NovelToon NovelToon
Tangisan Di Malam Pertama

Tangisan Di Malam Pertama

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia
Popularitas:8k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.


Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.


Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 3

Tubuh Naia terkulai di atas ranjang mewah itu, wajahnya basah oleh air mata, nafasnya tersengal, dan tubuhnya masih bergetar hebat. Seakan seluruh dunia runtuh menimpanya dalam satu malam.

Tangisannya pecah, tersedu, menyayat hati, mengisi keheningan kamar yang tadi hanya dipenuhi suara paksaan. Ia memeluk tubuhnya sendiri, menutupi bekas-bekas sentuhan yang baru saja merenggut kehormatannya.

“Ya Allah…,” lirihnya, suaranya parau, “mengapa Engkau biarkan aku ternoda begini? Bukankah aku baru saja menjadi istri? Mengapa bukan suamiku yang menyentuhku pertama kali, tapi pria lain yang bahkan membeliku dari tangannya?”

Tangannya gemetar, ia menampar dadanya sendiri berulang kali, seolah ingin menghukum dirinya yang tak mampu menjaga kesucian yang selama ini ia jaga rapat-rapat.

Tubuhnya digosoknya dengan kasar, mencoba menghapus jejak tangan dan bibir Atharva yang masih terasa panas di kulitnya.

“Pergi! Hilang! Aku tidak ingin ada yang tersisa darimu!” ratapnya serak, tangannya menyapu setiap inci tubuhnya, menyakiti dirinya sendiri demi ingin menghapus semua jejak sentuhan tangannya Atharva.

Namun, semakin keras ia menggosok, semakin jelas bayangan itu tertinggal di benaknya.

Air matanya jatuh tanpa henti, bercampur dengan rasa jijik, marah dan hancur yang tak tergambarkan. Ia menunduk, memukul-mukul dadanya dengan kedua tangannya yang masih terikat.

“Arya…” suaranya pecah, lirih penuh kepedihan, “kau suamiku tapi kenapa justru kau yang menyerahkan aku pada orang lain? Aku ini istrimu, bukan barang dagangan. Bukan benda murahan yang bisa diperjualbelikan!”

Ratapannya menggema, tubuhnya terhuyung jatuh dari tepi ranjang hingga bersimpuh di lantai dingin. Rambutnya berantakan, matanya bengkak, wajahnya pucat pasi.

“Lebih baik aku mati malam ini daripada hidup dengan noda ini seumur hidupku…” bisiknya sambil menekan wajahnya ke lantai, menangis sejadi-jadinya.

Namun, di balik ratapannya, ada api kecil yang masih menyala sebuah janji lirih yang lahir dari luka paling dalam.

“Arya… kau sudah merenggut semuanya dariku. Tapi ingat, aku tidak akan selamanya menangis. Aku akan bangkit. Dan saat itu tiba kau akan menyesali setiap tetes air mata yang jatuh malam ini.”

Tangisannya kembali pecah, mengguncang tubuh rapuhnya yang bergetar hebat, sementara cahaya lampu kamar itu seolah berubah jadi saksi bisu dari kehancuran seorang perempuan yang dikhianati cinta dan kepercayaannya sendiri.

“Ya Allah… ampunilah aku hamba-Mu yang telah ternoda dalam dosa,” lirih Naia, suaranya pecah di sela-sela tangis pilu.

Ia memeluk kedua lututnya, tubuhnya terguncang, air matanya jatuh tiada henti, seakan seluruh langit ikut menyaksikan ratapan penyesalannya.

Fajar baru saja menyingkap tirai langit ketika Naia membuka mata dengan tubuhnya yang gemetar.

Cahaya tipis matahari menembus jendela besar kamar presidential suite itu, namun baginya, cahaya itu tak membawa harapan hanya menyingkap luka yang tak bisa disembunyikan.

Tubuhnya terasa remuk, setiap inci raganya seakan dipaksa menanggung beban yang bukan miliknya.

Rasa perih dan nyeri menjalar, meninggalkan jejak menyakitkan bahwa malam itu adalah pengakuan pertamanya, tapi bukan dengan cinta, melainkan dalam paksaan dan pengkhianatan.

Naia meringkuk, menarik kakinya ke dada, tangannya yang terikat semalaman masih terasa panas bekas jeratan dasi sutra. Air mata kembali mengalir tanpa henti, membasahi pipinya yang pucat.

“Ya Allah… kenapa harus begini? Aku bahkan belum sempat merasakan indahnya menjadi istri, tapi yang kudapat hanyalah neraka dan kesakitan,” bisiknya parau, suaranya patah-patah.

Hatinya hancur lebur, seperti kaca yang dihempaskan ke lantai marmer. Bukan hanya kehormatan yang direbut, tapi juga kepercayaan dirinya sebagai seorang perempuan.

Dia merasa kosong, kotor, seakan semua cahaya dalam dirinya direnggut paksa oleh keadaan.

Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, bayangan malam itu kembali menghantamnya, membuatnya ingin menjerit. Tubuhnya sakit, tapi lebih sakit lagi hatinya yang tercabik.

“Oh Tuhan seandainya aku bisa memutar balik waktu, aku nggak akan rela dan sudi menikah dengan Arya,” lirihnya.

Naia menggenggam selimut erat-erat, menutup tubuhnya yang terasa asing bagi dirinya sendiri. Ia merasa tidak lagi utuh. Ia merasa seolah-olah bagian terdalam dari dirinya sudah tercuri.

Namun, di tengah kehancuran itu, ada bisikan kecil dari dalam hatinya: bahwa ia harus bertahan. Bahwa meskipun malam itu mencuri segalanya, ia masih bisa memilih untuk tidak menyerahkan jiwanya sepenuhnya.

“Astaghfirullahaladzim, ampunilah segala salah dan dosaku ya Allah,” cicitnya Naia.

Pagi itu, kamar megah itu kembali dipenuhi ketegangan. Naia yang masih lemah mencoba menutupi tubuhnya dengan sisa selimut, matanya bengkak karena semalaman menangis dan kurang tidur.

Langkah berat Atharva terdengar mendekat. Pria blasteran Timur Tengah–Inggris itu berdiri di tepi ranjang, menatap Naia dengan sorot mata yang menyala. Ada sesuatu yang tak bisa ia sembunyikan yaitu kegilaan yang berubah menjadi candu.

“Tidak… jangan lagi, Tuan… aku mohon,” suara Naia bergetar hebat, tubuhnya gemetaran. Ia merapatkan selimut ke dada, berusaha melawan dengan sisa tenaga yang dimilikinya.

Atharva hanya menghela napas berat melihat Naia yang ketakutan, seolah sedang menahan sesuatu yang tak terkendali.

“Naia… kau membuatku gila. Semakin kau menangis, semakin aku tak bisa melepaskanmu.”

“Tidak! Aku tidak sanggup lagi!” jerit Naia, air matanya mengalir deras. Suaranya melengking, memantul di dinding kamar mewah itu.

“Ya Allah… lepaskan aku, aku sudah nggak sanggup lagi.. aku mohon berhenti!”

Atharva mendekat, tangannya meraih Naia meski ia meronta. Selimut terlepas dari genggamannya, tubuh rapuh itu kembali terperangkap dalam kekuatan pria dewasa yang jauh lebih dominan.

Jeritan Naia kembali pecah, parau dan penuh duka. Ia meronta, menendang, menggeliat, tapi semua sia-sia. Setiap usahanya seolah hanya semakin menegaskan ketidakberdayaannya.

“Berhenti! Tolong… jangan lagi!” suaranya berubah serak, tangisnya menyesakkan dada.

Namun Atharva yang sudah tergila-gila padanya tak bergeming. Baginya, Naia telah menjadi racun manis yang membuatnya kehilangan kendali, sebuah candu yang tak bisa ia tolak.

Bagi Naia, pagi itu kembali menjadi neraka. Jeritannya hanya tenggelam dalam hening kamar mewah, tak ada yang mendengar, tak ada yang menolong.

“Kamu mungkin hari ini menolak tapi lama-lama kamu akan terbiasa dengan sentuhankur,” ucap Atharva sambil menelusuri setiap inci kulit halus dan lembut milik Naia.

“Aku sudah sangat lelah Tuan Muda Atharva, tolong lepaskan, aku mau pulang ke kampung,” cicit Naia yang meratap dan memohon belas kasihnya Atharva.

Atharva menatap Naia yang terkulai lemah dengan sorot mata yang sulit ditebak antara puas, terobsesi, dan tergila-gila. Nafasnya berat, namun bibirnya melengkungkan senyum tipis.

“Naia…” ucapnya pelan namun penuh tekanan, “kau adalah candu yang tak pernah kutemukan sebelumnya. Setiap detik bersamamu membuatku semakin terikat, semakin haus. Aku tak bisa melepaskanmu.”

Ia mengangkat dagu Naia dengan jemarinya, memaksa mata sembab itu menatap lurus ke arahnya.

“Air matamu, ketakutanmu, bahkan perlawananmu semuanya membuatku gila. Kau berbeda dari semua perempuan yang pernah kudapatkan. Kau begitu murni, begitu nyata, hingga aku merasa tak seorang pun bisa menyentuhmu kecuali aku.” ucapnya Atharva yang juga keheranan dengan akal sehat dan pikirannya yang selalu memikirkan Naia.

Atharva mendekat, suaranya nyaris berbisik, berat dan dalam.

“Tubuhmu, keberanianmu bahkan kepasrahanmu semuanya seperti racun manis bagiku. Dan aku sudah terlalu jauh untuk bisa berhenti.” ucap Atharva lagi.

Ia tersenyum miring, lalu menambahkan dengan nada penuh obsesi, “Mulai hari ini, Naia, aku tidak akan membiarkanmu pergi. Kau milikku seutuhnya. Entah kau suka atau tidak.”

Sedangkan di tempat lain beberapa jam sebelumnya, jauh dari kamar mewah tempat Naia menangis hancur, Arya justru larut dalam dunia gemerlapnya.

Di sebuah klub malam elit Jakarta, lampu neon berkelap-kelip, dentuman musik keras, dan aroma alkohol memenuhi udara.

Arya duduk di sofa VIP, dikelilingi perempuan-perempuan muda yang tertawa manja di sisinya.

Botol-botol minuman mahal berjejer di meja, kepulan asap rokok melayang menutupi wajahnya yang penuh senyum puas.

Di tangannya, ia menggenggam segenggam uang tunai sebagian dari dua miliar rupiah yang baru saja diterimanya.

Dengan santai ia menaburkan lembaran ratusan ribu ke udara, membuat para perempuan itu berteriak kegirangan.

“Hahaha… siapa bilang menjual istri itu rugi? Dua miliar, bro!” serunya pada teman-teman prianya yang juga ikut larut dalam pesta.

“Dan ini baru awal. Kalau si Tuan kaya itu puas, bayangkan berapa lagi yang bisa kudapatkan nanti!”

Para perempuan menempel di lengannya, memuji, merayu, sementara Arya hanya tertawa puas, mabuk oleh uang dan kenikmatan sesaat.

Tanpa sedikitpun rasa bersalah, tanpa terbayang bahwa di saat yang sama, istrinya Naia sedang tergeletak hancur, menahan sakit dan tangisan di kamar megah yang seharusnya jadi malam bahagia pernikahannya.

Esok paginya, tanpa rasa bersalah sedikit pun, Arya melangkah ke showroom mobil mewah dengan senyum lebar. Tangannya menepuk-nepuk kap sebuah mobil balap keluaran terbaru, mengagumi lekuk aerodinamis dan kilau cat metaliknya.

“Ini yang gue mau,” ucapnya dengan penuh percaya diri, menyerahkan sebagian dari uang dua miliar itu tanpa pikir panjang.

Tak butuh waktu lama, mesin menggeram keras saat Arya memacu mobil barunya keluar dari showroom.

Angin pagi berdesir di wajahnya dan deru mesin itu seakan menjadi musik kemenangan yang menenggelamkan bayangan dosa besar yang baru saja ia lakukan pada Naia. Ia tertawa puas, seolah dunia ini hanya miliknya.

Tangis Naia pecah seperti gelombang yang tak terhentikan. Suaranya melengking di kamar megah yang terasa begitu asing baginya.

Setiap detik seakan menegaskan betapa hausnya ia pada keadilan yang tak pernah datang. Ia memeluk tubuhnya sendiri, seperti berusaha menahan serpihan dirinya yang tercerai-berai.

“Ya Allah… kenapa aku dilahirkan untuk menanggung ini semua?” ratapnya, suaranya parau dan terbata-bata.

Matanya menatap kosong ke arah jendela, melihat cahaya pagi yang sama sekali tak bolehkan hadirkan ketenangan untuknya.

“Aku hanya ingin diakui sebagai manusia bukan barang jualan, bukan objek permainan orang kaya.”

Kenangan-kenangan kecil melintas; tawa masa kanak-kanak, pelukan hangat ibunya, janji-janji sederhana tentang masa depan semua terasa seperti mimpi yang direnggut dalam semalam.

Pengkhianatan suami, cengkeraman Atharva menjadi satu kesakitan di dadanya, menekan sampai kesulitan untuk bernafas.

Di tengah keputusasaan itu, sebuah dorongan gelap menyelinap dipikirannya mencari jalan keluar dari rasa sakit yang tak tertahankan.

Ia berdiri, berjalan goyah menelusuri kamar, setiap langkahnya berat, seolah ada batu yang terikat di setiap lengannya.

Matanya mencari-cari sesuatu yang bisa memadamkan derita ini, bukan karena ia membenci hidupnya sendiri, tetapi karena ia lelah dan tentunya begitu lelah.

Namun ketika ia menatap lebih dalam ke bawah, bukan hukum atau jalan buntu yang ia lihat, melainkan bayangan ibunya yang dulu membelai ujung hijabnya dan berkata, “Jangan pernah menyerah, Nak.” Kata itu seperti paku kecil yang menusuk, membuatnya tersentak dari lamunannya.

Tangisnya berubah, bukan lagi hanya ratapan, tapi suara seorang perempuan yang sedang kehilangan segalanya namun masih punya satu napas kecil untuk berharap akan ada keajaiban.

“Jika ini takdirku, biarkan aku hidup untuk membuktikan bahwa aku lebih dari penderitaan ini,” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar, namun tegas.

Naia tetap tak berdaya di lantai kamar itu, menangis sampai lelah, tapi di antara air mata ada satu keputusan kecil, mungkin bisa saja esok akan berbeda. Bukan karena dunia berubah, tapi karena ia belum selesai mencari alasan untuk bertahan.

1
Isma Isma
baguss Leni kasih tau niaa biar Ndak timbul masalah baruu 🥰🥰🥰🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: kan bagus kalau banyak fans 🤭🤣
total 1 replies
Hana Ariska
gak sabar nunggu kelanjutan nya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak.. insya Allah besok double update
total 1 replies
Milla
Pasti nyaaa anak buah tuan muda arthava 🤭 semangat up thorrr🙏🌹
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Belum tentu 🤭🤣
total 1 replies
Hijriah ju ju
sangat bagus menghibur
Marlina Taufik
seru ni di tunngu lanjut y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kak 🙏🏻🥰

insha Allah besok lanjut soalnya kalau malam mau jualan dulu cari tambahan penghasilan meski dikit ☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Milla
Lanjutt thorrr💪🌹
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah besok kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
Hijriah ju ju
sungguh miris kisah hidupmu
Rahmi Jo
kenapa nggak dibantu??
Hijriah ju ju
najong loh Arya
Rahmi Jo
kok bisa dahulu bisa jatuh cinta??
Hijriah ju ju
wajar dikasari
Uba Muhammad Al-varo
semoga semua usaha kamu berhasil Naia dan kamu bisa bangkit sementara Artharva menjalani kesembuhan, sebenarnya Artharva orang nya baik tapi caranya salah besar membuat Naia menderita dan kau Arya tunggu detik2 kehancuran mu
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: oh ho siap
total 3 replies
Uba Muhammad Al-varo
sungguh memilukan hidup mu Naia, semoga ditempat baru nanti hidup mu akan bahagia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: amin ya rabbal alamin
total 1 replies
Uba Muhammad Al-varo
ayo Naia pergi dari kampung mu,cari daerah/tempat untuk menata hidup mu lebih baik lagi dan bikinlah hidup mu dan anakmu kuat,agar bisa membalas semua perbuatannya si Arya
Uba Muhammad Al-varo
kenapa kejadian tragis hanya terjadi pada Artahrva seharusnya terjadi juga pada si Arya keparat
Siti Aminah
ceritanya bagus
AsyifaA.Khan⨀⃝⃟⃞☯🎯™
semoga bahagia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: amin ya rabbal alamin
total 1 replies
Ana Natsir
setuju
Ana Natsir
semoga nggak gila
Ana Natsir
sedih jdi mewek
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!