Kontrak kerja Tya di pabrik garmen akan segera berakhir. Di tengah kalut karna pemasukan tak boleh surut, ia mendapat penawaran jalur pintas dari temannya sesama pegawai. Di hari yang sama pula, Tya bertemu seorang wanita paruh baya yang tampak depresi, seperti akan bunuh diri. Ia lakukan pendekatan hingga berhasil diajak bicara dan saling berkenalan. Siapa sangka itu menjadi awal pilihan perubahan nasib. Di hari yang sama mendapat dua tawaran di luar kewarasan yang menguji iman.
"Tya, maukah kau jadi mantu Ibu?" tanya Ibu Suri membuyarkan lamunan Tya.
"HAH?!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Draft, Deal
"Diaz, bawa mobil kayak siput gini. Sini Ibu aja yang nyetir! Tya udah sampai duluan tuh. Dia on time lho. Itu anak berarti biasa disiplin." Ini omelan Suri yang keempat kalinya selama perjalanan. Memang sedari rumah, putra semata wayangnya itu tampak ogah-ogahan berangkat. Barulah setelah diingatkan tentang persaingan dengan Bobby, Diaz mau angkat bokong dari kursi.
"Bukan karena disiplin tapi karna tergiur bonus yang Ibu kasih. Ibu harusnya discuss dulu sama aku. Terlalu gede kalau ngasih nafkah 20 juta sebulan. Kasih 10 juta juga cukup. Mana mau dikasih mobil segala. Berlebihan..." Diaz mendecak. Merasa ada jalan mengungkapkan keberatannya. Wajahnya masam meski demikian tidak mengabaikan konsentrasi menyetir.
"Untuk nilai warisan 800 miliar, pengorbanan segitu nggak seberapa, Diaz. Jangan jadi orang pelit. Hitung-hitung sedekah buat orang yang lagi kesulitan. Tya anak yatim piatu. You knew...Ibu udah jelasin semuanya kemarin. Lagian kalau kalian memainkan sandiwara pernikahan dengan apik, nggak perlu nunggu lama warisan akan turun. Kecuali..."
"Kecuali apa?" Diaz menoleh sekilas. Mendapati ibunya sedang senyum-senyum sendiri.
"Kecuali kau nantinya jatuh cinta sama Tya. Silakan aja lanjutkan nikahnya. Surat kontrak tidak berlaku lagi."
"Big no, Bu. Ini aja aku nurut karna Ibu yang minta. Kalau Ayah yang jodohin, aku mau ngelawan."
"Oke. Akan Ibu ingat percakapan kita hari ini."
Geranium Cafe yang disambangi adalah cafe cabang ketiga milik Suri. Yang kemudian pengelolaannya sepenuhnya dipercayakan pada Diaz. Ia hanya memantau dan menerima laporan dari sang anak. Begitu masuk ke dalam cafe, disambut langsung oleh manajer cafe.
"Tamu saya di mana, Mike?"
"Sudah menunggu di Alpha VIP, Bu. Mari saya antar."
"Nggak usah. Biar saya sama Diaz aja. Bikinin saya sari wortel pakai madu tanpa es. Siapkan menu makan siang jam satu."
"Siap, Bu. Mas Diaz mau minum apa?"
"Arabica no sugar. Porsi sloki aja."
"Siap, Mas."
***
Tya memutuskan menekan tombol hijau setelah 10 menit lewat dari pukul 11. Yang membuat janji mengirim pesan bahwa akan datang terlambat karena ada hambatan di jalan. Tanpa menyebutkan jenis hambatannya apa. Dengan menggunakan privilege itu, kini di mejanya sudah tersaji ice coffee milk—es kopi klasik dengan tambahan susu, juga satu risoles mayo yang ukurannya lebih besar dari yang biasa ia beli dari pedagang yang mangkal di ruang gerbang pabrik saat jam istirahat.
"Aku bisa ngantuk kalau nunggu sambil bengong." Tya terbiasa bicara sendiri dengan catatan tidak ada orang lain di sekitarnya. Mulai menggigit risol mayo dengan kening menimbulkan dua garis kerutan. Ekspresi menilai rasa. "Masya Allah, enak banget asli. Telur puyuhnya utuh dua, sosisnya besar panjang, mayonesnya mantap. Yang dagang di pabrik telur puyuhnya setengah, sosisnya stunting. Dah lah, ada harga ada rasa. Nila 9 dari 10."
Suara orang yang berbicara di depan pintu terdengar samar. Tya buru-buru menyimpan risol yang masih tersisa setengahnya ke piring. Menelan cepat yang masih ada di mulut, kumur-kumur dengan es kopi, mengelap mulut dengan selembar tisu yang bekasnya segera dimasukkan ke dalam saku. Harus rapi. Ini akan jadi pertemuan pertama dengan anaknya Ibu Suri—harus terkesan baik. Duh, deg-degan. Joko, help me!
Kenop berputar, pintu pun terbuka lebar. Tya menoleh lalu beradu pandang dengan seorang perempuan paruh baya yang tersenyum lebar, kemudian beralih tatap pada seorang pria yang mengekori di belakang Ibu Suri. Inikah yang namanya Diaz?
"Halo, Tya. Maafin ya Ibu telat datang. Macet di jalan." Suri memeluk hangat dan cipika-cipiki dengan Tya yang menyambutnya dengan berdiri. Macet versinya adalah bukan tentang lalu lintas. Tetapi tentang anaknya yang jalan setengah hati.
"Nggak apa-apa, Bu. Tempat tunggunya adem. Jadi setengah jam nggak berasa." Tya tersenyum tulus. Yang diucapkannya bukan cari muka, tetapi fakta. Setengah jam yang dilaluinya bisa balas-balas komentar postingan tadi dan juga bisa menikmati es kopi dan sepotong risoles premium.
Suri menatap dengan sorot kagum. "Oh ya...nih, kenalin anak Ibu, calon suamimu. Ardiaz biasa dipanggil Diaz,' ujarnya. Lalu menyikut pelan lengan Diaz yang masih diam dan menatap Tya tanpa ekspresi.
Diaz mengulurkan tangan. "Diaz."
"Cantya. Biasa dipanggil Tya. Pakai y bukan i." Tya membalas jabat tangan hanya sekilas. Tersenyum ramah. Sayangnya, senyumnya tak berbalas senyum.
Ganteng sih. Tapi sariawan kayaknya.
"Lanjut perkenalannya sambil duduk." Suri meminta Tya duduk satu sofa dengannya. Membiarkan Diaz duduk sendiri di sofa yang ada di sebelah kanannya.
Waiter masuk mengantarkan dua gelas pesanan. Menyimpan di meja dan segera pergi dengan membungkuk sopan. Segan pada bos besar.
"Ke sini naik apa, Tya?"
"Bu, jangan basa basi. To the point aja. Aku nggak bisa lama-lama. Mau ada meeting." Diaz mendahului menjawab. Membuat ibunya melotot tajam. Alhasil, ia mengalihkan pandangan.
"Mana ada meeting hari Minggu. Paling juga nongkrong main billiard sama teman-teman kau yang menurut Ibu toxic."
"Bu, jangan bahas di luar tema." Diaz tetap merendahkan intonasi meski dirinya kesal sekali.
"Salah sendiri ngatur Ibu."
Duh, jadi nonton drama nih aku.
Tya bingung harus bersikap seperti apa. Kalau senyum nanti dikira mencemooh Diaz. Nunduk aja deh.
"Jadi Tya ke sini naik apa?"
"Naik ojol, Bu." Tya menjawab sejujurnya.
Suri manggut-manggut. "Nah, sekarang Tya udah ketemu langsung dengan Diaz. Itu artinya Tya udah gak bisa mundur ya. Ibu pastikan tidak akan ada yang dirugikan. Ini kerja sama saling menguntungkan. Deal ya kita lanjut ke level berikutnya. Tanda tangani kontrak.
"Maaf sebelumnya, Bu. Aku ingin baca dulu isi kontraknya. Belum bisa bilang 'deal'." Jangan sepelekan keberanian Tya. Ia seorang extrovert yang supel bergaul dengan siapa saja. Dengan anak-anak ayo, dengan seusia masuk, dengan yang lebih tua no problem. Pernah juga memimpin emak-emak demo di kelurahan menuntut sekretaris kelurahan dipecat karena korupsi dana desa—uangnya dipakai sewa LC.
"Ah, Ibu suka kau pro-aktif. Diaz, berikan draft perjanjiannya pada Tya."
Tanpa kata, Diaz menyerahkan map yang dikeluarkan dari tas kerja, dengan menyimpan di meja.
Setelah meminta izin kepada Ibu Suri, Tya mulai membaca dengan cermat. Kata demi kata dengan sangat fokus.
Selama menunggu Tya menyelesaikan membaca, Suri mengaduk minuman sari wortelnya. Diaz meneguk kopi dalam slokinya, sekali teguk habis.
Draft surat perjanjian yang dibaca Tya hanya ada dual lembar. Dua kali ulang ia membaca pasal-pasal dan poin-poin tiap pasal seperti hendak dihapal.
"Kalau ada yang tidak dimengerti, jangan sungkan tanyakan, Tya. Kalau mau ada penambahan atau pengurangan poin tiap pasal, bilang aja." Suri memecah keheningan. Menyempatkan melirik tajam melihat Diaz anteng menunduk memainkan ponselnya.
"Aku mau kalimat yang lebih jelas aja, Bu. Di pasal dua ini. Bahwa tak ada kewajiban suami istri. Pihak kedua hanya memberikan nafkah lahir saja. Tidak memberikan nafkah batin ataupun meminta hak dipenuhi kebutuhan batinnya pada pihak pertama. Aku ingin kalimat serinci ini, Bu."
"Aku setuju dirinci begitu. Tenang saja aku juga nggak mau kok. Kita tidur sekamar juga kalau Ayah ada di rumah. Kalau cuma ada Ibu, kita tidur di kamar berbeda." Sahut Diaz yang sengaja menyambar saat ibunya tampak membuka mulut.
"Oke-oke. Nanti draftnya direvisi. Ada lagi, Tya?"
"Hm...anu, Bu. Soal pasal tiga nih.Kalau kontrak berakhir maka aku dan hmm Mas Diaz cerai kan. Lalu Ibu akan melindungi nama baik aku setelah kontrak berakhir dengan tetap menganggap aku sebagai menantu Ibu dengan jangka waktu selama yang aku mau. Mau diperjelas aja, Bu, jangka waktunya dua tahun dari selesai kontrak. Boleh nggak, Bu?" Tya hanya memfokuskan tatapan pada Ibu Suri. Meski ia sadari kalau Diaz fokus menyimak dan sedang menatapnya tajam.
"Ibu sih nggak keberatan. Nanti tetap ada teman tertawa kalau Ibu udah cerai sama suami. Tapi Tya apa nggak kelamaan jadi jandanya? Secara kamu cantik, ceria, humoris, dan masih muda. Pasti banyak cowok yang antri. Tapi kau malah terpenjara lama jadi menantu Ibu."
"Tak apa, Bu. Aku udah tergiur bonus-bonus yang Ibu janjikan. Aku mau nemenin Ibu Suri dulu sebagai ucapan terima kasih."
"Baiklah. Deal?" Suri mengangkat sebelah alisnya. Tersenyum penuh arti yang hanya dirinya sendiri yang mengerti.
Tya mengangguk. "Deal." Tya menjabat tangan Ibu Suri yang terulur padanya.
"Oke, Tya. Lanjutkan nikmati minumanmu. Abis ini kita makan siang bareng. Ibu ke toilet dulu ya."
Ditinggalkan oleh Ibu Suri, membuat Tya mau tak mau menolehkan wajah ke arah Diaz saat pria dingin itu mengubah posisi duduknya menjadi bersandar, bersilang kaki, dan melipat kedua tangan di dada.
"Kau... cewek matre." Diaz menatap sinis.
"Nggak dong. Cuma lagi butuh duit aja. Dan demi duit, jangankan sakit pinggang, sakit hati pun akan dikerjakan. Jadi bekerja sama lah dengan baik, calon suamiku. Hihihi.
Diaz bergidik. "Stress."
"Syukurlah kamu tahu." Tya tersenyum miring.
tidur bareng itu maunya ibu suri kaaan.... sabar ya ibu. 🤭
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣