Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Pesawat jet pribadi itu melaju tenang menembus gumpalan awan putih. Interior kabin berlapis kulit hitam dan kayu gelap terasa hening, hanya suara mesin yang bergemuruh lembut. Kimberley duduk di kursi empuk dekat jendela, kakinya terlipat santai, segelas anggur merah bergoyang pelan di tangannya. Ia menatap keluar, menatap langit biru yang tak berujung, seolah sedang mencari sesuatu di balik cakrawala.
Nicholas duduk di seberang, punggungnya tegak, tatapannya lurus, tubuhnya kaku seperti patung penjaga. Jas hitamnya rapi, dasinya sedikit longgar, tapi ekspresinya tetap sama: dingin, netral, tak tergoyahkan. Kimberley melirik sekilas, lalu tersenyum nakal.
“You know, Nico… if you keep sitting like that, people will think you’re a mannequin,” ujarnya sambil memutar gelas anggurnya.
Nicholas hanya melirik singkat, lalu menjawab singkat dengan suara datar.
“I’m doing my job.”
Kimberley mendengus kecil, matanya menyipit seperti anak kecil yang merasa digoda balik. “Your job is to keep me safe, not to scare me with that poker face.”
Nicholas tidak menjawab. Tangannya terlipat rapi di pangkuan, matanya tetap fokus pada ruangan sekitarnya, mengawasi setiap detail seperti biasa. Diamnya justru membuat Kimberley makin gemas.
Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekat sedikit.
“Come on, Nico… can’t you at least smile once? Or is it forbidden in your rule book?”
Kali ini, Nicholas menarik napas panjang, tapi akhirnya ia membuka suara.
“Smiling doesn’t change the fact that we’re heading into danger.”
Kimberley terdiam sejenak. Matanya melembut, senyum nakalnya meredup. Ia menaruh gelas anggurnya di meja kecil di samping kursi, lalu menatap jendela lagi.
Suara Nicholas terdengar lagi, lebih berat, lebih dalam. Untuk pertama kalinya, bukan hanya dingin atau formal.
“Why risk your life going back?” katanya pelan. “You know what happened there. You almost died.”
Pertanyaan itu menusuk sunyi di kabin. Kimberley menutup matanya sebentar, lalu tertawa kecil, tawa yang menunjukkan rasa pahit, bukan yang biasanya ceria. Ia berbalik menatap Nicholas, tatapannya tajam tapi juga rapuh di saat bersamaan.
“Because, Nico… that’s where she died,” katanya lirih.
“Three years ago, Elanor Cromwell was buried. They thought they killed me, erased me, burned my name to ashes. But the truth is—” Kimberley menunjuk dadanya sendiri, “—I’m still here. Breathing. Waiting. Watching.”
Nicholas terdiam, menatapnya lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu yang berbeda di sorot matanya—bukan sekadar formalitas seorang bodyguard, tapi rasa ingin tahu, bahkan mungkin… simpati.
Kimberley tersenyum samar, lalu menambahkan dengan suara mantap.
“I’m not going back for revenge, Nico. I’m going back to take back what’s mine. My name. My life. My place.”
Hening kembali merayap di antara mereka. Nicholas menunduk sedikit, seperti sedang mempertimbangkan kata-katanya sendiri, sebelum akhirnya berkata pelan, hampir tidak terdengar.
“...You’ve changed.”
Kimberley terkekeh, kali ini lebih lembut. “We all did, Nico. But don’t worry—” ia menyentuh bahu Nicholas dengan ujung jarinya, membuat pria itu kaku tak nyaman, “—I’ll still be the same girl who loves teasing you.”
Nicholas menghela napas, jelas menyerah pada tingkahnya. “You’re impossible.”
“Finally!” Kimberley tersenyum lebar. “That’s almost a smile.”
Pesawat bergetar ringan saat menembus lapisan awan yang lebih rendah. Kimberley kembali menatap keluar, matanya menyipit menembus kabut putih yang perlahan menyingkap. Di bawah sana, samar-samar mulai terlihat gemerlap cahaya sebuah kota besar. Olympus.
Jantungnya berdegup lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena campuran rindu, marah, dan tekad yang membara. Ia menempelkan jarinya ke kaca jendela, matanya berkilat penuh determinasi.
“Home,” gumamnya pelan.
“The place where I died once… and where I will rise again.”
Di langit Olympus, sebuah jet pribadi melaju menembus awan. Di dalamnya, Kimberley Morgan bersandar di kursi empuk dengan tatapan tajam ke luar jendela. Ia belum tahu apa yang menunggunya di bawah sana, tapi ia tahu satu hal pasti: kota itu masih menyimpan setengah jiwanya.
Sementara itu, di bawah sana, kehidupan orang-orang yang dulu dekat dengannya berjalan pincang, seolah-olah tiga tahun bukanlah waktu untuk menyembuhkan, melainkan waktu untuk tenggelam semakin dalam.
Ruang rapat Cromwell Corp terasa pengap. Layar proyektor menampilkan grafik saham yang merosot tajam. Beberapa dewan direksi tampak tegang, sebagian lain frustrasi.
“Mr. Daniel,” suara seorang dewan memecah keheningan, nadanya penuh tekanan. “Kami tidak bisa terus seperti ini. Investor besar sudah menarik diri. Perusahaan butuh pemimpin yang fokus, bukan seseorang yang—”
Ia berhenti sejenak, menahan kata-katanya, tapi maknanya jelas. Bukan seseorang yang masih terjebak di masa lalu.
Daniel hanya duduk kaku di ujung meja panjang. Jasnya rapi, tetapi wajahnya pucat, dengan kantong mata gelap dari malam-malam tanpa tidur. Pandangannya tidak pada grafik, melainkan pada pigura kecil di samping laptopnya—foto Elanor yang tersenyum lembut.
Seseorang berdeham keras. “Mr. Daniel, apakah Anda mendengar saya?”
Daniel mengangkat kepala perlahan, matanya kosong.
“Ya… saya dengar.”
Namun nada suaranya hampa. Ia mencoba menutup rapat luka yang menganga, tapi semua orang di ruangan itu tahu: Daniel Cromwell sudah kehilangan lebih dari sekadar fokus—ia kehilangan dirinya sendiri.
Suara dentuman palu, gesekan mesin, dan bau oli memenuhi bengkel. Anak-anak muda yang biasanya ramai kini bekerja dengan wajah tegang. Mereka masih memanggil Dominic boss, tapi semua sadar, pria itu bukan lagi sosok yang sama.
Dominic berdiri di sudut bengkel, tubuh kekar berlumur keringat, tangannya cekatan memperbaiki mesin motor. Ia jarang bicara, hanya memberi instruksi singkat bila perlu.
Rio, tangan kanannya, mencoba mencairkan suasana.
“Boss, mau kopi? Gue bikinin sekalian.”
Dominic hanya melirik sekilas. “Gak.”
Jawaban singkat itu cukup membuat Rio terdiam. Dulu, Dominic akan tersenyum, melempar candaan, atau sekadar berterima kasih. Kini, wajahnya datar, seolah setiap kata adalah beban.
Malam harinya, saat bengkel sepi, Dominic sering duduk lama di atas Harley hitamnya. Tangannya membelai setir motor, sementara matanya menerawang kosong. Bayangan malam ketika ia harus mengantar tubuh Elanor di ambulans masih menempel kuat, trauma yang tak pernah benar-benar pergi.
Kampus sore itu ramai, mahasiswa bercengkerama di taman, beberapa sibuk dengan tugas. Di salah satu sudut, Bella duduk sendirian di bangku, earphone terpasang, wajahnya tertunduk.
Seorang teman sekelas mendekat ragu.
“Bel… kamu nggak ikut kelas sore ini?” tanyanya pelan.
Bella tidak menjawab. Tangannya hanya menggenggam erat botol minum di pangkuannya. Tatapannya kosong menembus tanah, seolah suara di sekitarnya hanyalah dengung tak berarti.
“Bel?” temannya mencoba lagi, suara lebih lembut.
Bella akhirnya menoleh. Mata cokelatnya yang dulu hangat kini dingin, nyaris tanpa emosi. Ia menatap sebentar, lalu kembali diam. Temannya hanya bisa terdiam canggung, lalu pergi meninggalkannya.
Sejak Elanor tiada, Bella berubah total. Nilai akademiknya merosot, ia sering bolos kelas, dan jarang sekali berbicara. Bukannya meledak marah seperti dulu, kini ia memilih tenggelam dalam diam.
Malam-malamnya di kamar kos penuh tangis sunyi. Foto Elanor terselip di bawah bantal, selalu basah oleh air mata yang jatuh tanpa suara. Bella bukan hanya kehilangan sosok Sahabat karibnya, ia juga kehilangan jangkar yang membuatnya tetap kuat. Dan tanpa jangkar itu, ia terus hanyut tak tentu arah.
Di sebuah ruangan rahasia, Rafael duduk di depan meja penuh kertas dan layar komputer. Garis merah di papan tulis menghubungkan nama-nama, membentuk jaring rumit penyelidikan.
Seorang anggota timnya melapor melalui headset, “Target B masih bergerak. Tidak ada tanda mencurigakan sejauh ini.”
“Teruskan pengawasan,” jawab Rafael singkat.
Wajahnya keras, tatapannya tajam. Tiga tahun ini, ia berubah menjadi pemburu dalam kegelapan, membangun jaringan bayangan untuk mencari siapa saja yang terlibat dalam tragedi ballroom.
Namun setiap kali layar menampilkan wajah Elanor, hatinya mencengkeras. Rasa bersalah itu menolak pergi. Ia tahu, bagaimanapun, ia gagal melindunginya.
Kota Olympus berjalan dengan luka yang tak kunjung sembuh. Daniel kehilangan kendali, Dominic membeku dalam dingin, Bella tenggelam dalam diam, dan Rafael menelan hidupnya dalam bayangan penyelidikan.
Mereka semua masih terjebak pada hari itu, hari dimana Elanor Cromwell dikubur tiga tahun lalu.
Dan tidak ada seorang pun yang tahu bahwa di langit Olympus, ia sedang dalam perjalanan kembali.
Sementara itu Kimberley menyibak tirai jendela kecil dan menatap keluar. Dari balik kaca, ia melihat bayangan lampu kota Olympus di kejauhan—tempat yang dulu ia tinggalkan sebagai Elanor Cromwell, tiga tahun lalu. Jantungnya berdegup pelan, tapi matanya tetap tajam, seolah bersiap menghadapi apa pun.
“Welcome home, Miss,” ucap Nicholas datar, menoleh sekilas padanya.
Kimberley hanya tersenyum samar, lalu membetulkan mantel hitam panjangnya. “Home, huh…” bisiknya pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri.
Lampu neon bandara kota Olympus menyilaukan mata, bercampur dengan hiruk-pikuk suara roda koper yang bergesekan dengan lantai, pengumuman kedatangan yang berulang-ulang, dan orang-orang yang terburu-buru melangkah.
Di antara keramaian itu, Kimberley melangkah keluar dari gerbang kedatangan dengan langkah yang agak kaku. Ransel kecil menggantung di bahunya, sementara Nicholas mendorong koper besar di belakangnya. Tak ada karpet merah, tak ada pelayan, bahkan tidak ada senyuman penyambutan. Hanya lautan wajah asing yang sibuk dengan urusan masing-masing.
Kimberley berhenti tepat di depan pintu kaca bandara yang mengarah keluar. Nafasnya tiba-tiba memburu. Matanya menyapu kanan-kiri, mencari sesuatu, apa saja yang bisa dijadikan pegangan. Tapi yang dia dapat hanya orang-orang yang lewat begitu saja, tidak peduli siapa dia.
Tangannya meremas gagang tas kecilnya erat-erat. Jantungnya berdebar keras, bukan karena takut musuh, tapi karena hampa. Tiga tahun lalu, ia meninggalkan kota ini sebagai Elanor Cromwell, sosok yang semua orang kenal, yang semua orang bicarakan. Kini, ia kembali sebagai Kimberley Morgan. Dan… tak seorang pun menunggu.
Kakinya seolah tertahan, tak bisa bergerak maju. Dia menelan ludah, berusaha menahan gejolak panik yang tiba-tiba menghantam.
"What am I supposed to do now…?" pikirnya.
Nicholas berdiri satu langkah di belakangnya, matanya tetap waspada, tapi ia bisa melihat jelas kegugupan Kimberley. Gadis itu mencoba tersenyum, tapi senyumnya goyah, rapuh, seakan topengnya bisa runtuh kapan saja.
Kimberley menghela nafas cepat, dadanya naik-turun. “I… I don’t know, Nico…” bisiknya pelan, hampir tidak terdengar di tengah keramaian. “I don’t know what to do.”
Nicholas tidak langsung menjawab. Ia hanya menghembuskan napas panjang, berat, lalu menatap langit-langit bandara yang penuh lampu neon. Dari wajahnya jelas sekali, ia sudah memperkirakan hal ini akan terjadi.
Dengan suara rendah, nyaris seperti gumaman, Nicholas akhirnya berkata, “Just breathe. One step at a time.”
Kimberley menoleh ke arahnya, matanya masih dipenuhi gugup. Untuk sesaat, ia ingin menolak, ingin membantah, tapi suara Nicholas yang dalam dan stabil membuatnya sedikit terhenti. Ia mengangguk kecil, berusaha menahan air mata yang hampir muncul entah karena panik atau rindu pada masa lalu.
Di depan mereka, pintu kaca otomatis terbuka. Hembusan angin malam kota Olympus menerpa wajah Kimberley. Ia berdiri terpaku, jari-jarinya bergetar di sisi tubuhnya. Baginya, langkah kecil keluar dari bandara itu terasa seperti melangkah ke medan perang.
Nicholas menghela napas panjang sekali lagi, lalu mendorong koper melewatinya. “Come on,” katanya pendek.
Kimberley menelan ludah, dan dengan langkah berat, ia akhirnya mengikuti.
Di balik kaca, kota Olympus menanti, dingin, asing, tapi penuh rahasia dan tantangan yang harus ia hadapi kembali.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭