“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Sirine ambulans meraung saat mobil meluncur ke depan Unit Gawat Darurat.
Petugas medis berlari dan membawa Risa yang tak sadarkan diri dengan tubuh penuh luka di atas tandu.
Darah masih mengalir dari sudut bibirnya dan perutnya terlihat membiru.
Aditya berlari mengikuti dari belakang, wajahnya basah oleh keringat dan air mata.
Stefanus menyusul di belakang, matanya tajam penuh dendam, namun raut wajahnya tak bisa menyembunyikan kepedihan.
Pintu ruang UGD menutup rapat di depan wajah Aditya.
Aditya berjalan mondar-mandir seperti orang kehilangan arah.
Langkahnya cepat, lalu pelan, lalu berhenti, lalu kembali bergerak. Tangannya terkepal, lalu membentur dinding.
Suaranya parau saat memanggil nama istrinya dalam gumaman doa.
"Ya Tuhan, selamatkan dia… selamatkan Risa…"
Stefanus berdiri tak jauh dari sana dan sebagai polisi, ia sudah sering melihat darah dan kematian.
Tapi ini berbeda karena Risa sudah seperti adiknya sendiri. Dan melihat Aditya seperti ini, hancur dan kehilangan kendali, membuat hatinya ikut perih.
“Aditya, duduk dulu. Tenangkan dirimu,” ujar Stefanus, menepuk bahunya pelan.
Aditya hanya menggeleng dengan mata yang kosong.
Satu jam yang terasa seperti seabad dan akhirnya, pintu UGD terbuka.
Seorang dokter keluar, wajahnya serius dan tubuhnya masih mengenakan sarung tangan bedah yang berlumuran darah.
“Dok?” suara Aditya tercekat, nyaris tak keluar dari tenggorokannya.
Dokter menghela napas panjang sebelum mengatakan kepada Aditya.
“Istri Anda, Nyonya Risa dalam kondisi kritis. Kami sudah menghentikan pendarahan dan menstabilkan detak jantungnya untuk sementara.”
“Dan...”
Dokter menunduk sejenak, sebelum menatap Aditya dan Stefanus.
“Kami tidak bisa menyelamatkan janin dalam kandungannya. Berdasarkan pemeriksaan, janin sudah meninggal saat dibawa ke rumah sakit. Ada luka parah akibat tekanan berat di bagian perut. Seperti... diinjak.”
Kalimat itu seperti pedang yang menebas dada Aditya.
“Tidak… tidak…!” Aditya berteriak, tubuhnya oleng, dan dalam sekejap ia jatuh bersimpuh di lantai rumah sakit.
Air matanya mengalir deras dan dadanya terguncang, tangan menutup wajahnya yang terisak hebat.
“Anak kami… anak kami…” bisiknya lirih.
Stefanus langsung menghampiri dan memegang tubuh sahabatnya yang lunglai.
“Aditya, kamu harus kuat…”
Tapi tak ada kata-kata yang bisa mengobati luka seperti itu.
Luka kehilangan anak pertama dan luka melihat istri tersiksa.
Tangisan Aditya menggema di lorong rumah sakit malam itu dan menusuk siapa pun yang mendengarnya.
Tangisan Aditya belum juga reda dan ia terduduk di lantai lorong rumah sakit dengan tangan menutupi wajahnya,
Suaranya parau oleh sesenggukan yang tak tertahan dan dunia seakan runtuh tepat di atas kepalanya.
Hatinya retak oleh rasa bersalah, kehilangan, dan luka yang tak bisa disembuhkan dengan waktu semata.
Lalu ia mendengar suara roda—roda tempat tidur rumah sakit yang berderit pelan tapi tegas.
Matanya, sembab dan merah, perlahan menoleh. Di hadapannya, beberapa perawat mendorong tempat tidur beroda.
Di atas tempat tidur Risa terbujur lemah, wajahnya pucat, selang menempel di hidung dan infus tertancap di tangannya yang lebam.
Matanya masih terpejam, seperti tertidur panjang tanpa tahu bahwa dunia luar telah hancur karena kepergian seseorang yang belum sempat mereka peluk.
Aditya bangkit dengan goyah dan langkahnya tak teratur tapi ia mendekat.
Ia genggam jemari Risa yang dingin saat tempat
tidur itu melewati sisi tubuhnya.
“Sayang aku di sini, kamu dengar, kan?” bisiknya dengan suara gemetar.
Risa tak merespons. Tapi ia tahu, hatinya tahu, istrinya mendengar.
Perawat menatap Aditya dengan penuh empati.
“Kami akan membawanya ke ruang ICU sekarang. Dia butuh pemantauan intensif, Pak.”
Aditya mengangguk pelan, meski hatinya berontak dan ia tak ingin berpisah barang satu detik pun dari Risa.
Tapi ia tahu ini demi keselamatannya dan ia menundukkan kepala mengecup lembut punggung tangan istrinya.
“Bertahanlah, Ris demi aku… demi kita…”
Roda tempat tidur berderit kembali, bergerak menuju ruang ICU.
Pintu itu menelan tubuh Risa dan menutup perlahan di hadapannya. Dan untuk kesekian kalinya malam itu, air mata Aditya jatuh tanpa bisa dicegah.
Ia berdiri mematung di depan pintu kaca, menatap bayangan samar tubuh wanita yang sangat ia cintai di dalam sana.
Tubuh yang telah menanggung semua luka, kehilangan, dan trauma demi dirinya.
Stefanus berdiri di belakang Aditya, tak berkata apa pun. Ia tahu, kata-kata tak akan cukup malam ini.
Dendam yang kini berpindah tempat. Dari luka di tubuh Risa, ke bara api di dalam hati Aditya dan Stefanus.
Aditya duduk di kursi tunggu rumah sakit dan tubuhnya lunglai, seperti tak punya tulang.
Di hadapannya, ruang ICU tempat Risa dirawat seakan menjadi dinding tak kasat mata yang memisahkan cinta mereka antara hidup dan sekarat.
Matanya kosong dan pikirannya penuh. Terlalu penuh.
Perlahan kenangan itu kembali dan seolah baru terjadi kemarin pagi.
Wajah Risa yang tersenyum cerah saat mengantarnya ke bandara.
Rambutnya diikat rapi, dan ada semburat kebahagiaan di matanya yang bersinar.
Perutnya mulai membuncit, membuat Aditya makin protektif.
"Jangan lupa oleh-oleh, ya. Tapi kalau oleh-oleh dari pramugari cantik, aku lempar!"
“Aku cuma bawa satu oleh-oleh dan itu surat cinta buat kamu.”
Sebelum masuk ke gate, Aditya sempat membisikkan sesuatu sambil menggenggam perut Risa.
“Jangan capek-capek, ya… sekarang kamu bawa dua nyawa. Kamu harus kuat. Demi aku. Demi kita.”
Risa mengangguk sambil memeluk erat tubuh Aditya, “Aku janji. Tapi kamu juga jangan terlalu lelah.”
Kenangan itu membuat dada Aditya kembali sesak dan ia menggenggam wajahnya, menahan gejolak emosi yang mendesak dari dalam.
“Maaf, Ris… Aku tak pernah menyangka, secepat itu kamu akan jatuh dalam bahaya. Padahal aku baru saja menitipkan dua nyawa dalam tubuhmu...”
Air matanya kembali mengalir dan ia merasa gagal menjadi suami.
Ia merasa gagal menjaga janji, padahal istrinya sudah memberikan segalanya, bahkan seluruh hidupnya, untuk mendukung dan menyelamatkannya di masa lalu.
Sekarang Aditya hanya bisa menunggu dan menanti keajaiban, sambil memeluk harapan yang hampir terkubur bersama jasad kecil yang tak sempat menyapa dunia.
Di balik pintu kaca ICU, tubuh Risa yang terbaring diam tetap memancarkan satu hal yang sama seperti dulu dengan cinta yang tak pernah mati.
Sementara tubuh Risa terbujur diam di atas ranjang ICU, jiwanya seperti tersesat dalam kegelapan yang pekat. Langkahnya goyah. Nafasnya berat.
Risa berjalan menyusuri lorong panjang yang tidak berujung, dengan temaram cahaya yang menggantung di kejauhan.
Ia mendengar suara cambukan dan tawa menggelegar yang tak asing menggema.
Risa berbalik, dan di sana ia melihat Elyas berdiri tegak dengan senyum bengis dan cambuk di tangannya.
Wajahnya bagaikan iblis dari luka masa lalu dan tubuh Risa langsung gemetar, dan luka di perutnya terasa nyeri kembali.
“Aku belum selesai denganmu, Risa,” ucap Elyas, perlahan menghampiri.
Risa mundur, mundur, sampai...
“Ibu…”
Suara kecil memanggilnya dari kejauhan.
Risa menoleh dan di ujung cahaya itu terlihat seorang anak kecil.
Bayangannya kabur, tapi matanya memancarkan kelembutan. Anak itu tersenyum, lalu mulai berlari menjauh.
“Jangan pergi!” Risa berteriak, mengejarnya, tapi langkahnya berat, tubuhnya lunglai.
“JANGAN PERGI!!!” teriaknya lagi.
Namun anak itu terus menjauh. Semakin jauh dan menghilang.
Seketika tubuh Risa drop di dunia nyata, monitor detak jantungnya berubah menjadi garis lurus.
“CODE BLUE!” teriak dokter.
“Ambil defibrillator!” seru seorang perawat.
Dokter menempelkan alat ke dada Risa.
“Clear!”
Tubuh Risa terangkat sedikit lalu jatuh kembali.
“Lagi!”
“Clear!”
Darah mengalir dari selang infus, dan napas buatan terus dipompa. Di luar kaca, Aditya memukul dinding ICU dengan tinjunya.
“RISAAAAA!!!”
Air mata membanjiri wajahnya, seakan air matanya sendiri yang ingin menyambung hidup sang istri.
Stefanus berdiri kaku dengan tubuhnya bergetar. Air matanya tak terbendung. Ia menyandarkan kepala ke kaca sambil memohon dalam hati.
“Jangan pergi, Risa… kamu sudah sejauh ini. Jangan pergi sekarang…”
Waktu seakan berhenti. Garis detak jantung masih lurus.
Bip.
Bip. Bip.
Detak jantung kembali.
Seisi ruangan menahan air mata lega. Dokter memberi isyarat bahwa Risa masih bersama mereka. Tapi kondisi masih sangat kritis.
Sementara itu, di alam bawah sadarnya, Risa berdiri diam di tengah cahaya. Elyas tak lagi terlihat. Anak kecil itu tidak kembali.
Namun suara lembut terdengar, jauh di dalam pikirannya.
"Kamu belum selesai di sini, Risa. Masih ada cinta. Masih ada kehidupan. Pulanglah."
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending