Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Sandra tersenyum lebar, senyum yang dipoles dengan rasa percaya diri. Tumit sepatunya berdetak cepat di lantai marmer saat ia berlari kecil menuju Aiden. Gerakannya penuh semangat, seperti seseorang yang yakin bahwa pelukan yang ia rencanakan akan disambut hangat.
Namun, dunia seolah mempermainkannya atau tepatnya, Aiden yang melakukannya. Dengan satu gerakan cepat, pria itu menarik seorang karyawan pria yang kebetulan berdiri di sebelahnya.
"Aku rin—" Sandra terhenti, keningnya berkerut, lalu tangannya mendorong si karyawan dengan kasar. "Apa yang kau lakukan!"
Karyawan itu terbelalak, menunduk gugup. “A-Anda yang memeluk duluan.” Suaranya bergetar, mencoba membela diri.
Aiden menyilangkan tangan di dada, matanya menyipit dengan kepuasan yang tak berusaha ia sembunyikan. “Ya, kamu yang memeluk dia.” Nada sombongnya seperti garam yang ditaburkan di luka. Dalam hatinya, ia menahan tawa melihat wajah Sandra yang memerah, entah karena marah, malu, atau keduanya.
Di sisi lain, Rachel berdiri dengan alis mengerut, memandang adegan itu tanpa ikut campur. Suaranya lirih tapi penuh tanda tanya, “Apa yang sudah kamu lakukan?”
Aiden menoleh sebentar, sudut bibirnya terangkat. “Memberi pelajaran buat mantan kekasih kamu,” jawabnya santai.
Rachel hanya mendengus, matanya memutar ke atas, antara kesal dan geli. "Bisa-bisanya dia kepikiran hal itu di dalam waktu yang singkat."
Sandra mencoba mengembalikan kendali suasana. “Aiden, bisakah kamu menemani aku pergi ke acara pembukaan butik temanku?” Nadanya dibuat manis, tapi ada ketergesaan di baliknya, seolah ingin menunjukkan bahwa ia masih punya kedekatan dengan pria itu.
“Tidak bisa,” jawab Aiden tanpa ragu, suaranya tegas seperti pintu baja yang terkunci. “Aku sudah punya acara dengan Rachel.”
Tanpa memberi ruang untuk bantahan, Aiden merangkul bahu Rachel dan menariknya lebih dekat. Sentuhan itu tak sekadar gerakan fisik, melainkan pernyataan kepemilikan yang jelas. Rachel, menangkap maksudnya, tersenyum tipis dan membalas dengan melingkarkan lengannya di pinggang suaminya.
Sandra terpaku. Pandangannya beralih dari wajah Aiden ke Rachel, lalu kembali lagi. Dalam benaknya, potongan-potongan masa lalu muncul hubungan dingin yang ia tahu sudah bertahun-tahun membeku. Namun sekarang, di hadapannya, mereka seperti pasangan yang baru jatuh cinta.
Pintu lift terbuka dengan bunyi “ting” yang datar, tetapi suasananya seperti gong penutup babak pertandingan. Aiden dan Rachel melangkah masuk, meninggalkan Sandra di koridor yang tiba-tiba terasa terlalu sunyi.
“Apa yang sudah terjadi kepada mereka?” gumam Sandra, suaranya nyaris tak terdengar. Perasaannya campuran heran, cemburu, dan rasa kalah yang ia benci.
Aiden menyipitkan mata, tatapannya menusuk seperti sedang menguliti setiap lapis rahasia yang mungkin disembunyikan Rachel. Ada kerutan tipis di keningnya tanda ia sedang menimbang sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
“Apa?” tanya Rachel sambil mengangkat dagu, seolah menantang.
“Kamu masih berhubungan dekat dengan Sandra?” tanya Aiden dengan suara terdengar datar, tetapi di baliknya ada nada cemburu yang ia coba samarkan.
Rachel memutar bola matanya pelan. “Hubungan kita cuma sebatas kenalan saja,” jawabnya, wajah tetap datar tanpa emosi, seperti ingin memotong pembicaraan sebelum melebar.
“Lalu, kenapa dia mengajak kamu ke acara temannya?” Aiden tak menyerah, matanya tetap terkunci pada istrinya.
“Mungkin karena dia sedang tidak ada teman,” jawab Rachel singkat. “Kamu tahu sendiri aku nggak suka ke acara yang nggak memberikan keuntungan buat aku.”
Senyum tipis terbentuk di bibir Aiden, lalu berubah menjadi tawa kecil yang tertahan. Saat itu juga ia menyadari satu hal, pasangannya ini memang mata duitan sejati. Baginya, setiap langkah harus ada hitung-hitungannya. Jika sesuatu itu bisa menghasilkan, maka akan ikut serta. Sebaliknya, jika itu tidak memberikan keuntungan untuknya, apalagi malah merugikan dirinya, maka tidak akan ikut serta.
Namun tawa itu mendadak sirna ketika Rachel tiba-tiba menatap meja kerja Aiden dengan mata membulat. “Aiden, apa-apaan ini!” serunya, menunjuk tumpukan map dan berkas yang menjulang bak menara mini.
Aiden refleks meringis, bahunya sedikit terangkat seperti anak kecil yang ketahuan berbuat nakal. “Aku kan, nggak bisa ngerjain itu semua,” ucapnya sambil menggeser posisi, kedua tangan menutup kedua telinganya ketika nada suara Rachel mulai meninggi. “Makanya kemarin aku kirim lewat email sama kamu.”
Rachel mendengus, lalu menarik napas panjang seperti sedang menyiapkan energi. Ia langsung duduk di kursi kebesaran pimpinan tertinggi perusahaan, jari-jarinya mengetik cepat di laptop.
Sementara itu, Aiden malah duduk santai di sofa, membuka buku bisnis, dan menyandarkan punggung. Hanya butuh beberapa menit sebelum suara gesekan halaman buku berganti dengan napas teratur, Aiden tertidur pulas.
Pintu ruangan terbuka perlahan. Richard masuk sambil membawa sebuah amplop tebal yang terlihat mewah, dihiasi cap emas berkilau. Namun langkahnya langsung terhenti. Matanya melebar, mulutnya terbuka sedikit, nyaris ternganga melihat pemandangan aneh itu—Aiden meringkuk di sofa, tidur nyenyak, sementara Rachel duduk tegak di meja kerja bos besar.
“Ada apa, Richard?” tanya Rachel tanpa menoleh, nada suaranya dingin dan datar, persis seperti gaya bicara Aiden.
“E ... aku mau mengantarkan surat undangan dari Tuan Evans Roosevelt untuk Aiden,” jawab Richard, masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang ia lihat.
“Oh. Taruh saja di atas meja. Kalau dia udah bangun, nanti aku kasih tahu,” ujar Rachel, matanya tetap terpaku pada layar laptop.
Richard menelan ludah. "Kenapa Nyonya Rachel yang bekerja?" pikirnya. Pandangannya kembali melirik Aiden yang tampak begitu damai di alam mimpi. "Kalau begini terus, jangan-jangan nanti mereka tukeran posisi beneran."
“Ada yang mau kamu laporkan lagi?” tanya Rachel tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop. Baru setelahnya ia mengangkat wajah, matanya menatap lurus ke arah sang asisten. Tatapan itu tenang tapi menyimpan wibawa, membuat Richard refleks berdiri lebih tegak.
“E ... tidak ada lagi, Nyonya,” jawab Richard dengan sedikit ragu, seolah takut salah bicara. “Aku permisi dulu.” Ia segera keluar, menutup pintu perlahan, meninggalkan ruangan yang kini hanya berisi bunyi ketikan cepat Rachel.
Tumpukan pekerjaan yang sejak pagi menjulang bak menara kertas, satu per satu dilibas Rachel tanpa ragu. Tangannya lincah berpindah antara mengetik, memeriksa dokumen, dan memberi paraf. Wajahnya fokus, seperti mesin yang tidak mengenal kata lelah.
Ketika Aiden akhirnya bangun, menguap panjang dan mengusap wajahnya yang masih terasa hangat karena bantal sofa, pandangannya langsung tertuju pada meja kerja. Hanya tersisa tiga map tersusun rapi di pojok.
“Wah, kamu hebat bisa mengerjakan semua itu!” puji Aiden dengan nada tulus, meski wajahnya masih agak kusut karena baru bangun tidur.
Rachel menyandarkan punggung ke kursi, melipat tangan di dada. “Ternyata kamu suka sekali tidur, ya?” sindirnya, bibir menyunggingkan senyum miring.
Aiden melirik jam dinding. Alisnya terangkat, ternyata ia tertidur selama tiga jam lebih. “Semalam aku nggak tidur karena merawat luka-luka kamu. Makanya aku ngantuk banget dan tidur lama,” balasnya, suaranya sedikit melembut.
Rachel sempat terdiam, lalu menjawab singkat, “Terima kasih.” Walau rasa perih masih terasa di punggungnya, setidaknya luka-luka itu sudah mulai mengering. Ada secercah rasa nyaman di hatinya, meski tidak ia tunjukkan secara gamblang.
“Ada pekerjaan yang bisa aku bantu?” tanya Aiden, berusaha terdengar berguna.
“Nggak perlu. Sebaiknya kamu pahami dulu dasar-dasar ilmu berbisnis,” jawab Rachel sambil menunjuk tumpukan buku yang tadi ia berikan.
Aiden meringis. Dalam hati, ia mengeluh baru membaca satu bab saja tadi sudah membuatnya terkapar di sofa, apalagi kalau harus menamatkan satu buku penuh.
Hening sejenak. Lalu Aiden menoleh, suaranya pelan tapi serius. “Oh iya, Rachel, pernahkah kamu berpikir ... kenapa tubuh kita bisa tertukar?”
Pertanyaan itu membuat jari-jari Rachel yang menari di atas keyboard tiba-tiba berhenti. Suara ketikan terputus, ruangan menjadi hening. Pandangannya membeku di layar, namun pikirannya sudah melayang entah ke mana.
pelajari tuuuu muka-muka penjilat.
mendengar srmua doa dan kesakitan Rachrl..
supaya mata Aiden tervelek pada pendeeitaan Rachrk selama ini..
😀😀😀❤❤❤❤
Karena selama ini Aiden ga pernah percaya dg Rachel,,tp mudah diperdaya org" disekelilingnya
Dan bisa ngerasain di cambuk nenekmu
❤❤❤❤❤❤
😀😀😀😀❤❤❤❤