Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?
baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Bab 8
... “Anakku terlihat nyaman sekali dengannya… Apa iya Revana orang yang semenyenangkan itu ?”...
...-Adrian-...
Revana dan Alesya berada di kafe kecil dekat butik
Tempat itu tidak terlalu ramai, dindingnya dipenuhi hiasan foto Polaroid dan rak buku kecil di bagian sudut kafe. Mereka duduk di pojok, sehingga suasana terasa lebih hangat.
Alesya membuka buku menu, lalu menoleh ke Revana.
“Tante suka makan apa? Kalau aku biasanya pesen pasta atau steak. Tapi aku lagi pengen pizza juga.”
Revana tersenyum. “Samain aja, aku ikut kamu aja. Yang penting ada minuman manis, Tante butuh recharge.”
Alesya mengkerungkan keningnya. "Kenapa ? Tante capek ya karena nemenin aku beli gaun hari ini.?" tanyanya
Revana terkejut, tak menyangka perkataannya membuat Alesya tersinggung.
"Ehh..bukan begitu Alesya, Tante nggak capek kok nemenin kamu, Tante emang setiap hari butuh recharge energi, buat hadapi Papa kamu di kantor." ucap Revana sambil terkekeh.
Alesya ikut tertawa. "Papi bawel ya Tan, galak juga kan dia kalau di kantor ?" ucapnya ikut berkomentar.
Revana mengangguk sambil nyengir. "Lumayan bawel sih."
Pelayan datang, mereka memesan makanan, Pizza dan pasta menjadi pilihan Alesya, lalu suasana sejenak hening. Alesya menatap Revana lama, seolah ingin mengatakan sesuatu.
“Tante Revana… makasih ya..Tante udah mau nemenin aku sekarang. Aku happy deh.”
"Sama-sama Alesya, Tante juga happy...kamu ternyata anak yang manis." jawab Revana tersenyum tulus.
"Oh ya ? Aku nggak nyebelin kan ? soalnya Mama bilang aku menyebalkan, suka ngerepotin." Alesya menunduk, teringat kata-kata ibunya yang selalu menyakiti hatinya.
Revana menatap lembut. “Mungkin waktu Mama bilang begitu, beliau lagi capek Alesya, jangan diambil hati. dan wajar juga kok kalau anak selalu merepotkan orangtuanya.”
Alesya diam sejenak, memainkan gelas air di depannya.
“Aku sering iri sama teman-temanku. Mereka punya ibu yang deket banget sama anaknya. Bisa diajak ngobrol, belanja bareng, atau sekadar duduk bareng. Sementara aku… Mama selalu sibuk. Rasanya aku kayak orang asing di rumah sendiri.”
Revana merasakan perih di dada mendengar pengakuan itu. Ia ingin merangkul Alesya, tapi hanya mampu menatapnya dengan penuh empati.
“Alesya kamu yang sabar ya. Kadang orang dewasa memang terlalu sibuk sama dunianya sendiri. Tapi percayalah, itu bukan karena kamu nggak berharga. Kamu berharga sekali… sampai Papi dan Mama kamu rela sibuk bekerja, karena mereka ingin anaknya berkecukupan, punya masa depan yang terjamin.”
Alesya mengangkat wajahnya, ada kilau air mata di sudut matanya.
“Aku tahu Tante, cuma Papi yang selalu ada buatku dan Andrew. Tapi… Papi kan juga manusia, ya? Aku takut Papi kesepian juga karena Mama tak pernah peduli sama kita, dia terlalu asik sama dunianya sendiri.”
Revana tercekat. Kata-kata itu menampar hatinya, sekarang Revana mengerti kenapa Adrian memintanya selalu menemani ketika sedang di luar rumah. "Apa ini yang membuat Pak Ardian meminta aku untuk menemaninya ?" Revana bertanya dalam hati.
“Kamu anak yang peka sekali. Aku yakin Papi kamu bersyukur punya kamu dan Andrew. Itu sudah cukup jadi alasan buat dia tidak terlalu kesepian, kamu jangan terlalu berat memikirkan itu Alesya, nanti belajar kamu terganggu, bukannya kamu sudah memasuki ujian kelulusan tahun ini ?” ucap Revana dengan suara lembut.
"Iya Tante, terimakasih ya nasehatnya. Aku akan selalu ingat." ucap Alesya, gadis remaja itu kembali tersenyum, sepertinya ucapan Revana masuk ke dalam hati dan pikirannya.
Suasana jadi lebih tenang. Makanan yang mereka pesan datang, dan mereka pun mulai makan dengan santai. Alesya sesekali tertawa karena candaan ringan Revana. Sesuatu di antara mereka perlahan terbentuk, sebuah kenyamanan yang jarang Alesya rasakan sebelumnya.
...☘️☘️...
Setelah menyelesaikan makan siang mereka, Alesya menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil tersenyum puas.
“Enak banget! Udah lama aku nggak makan sambil ngobrol begini. Rasanya beda.”
Revana hanya tersenyum. Ia melirik jam di pergelangan tangan.
“Kayaknya kita harus pulang. Papi kamu pasti udah nungguin.”
Namun Alesya menggeleng cepat.
“Aku pengen ikut Tante ke kantor aja. Nanti aku pulang bareng Papi aja.”
Revana terkejut. “Kamu yakin? Suasananya di kantor lagi tegang, lho. Tante takut nanti kamu nggak nyaman.”
Alesya tertawa kecil. “Aku udah biasa lihat Papi marah-marah kok. Lagian aku penasaran kerjaan Tante kayak apa. Boleh kan?”
Revana sempat ingin menolak, tapi tatapan Alesya penuh semangat, sulit ditolak. Ia akhirnya mengangguk pelan.
“Baiklah. Tapi kalau Papi lihat kamu tiba-tiba nongol dan kaget, jangan salahin Tante ya.”
“Siap, Tante. Aku yang tanggung jawab!” jawab Alesya sambil tertawa.
Setengah jam kemudian, mobil Adrian berhenti di basement parkiran. Alesya turun bersama Revana, gadis remaja itu membawa serta tas belanjaannya sendiri.
Saat mereka masuk ke lobi, beberapa karyawan terlihat terkejut melihat putri bos besar itu berjalan santai sambil menggandeng tangan sekretarisnya. Beberapa saling berbisik, tapi Alesya tak peduli.
mereka melewati meja resepsionis, Revana sempat berbisik ke Alesya.
“Al..kalau kamu gandeng tangan Tante begini, jadi pusat perhatian karyawan lainnya.?”
Alesya menatap sekeliling dengan cuek “Biarin aja. Aku nggak peduli Tante.”
Revana terkekeh kecil, lalu mengantar Alesya ke ruangannya. Namun sebelum masuk ke ruangan Adrian, Revana mengetuk pintu lebih dulu.
Adrian bersuara tegas dari dalam, “Masuk.”
Revana membuka pintu, bersiap memberi laporan. Namun Adrian terdiam ketika melihat Alesya ikut masuk di belakang Revana.
“Alesya? Kenapa kamu di sini? Bukannya harusnya langsung pulang?”
Alesya tersenyum, lalu duduk santai di sofa ruangan ayahnya.
“Aku lagi pengen ikut Tante Revana ke kantor. Nanti aku pulang sama Papi aja. Boleh, kan?”
Adrian menghela napas, menatap Revana sekilas. Ada ketegangan singkat di matanya, seolah ingin memastikan kenapa Revana menuruti. Revana menunduk sopan.
“Saya sudah coba mengingatkan, Pak. Tapi Alesya tetap ingin ikut.”
Adrian diam mendengar ucapan Revana. Lalu ia menatap anak gadisnya dengan tatapan lembut yang jarang muncul di kantor.
“Baiklah. Tapi jangan ganggu Papi kerja, ya. Kamu boleh di sini, atau tunggu di ruang kerja Tante Revana.”
Alesya tersenyum lebar, lalu berdiri dan menghampiri ayahnya.
“Tenang aja, Pi. Aku janji nggak ganggu. Kalau bosen, aku ngobrol sama Tante Revana aja.”
Sekilas, Adrian menatap Revana lagi. Kali ini ada sesuatu di balik tatapan itu, percampuran lega dan penasaran, kenapa Alesya terlihat senang ketika bersama Revana.
“Anakku terlihat nyaman sekali dengannya… Apa iya Revana orang yang semenyenangkan itu ?” dalam hati Adrian bertanya.
...☘️☘️☘️...