Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Setelah Elira berhasil dikelabui, Axel menghubungi Gregor penuh cemas. Tatapannya beberapa kali teralihkan pada wanita itu. Situasi genting ini cukup membuatnya kelimpungan. Apalagi dengan keadaan Elira yang hanya memakai handuk.
"Tolong angkat," gemas Axel yang beberapa kali menelepon Gregor. Suara gaduh di luar masih terdengar, membuat jantungnya kian berdetak lebih cepat.
"Semoga penyamaran dia tak terbongkar," harapnya sambil terus berusaha menghubungi.
Axel lama-lama merasa frustrasi. Jika dirinya atau Gregor yang menjadi sasaran, mereka akan maju tanpa takut melawan. Akan tetapi, jika target mereka adalah Elira-
"Tidak. Elira harus baik-baik saja. Aku dan Paman Gregor pasti bisa membawanya keluar dari sini," yakin Axel sambil menatap Elira yang tak sadarkan diri.
Brak!
"Aku tahu kau di dalam! Keluarlah, Ironclad palsu!"
Gebrakan itu membuat Axel panik. Ia mengikuti insting spontannya, memeluk Elira yang terbaring seolah melindunginya.
Di luar sana, The Viper sedang melawan para bodyguard suruhan Cedric Namun sial, penyamarannya yang terbongkar membuat mereka berpencar mengincarnya juga.
"Lepaskan Nona muda-"
Dor!
Axel tersentak. Suara bidikan itu terdengar begitu dekat di balik pintu kamar. Ia beranjak panik, lalu berusaha menguping di balik pintu.
Tuk.
Tuk.
Tuk.
Ketukan terjeda-jeda itu membuat Axel curiga dan lebih waspada.
"Keluarlah. Di luar sudah aman," kata orang itu di balik pintu.
"Siapa ini?" gumam Axel dalam hati. Dadanya kembang-kempis akibat tersengal.
"Axel. Ini Paman."
Kali ini, benar-benar suara Gregor yang terdengar. Ini membingungkan. Karena dalam situasi seperti ini, Axel tak boleh percaya pada sembarang orang.
"Dia temanku," kata Gregor lagi.
"Meski sedikit janggal, Paman tak mungkin bohong padaku."
Seolah mendapat pencerahan, dengan tergesa Axel memakaikan jaket miliknya pada Elira.
"S-sebentar, Paman," sahut Axel yang sebenarnya masih ragu. Dengan tergesa, mengobrak-abrik isi lemari untuk mencari celana atau benda apa pun yang bisa melindungi wanita itu.
"Kenapa semua celananya masih berbandrol seperti ini," kesal Axel yang dilanda panik. Mengingat, jika dress lebih tak masuk akal untuk melindungi Elira. Namun, celana juga ia bingung memakaikannya.
Axel pun melempar celana itu, kemudian terbersit ide mencari seprai untuk membungkus tubuh Elira. Grasak-grusuk seorang diri, akhirnya kain itu melilit longgar di tubuh Elira.
Dor!
Axel sontak menoleh cepat ke arah pintu. Suara pistol lagi-lagi terdengar, membuat butiran peluh makin bertambah di dahinya.
"Kau harus percaya padaku, Elira. Aku akan menyelamatkanmu." Dengan sedikit bergetar, akhirnya Axel pun membopongnya.
"Aku akan membawamu keluar dari kekacauan ini," kata Axel lagi.
Axel melangkah mendekat ke pintu.
"Paman, aku akan keluar. Lindungi aku dan Elira," pesannya seraya menempelkan lutut ke dinding untuk menopang tubuh Elira saat membuka kunci pintu.
"Apakah sudah aman?"
"Ya," sahut Gregor.
Ceklek.
Axel mematung.
Lima lelaki berseragam hitam pekat berjajar di sisi Gregor, lengkap dengan emblem berbentuk kepala ular di bahu mereka. Senjata mereka terangkat, dengan posisi mengarah lurus padanya.
"Terima kasih telah membantu kami," ujar lelaki dengan kode huruf A di seragam serba hitamnya yang tertutup.
"Paman," lirih Axel dengan air mata yang tiba-tiba menggenang di pelupuk. Entah mengapa, mendadak ada rasa sakit yang sulit dijelaskan hingga membuat tenggorokannya terasa sakit.
Gregor menatap sayu, seolah meminta maaf atas kesalahannya. Namun, Axel melihat sebuah sunggingan licik di sana.
"Maaf," ujar Gregor dingin.
Orang dengan kode A itu menatap Gregor, seolah meminta persetujuan. Gregor pun mengangguk. Membuat Axel menggertakkan gigi dan mengeratkan dekapannya pada Elira.
Axel tersenyum getir, menatap Gregor penuh luka. "Apa maksud dari semua ini, Paman?"
Gregor memalingkan muka dengan angkuh. "Bawa mereka."