Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Langit malam masih kelam ketika Celin akhirnya menutup laptopnya. Tangannya bergetar kecil saat memasukkan perangkat itu ke dalam tas. Sementara di hadapannya, Cakra masih berdiri tegak, seolah enggan beranjak sebelum mendengar jawaban yang lebih jelas.
Namun Celin tidak memberi jawaban. Ia hanya menatapnya lama, lalu berjalan melewati pemuda itu dengan langkah yang sedikit tergesa.
“Celin…” suara Cakra terdengar lirih, nyaris seperti doa.
Wanita itu berhenti di ambang pintu, tapi tak menoleh. Hanya sepatah kata yang ia lontarkan, “Jangan ikuti aku.”
Dan tanpa menunggu reaksi, ia pun menghilang di balik lorong gelap perpustakaan.
Cakra mengepalkan tangan. Bukan karena marah, melainkan karena menahan gejolak perasaan. Ia sudah jujur. Ia sudah membuka semua. Sekarang, bola ada di tangan Celin.
Namun yang tidak mereka sadari ada mata lain yang sudah merekam sebagian percakapan mereka. Sosok misterius di luar gedung itu perlahan melangkah pergi, senyum sinis tak lepas dari wajahnya.
---
Esok Pagi di Kampus
Keesokan paginya, Universitas Global kembali ramai seperti biasa. Mahasiswa berlalu-lalang dengan buku di tangan, kantin penuh, dan suara tawa terdengar di mana-mana. Seakan tidak ada insiden serius kemarin.
Keadaan perusahaan sedang baik baik saja jadi Celin lebih fokus di kampus.
Namun bagi Celin, dunia sudah berubah.
Ia duduk di meja dosen muda di ruang fakultas, membuka berkas seminar yang kemarin berakhir kacau. Matanya merah karena semalaman tidak tidur. Bukan hanya memikirkan data yang bocor, tetapi juga pengakuan Cakra.
Tangannya menggenggam pulpen erat, lalu menuliskan beberapa catatan di margin kertas. Tapi tiba-tiba pintu diketuk.
“Boleh masuk, Kak?” suara itu jelas—Arka.
Celin buru-buru menutup berkas. “Masuk.”
Arka dan Aksa masuk bersama, keduanya membawa minuman. “Kami bawain kopi,” ujar Aksa ceria.
Celin tersenyum samar, menerima gelas itu. “Terima kasih. Kalian baik sekali.”
Namun Arka tidak langsung duduk. Ia menatap kakaknya dengan tatapan yang penuh tanya. “Kak, kemarin di seminar… itu bukan sekadar insiden, kan?”
Celin terdiam.
Aksa menambahkan, “Aku lihat wajah Kakak panik banget. Seolah data itu udah Kakak kenal sebelumnya.”
Celin menunduk. Ia tahu tidak bisa selamanya menyembunyikan semuanya dari adik-adiknya. Namun sebelum ia sempat menjawab, pintu kembali terbuka.
Cakra masuk.
Suasana langsung menegang. Mata Celin secara refleks menghindar dari tatapan pemuda itu, sementara Arka dan Aksa bergantian melirik keduanya dengan rasa curiga.
“Aku cuma mau ngasih kabar,” kata Cakra tenang. “Rektor minta semua panitia seminar kumpul sore nanti. Kita harus siapin laporan soal kejadian kemarin.”
Arka mengangguk. “Baik. Kami akan hadir.”
“Bagus.” Cakra menatap sekilas ke arah Celin, lalu berbalik keluar.
Keheningan menyelimuti ruangan. Hingga akhirnya Aksa bersuara, “Kak… ada sesuatu antara Kakak dan Cakra, ya?”
Celin hampir tersedak kopinya. “A-apa maksudmu?”
Arka menghela napas panjang. “Kami nggak bodoh, Kak. Kami lihat cara Cakra selalu ada buat Kakak. Dan semalam… aku lihat dia pulang lebih malam dari biasanya. Jangan-jangan…”
Celin buru-buru berdiri. “Sudahlah. Jangan bahas ini. Fokus saja sama kuliah kalian.”
Arka dan Aksa saling pandang. Ada tanda tanya besar di kepala mereka, tapi mereka memilih diam untuk saat ini.
---
Sore harinya, ruang rapat lantai empat dipenuhi mahasiswa panitia dan beberapa dosen. Suasana tegang, karena semua tahu kasus “peretasan” kemarin bukan hal kecil.
Rektor membuka rapat dengan wajah serius. “Saya ingin laporan detail. Siapa pun yang bertanggung jawab atas sabotase itu harus ditemukan. Ini menyangkut nama baik kampus.”
Alan maju, menampilkan hasil investigasi awal di layar. “Saya menemukan log akses yang tidak biasa. Ada tanda digital yang sama persis dengan pola peretasan yang pernah digunakan dalam kasus kriminal internasional beberapa tahun lalu.”
Semua bergumam.
Dimas bertanya pelan, “Apa artinya… jaringan lama itu kembali aktif?”
Alan mengangguk tegas. “Ya. Dan lebih parahnya… mereka sudah menyusup ke sistem kampus kita.”
Celin menahan napas. Kata-kata Alan membuat hatinya bergetar. Ia tahu benar, ini bukan sekadar ancaman. Ini nyata.
Rektor tampak pucat. “Kalau begitu… kita harus segera laporkan ke pihak berwenang.”
Namun sebelum rapat berakhir, seseorang berdiri di sudut ruangan. Mahasiswa asing berambut pirang, bernama Victor, tersenyum tipis. “Bukankah terlalu cepat menyimpulkan? Bisa saja ini hanya kesalahan internal, bukan ulah jaringan kriminal.”
Cakra menatap tajam. “Kalau itu hanya kesalahan internal, kenapa data yang bocor persis sama dengan dokumen sensitif internasional?”
Victor menahan senyum, lalu duduk kembali tanpa berkata banyak.
Celin memperhatikan dengan seksama. Ada sesuatu yang aneh pada pemuda itu—tatapannya, sikapnya. Seolah ia tahu lebih banyak daripada yang ia tunjukkan.
---
Malam itu, Celin kembali ke perpustakaan. Kali ini bukan untuk bekerja, melainkan untuk menenangkan pikiran. Namun ternyata, Cakra sudah menunggunya di sana.
“Kamu sengaja, ya?” Celin menghela napas.
Cakra tersenyum tipis. “Aku tahu kamu nggak bisa tidur kalau belum buka data itu lagi.”
Wanita itu duduk, membuka laptopnya. “Aku nggak mau bahas soal semalam.”
“Tapi aku mau.” Cakra duduk di seberangnya. “Aku tahu kamu kaget. Tapi aku nggak menyesal udah bilang yang sebenarnya. Dan aku nggak akan tarik kata-kataku.”
Celin menatapnya tajam. “Kamu nggak sadar, ya? Dengan bilang semua itu, kamu justru bikin aku makin sulit. Aku harus melindungi Arka, Aksa… dan sekarang kamu juga. Sementara musuh yang kita hadapi nggak main-main.”
Cakra mencondongkan tubuh, menatap dalam-dalam. “Kak, aku nggak butuh dilindungi. Aku butuh dipercaya. Kalau kamu terus dorong aku menjauh, aku bakal tetap balik lagi ke sisimu. Karena aku nggak bisa biarin kamu jalan sendirian.”
Air mata hampir jatuh dari mata Celin, tapi ia cepat-cepat mengalihkan pandangan.
“Cakra…” suaranya lirih. “Kamu nggak tahu betapa berbahayanya ini.”
Pemuda itu tersenyum hangat. “Kalau begitu, ajari aku. Biar aku tahu. Biar aku bisa berdiri di sampingmu, bukan di belakangmu.”
Hening.
Celin menutup laptopnya, lalu bangkit berdiri. “Kamu keras kepala sekali.”
Cakra ikut berdiri, wajahnya serius. “Kamu juga. Makanya kita cocok.”
Wanita itu tertegun. Detik itu, ia ingin tertawa, menangis, dan berteriak sekaligus. Namun sebelum ia sempat bereaksi, ponselnya bergetar. Sebuah pesan terenkripsi masuk.
“Target sudah terdeteksi. Hati-hati. Mereka ada di dekatmu.”
Celin pucat. Ia menatap layar, lalu menoleh pada Cakra. “Kita harus pergi sekarang.”
---
Di luar perpustakaan, Victor berdiri dengan ponsel di tangan, menyeringai puas. Ia baru saja mengirim pesan itu.
“Celin Bagaskara… ternyata kau lebih rapuh dari yang kukira. Dan sekarang, aku tahu kelemahanmu pemuda bernama Cakra.”
Ia menutup ponsel, lalu berjalan ke arah mobil hitam yang menunggunya di parkiran.
Permainan baru sudah dimulai.
---
Keesokan Harinya
Kabar tentang sabotase seminar mulai menyebar di media lokal. Beberapa artikel online mulai menyinggung nama Universitas Global.
Arka membaca berita itu dengan wajah gelisah. “Ini gawat. Nama kampus kita bisa hancur.”
Aksa menambahkan, “Dan aku yakin, Kak Celin tahu lebih banyak dari yang ia katakan.”
Mereka berdua sepakat: saatnya menuntut kejujuran dari sang kakak. Namun dalam hati, mereka juga khawatir apa pun yang Celin sembunyikan, jelas berhubungan dengan bahaya besar.
---
Malam ketiga, Celin kembali berhadapan dengan Cakra. Kali ini di halaman rumah keluarga Bagaskara.
“Kamu harus dengar aku baik-baik,” kata Celin serius. “Kalau kamu terus dekat denganku, mereka akan menjadikanmu target. Aku nggak bisa biarin itu terjadi.”
Cakra menatapnya, tak bergeming. “Dan kalau aku menjauh, kamu yang jadi target. Itu lebih buruk buatku.”
Celin hampir putus asa. “Kenapa kamu begitu keras kepala?”
Pemuda itu melangkah maju, mendekat. “Karena aku cinta kamu. Itu jawabannya. Sesederhana itu.”
Air mata akhirnya jatuh dari mata Celin. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar.
Cakra mendekat, perlahan menarik tangannya agar ia menatapnya. “Kak… aku tahu kamu takut. Tapi aku janji, aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Apa pun yang terjadi.”
Untuk pertama kalinya, Celin tidak menolak. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan hangat pemuda itu.
Dan dalam pelukan itu, ia tahu perjuangan mereka baru saja dimulai.
---
Sementara Itu…
Di sebuah ruangan gelap, Victor melaporkan lewat telepon. “Ya. Celin sudah mengikat dirinya dengan pemuda itu. Sesuai prediksi, dia akan semakin rapuh.”
Suara berat di seberang menjawab, “Bagus. Terus ikuti mereka. Saat waktunya tepat… kita serang.”
Victor tersenyum. “Permainan ini akan lebih menyenangkan dari yang saya kira.”
---
Bersambung…