai gelap.
Bey Murad meremat kuat bingkai jendela, lalu tatapannya beralih pada Orhan.
“Perintahkan semua pasukan bersiap. Mulai malam ini, tak ada lagi yang beristirahat. Besok pagi, kita segera bergerak.”
Orhan menunduk hormat, “Sebagaimana perintah, Baginda.”
Langkah pria berbadan tegap itu mundur teratur, meninggalkan Bey Murad yang kembali menatap ke luar jendela dengan amarah nyaris meluap-luap.
“Rustum Pasha, kau harus membayar semua perbuatan mu—termasuk perbuatan kejimu terhadap ayahku.”
*
*
*
aku suka peran wanita yg gk menye menye 🤭🤭
gk suka yg drama indosiar dkit dikit meewekk
sadr diri