Sequel "Dipaksa Menikahi Tuan Duda"
Cerita anak-anak Rini dan Dean.
"Papa..."
Seorang bocah kecil tiba-tiba datang memeluk kaki Damar. Ia tidak mengenal siapa bocah itu.
"Dimana orangtuamu, Boy?"
"Aku Ares, papa. Kenapa Papa Damar tidak mengenaliku?"
Damar semakin kaget, bagaimana bisa bocah ini tahu namanya?
"Ares..."
Dari jauh suara seorang wanita membuat bocah itu berbinar.
"Mama..." Teriak Ares.
Lain halnya dengan Damar, mata pria itu melebar. Wanita itu...
Wanita masa lalunya.
Sosok yang selalu berisik.
Tidak bisa diam.
Selalu penuh kekonyolan.
Namun dalam sekejab menghilang tanpa kabar. Meninggalkan tanya dan hati yang sulit melupakan.
Kini sosok itu ada di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ly_Nand, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Berubah Manja
Hari-hari berlalu, Stasia mulai bisa beradaptasi dengan pekerjaannya. Meski ada beberapa rekan yang tidak menyukainya, ia memilih untuk tidak ambil pusing selama tidak mengganggu pekerjaannya. Untungnya ia tidak bekerja satu lantai dengan Damar, jadi tidak perlu sering berhadapan dengannya. Beberapa hari ini pun Damar sangat sibuk mengurus persiapan launching perhiasan baru yang digadang-gadang akan menjadi koleksi limited edition dengan desain khusus.
Pagi itu, Stasia sedang menunggu lift bersama Max.
“Besok weekend, sudah ada rencana?” tanya Max.
“Ada sih… emangnya kenapa?” sahut Stasia.
“Aku tadinya mau ngajak kamu jalan, tapi sepertinya aku kalah cepat sama seseorang,” Max berdecak pelan, pura-pura menyesal.
Stasia terkekeh. “Cari cewek, sana. Kalau jalan sama aku nanti dikira kita ada apa-apa.”
“Ya nggak apa-apa kalau memang ada apa-apa…” Max sengaja menggoda.
“Ehem.” Suara deheman tiba-tiba terdengar di belakang mereka.
Keduanya refleks menoleh, dan ternyata Damar berdiri di sana bersama asistennya, Abas.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Max cepat, diikuti Stasia yang menunduk sopan.
Damar tidak menjawab, hanya menampilkan wajah dingin seperti biasanya.
Begitu pintu lift terbuka, mereka semua masuk. Damar berdiri agak ke belakang diikuti Abas, sementara Stasia berdiri di samping Max. Saat pintu tertutup, tanpa diduga Damar meraih tangan Stasia diam-diam dan menggenggamnya erat.
Stasia terkejut, berusaha melepaskan, tapi genggaman Damar terlalu kuat. Ia melirik, memberi isyarat agar Damar melepas, tapi pria itu sama sekali tidak menggubris.
Ketika pintu terbuka di lantai tempat Stasia dan Max bekerja, Damar langsung bersuara.
“Pergilah dulu,” ujarnya pada Max. “Aku ada urusan dengan Stasia. Dan Abas, temui Pak Bambang, katakan padanya pagi ini Stasia akan bekerja di kantorku.”
Nada dinginnya membuat Max dan Abas tidak bisa membantah. Mereka keluar begitu saja tanpa menyadari tangan Damar masih menahan Stasia.
Begitu pintu lift menutup, Stasia langsung bersuara dengan nada mendesak.
“Tolong lepas, Pak.”
Genggaman Damar justru semakin erat.
“Dam, lepas. Kita di kantor, jangan buat yang aneh-aneh. Kalau ada yang lihat bagaimana? Kalau mau kerja, ya kerja saja. Nggak usah begini.”
Damar tersenyum tipis. “Akhirnya panggilanmu untukku kembali seperti dulu. Dan kamu... masih sama cerewetnya seperti dulu.”
“Dam, lepas!”
“Apa yang kamu takutkan? Stacy yang aku kenal dulu tidak pernah peduli omongan orang.”
“Dam… situasi sekarang sudah berbeda.”
Wajah Damar mengeras mendengar ucapan itu. Begitu pintu lift terbuka, ia langsung menarik Stasia menuju ruangannya. Dengan paksa ia mendudukkan Stasia di kursi kerjanya, lalu tubuhnya mengurung Stasia hingga membuat wanita itu salah tingkah.
“Dam, jangan begini.”
Damar menyeringai miring. “Kenapa? Bukankah kamu dulu suka kita berdekatan? Kalau bisa seperti ini, bukankah ini kemajuan? Apa sekarang hanya Max yang boleh melakukan ini padamu? Atau pria lain? Apa kamu juga akan suka?”
Jantung Stasia berdetak kencang, wajah Damar begitu dekat hingga ia bisa merasakan hembusan napas mint miliknya.
“Dam… jangan begini,” ulang Stasia.
Ia menangkup wajah Damar, berniat memohon agar pria itu menjauh. Namun tangannya mendadak terhenti saat merasakan suhu tubuh Damar yang panas. Ia meraba dahi pria itu, kaget karena terasa hangat.
“Kamu sakit, Dam?” tanyanya khawatir.
“Jangan alihkan pembicaraan,” Damar masih keras kepala.
“Aku serius, Dam!” Stasia mendesah kesal, lalu mendorong Damar dengan agak keras hingga pria itu terpaksa mundur.
Stasia segera meraih tangan Damar dan menariknya ke sofa.
“Duduk.” Suaranya dingin. Entah kenapa, Damar menurut begitu saja.
Saat Stasia hendak melangkah pergi, langkahnya terhenti karena tangannya kembali ditahan oleh Damar.
“Mau ke mana?”
“Mau ambil air. Kamu sudah minum obat?”
Damar menggeleng.
“Sudah sarapan?”
Damar kembali menggeleng.
Stasia mendengkus. “Aku akan minta Pak Abas siapkan sarapan dan obat.”
“Setelah itu… kembali ke sini,” ucap Damar tiba-tiba dengan nada manja.
Stasia tertegun. Setahunya, sikap manja itu biasanya hanya ditunjukkan Damar di depan ibunya.
“Aku cuma keluar sebentar.”
Ia bergegas keluar, sementara Damar menyandarkan tubuhnya di sofa. Kepalanya memang sedikit pening, tapi pekerjaan menumpuk membuatnya menolak beristirahat di rumah.
Beberapa menit kemudian, Stasia kembali bersama Abas yang membawa nampan berisi bubur dan segelas air putih.
Damar sedikit membuka matanya, lalu mendapati Abas ada di ruangan itu.
“Kenapa kamu di sini?” suaranya terdengar berat.
Stasia mengernyit bingung.
Tatapan Damar kembali menajam, kali ini ke arah asistennya.
“Untuk apa Abas ke sini?”
“Saya hanya membawakan bubur dan obat untuk Anda, Pak,” jawab Abas hati-hati.
“Letakkan. Lalu pergilah. Lanjutkan pekerjaanmu.”
Abas segera menurut. Sebelum pria itu sempat melangkah keluar, Damar sudah menarik tangan Stasia agar duduk di sampingnya. Kepalanya ia sandarkan di pundak Stasia begitu saja, membuat wanita itu sempat kaget. Abas yang melihat pemandangan itu hanya bisa diam, lalu buru-buru menutup pintu dari luar, memilih pergi ketimbang menanggung tatapan dingin bosnya.
“Kepalaku pusing,” gumam Damar pelan.
“Makanya sarapan dulu, lalu minum obat,” ucap Stasia menenangkan.
“Perutku juga nggak enak.”
“Harus dipaksa makan, Dam. Kalau tidak makan dan minum obat, bagaimana kamu sembuh?”
“Suapi.”
Stasia mendesah panjang, mencoba menahan diri. “Duduklah yang benar. Aku ambilkan buburnya.”
Damar mengangkat kepalanya dari pundak Stasia. Wanita itu lantas mengambil sendok, menyuapkan bubur ayam pelan-pelan ke mulut Damar.
“Buka mulut,” ucap Stasia dengan nada setengah kesal.
Beberapa kali Damar menurut saat Stasia menyuapinya sedikit demi sedikit, memakan buburnya tanpa protes. Entah kenapa, Stasia jadi lebih tegas saat merawatnya, sementara Damar yang biasanya dingin justru terlihat manja.
“Suapan terakhir. Setelah ini minum obat,” tegas Stasia.
Damar hanya mengangguk patuh, lalu menenggak obatnya dengan segelas air.
Stasia hendak merapikan mangkuk dan gelas, namun tangan Damar lebih cepat menahan gerakannya.
“Di sini saja.” ucap Damar manja.
Tanpa memberi kesempatan Stasia berargumen, Damar membaringkan tubuhnya di sofa dan meletakkan kepalanya tepat di pangkuan Stasia.
“Dam… jangan begini. Kita di kantor.” Stasia panik, merasa bingung harus bagaimana.
“Aku ngantuk. Jangan berisik.”
Kepala Damar bergeser, kini menempel hangat di pangkuan dan perut Stasia. Wanita itu hanya bisa terdiam, perasaan antara resah, marah, sekaligus iba bercampur jadi satu. Pada akhirnya, ia mengulurkan tangan, mengelus lembut rambut Damar. Sentuhan itu membuat napas pria itu lebih tenang, hingga perlahan tertidur dengan lebih tenang.
Stasia menatap wajah Damar yang akhirnya terlelap. Raut dingin yang biasa ia tampilkan menghilang, berganti dengan ekspresi lelah dan rapuh.
Tak terasa waktu bergulir. Beberapa jam kemudian, Stasia ikut terlelap dalam posisi bersandar di sofa, sementara Damar masih nyaman untuk menjadikan paha Stasia sebagai bantal tidurnya.