"Tubuhmu milikku. Waktumu milikku. Tapi ingat satu aturan mutlak, jangan pernah berharap aku menanam benih di rahimmu."
Bagi dunia, Ryu Dirgantara adalah definisi kesempurnaan. CEO muda yang dingin, tangan besi di dunia bisnis, dan memiliki kekayaan yang tak habis tujuh turunan. Namun, di balik setelan Armani dan tatapan arogannya, ia menyimpan rahasia yang menghancurkan egonya sebagai laki-laki, Ia divonis tidak bisa memberikan keturunan.
Lelah dengan tuntutan keluarga soal ahli waris, ia menutup hati dan memilih jalan pintas. Ia tidak butuh istri. Ia butuh pelarian.
Sedangkan Naomi Darmawan tidak pernah bermimpi menjual kebebasannya. Namun, jeratan hutang peninggalan sang ayah memaksanya menandatangani kontrak itu. Menjadi Sugar Baby bagi bos besar yang tak tersentuh. Tugasnya sederhana, yaitu menjadi boneka cantik yang siap sedia kapan pun sang Tuan membutuhkan kehangatan. Tanpa ikatan, tanpa perasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyonya_Doremi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti kabut bagi Naomi. Ryu mengemudi dengan kecepatan yang belum pernah ia gunakan sebelumnya, memecah keheningan malam Jakarta. Rasa sakit kontraksi, yang datang dalam gelombang semakin kuat, menguasai kesadaran Naomi, tetapi ia bertekad untuk tidak mengeluarkan suara yang menunjukkan kelemahan.
Setibanya di Rumah Sakit Dirgantara, fasilitas mewah yang dipersiapkan khusus untuk Nyonya Besar. Ia langsung dilarikan ke Ruang Bersalin VIP. Ryu berada di sisinya, bukan sebagai suami, tetapi sebagai CEO yang mengawasi aset paling kritisnya. Dia berdiri di dekat monitor, mengamati grafik detak jantung janin dan kurva kontraksi, mencoba mengendalikan situasi yang sepenuhnya ada di luar kendalinya.
“Dokter Pratiwi sudah dalam perjalanan dari Singapura. Tim medis lokal sudah siap. Jangan khawatir. Semuanya terkendali,” kata Ryu, suaranya tegang dan mekanis, berjuang melawan kepanikan yang muncul dari ketidakberdayaan.
.
.
Jam-jam berlalu dengan lambat. Kontraksi Naomi datang setiap tiga menit, kuat dan menyakitkan, tetapi pembukaan berjalan sangat lambat. Dokter senior, Dr. Dharma, melaporkan bahwa Naomi baru pembukaan tiga.
Ryu melihat Naomi. Wajahnya pucat, keringat membasahi pelipisnya. Setiap kontraksi datang, wanita yang ia kenal sangat kuat dan dingin itu mencengkeram rel tempat tidur, matanya terpejam erat, mengeluarkan erangan yang tertahan. Rasa sakit ini meruntuhkan benteng pertahanan Naomi.
“Mengapa begitu lama?” tuntut Ryu. “Berikan dia epidural. Aku tidak ingin dia kelelahan.”
“Tuan Ryu, Anda sebelumnya meminta intervensi medis minimal. Dan Nyonya Naomi juga menolaknya,” jawab Dr. Dharma hati-hati.
Naomi membuka matanya dan melihat kegelisahan Ryu. Ia harus mengingatkan Ryu akan tujuan mereka.
“Ryu,” panggil Naomi, suaranya parau. “Jangan panik. Jangan tunjukkan kelemahan pada tim medis. Ingat instruksi Anda: minimal intervensi. Saya menanggung ini demi anak Anda, demi kontrak kita, dan demi menjaga citra saya di mata Ibu Anda.”
Ryu menatapnya. Dia melihat tekad Naomi yang membara. Rasa iba yang dingin, yang belum pernah ia rasakan, mulai menyentuh hatinya.
Pukul empat pagi, Dokter Pratiwi tiba. Setelah pemeriksaan, ia setuju dengan Ryu. “Tuan Ryu, pembukaan lambat ini bisa berlangsung lama. Kita harus memberinya pereda nyeri ringan yang paling aman untuk janin.”
Saat pereda nyeri disuntikkan, Naomi menoleh ke Ryu, senyum pahit terukir di bibirnya.
“Lihat, Ryu. Kau manusia juga,” bisik Naomi.
Ryu duduk di kursi di sebelah tempat tidur, membiarkan pertahanan emosinya sedikit melunak. Ia tidak pernah menyuruh Naomi menderita, hanya menyuruhnya sukses. Tetapi, penderitaan ini adalah bagian dari kesuksesan yang ia beli.
“Aku berutang padamu, Naomi. Aku berutang padamu lebih dari dua miliar. Aku berutang padamu legitimasi yang mutlak,” kata Ryu, mengulurkan tangan dan menyentuh tangan Naomi yang bebas. Sentuhan itu canggung, tetapi nyata. “Kau telah membuktikan bahwa kau bukan hanya wanita sewaan. Kau adalah benteng terakhirku melawan kekacauan warisan. Aku tidak akan membiarkan Ibu atau siapa pun menyentuhmu setelah ini. Aku bersumpah.”
Saat pembukaan mencapai lima, mendekati tengah hari, Helena Dirgantara muncul. Ia mendekati Naomi, memberikan tekanan psikologis terakhir.
“Kau harus kuat, Naomi. Jangan biarkan dirimu dikuasai rasa sakit,” kata Helena. Lalu, ia berbisik dengan nada yang hanya bisa didengar Naomi. “Aku sudah menelepon Pengacara Wiratama pagi ini. Dia bersikeras tidak memiliki catatan. Tapi aku tahu dia berbohong. Aku akan mengurusnya sendiri. Aku akan menghilangkan jejak itu untuk selamanya, segera setelah cucuku lahir.”
“Jika kau berpikir kau aman karena rahasia itu, ingatlah, aku adalah wanita yang menghancurkan bukti dengan tanganku sendiri. Jangan pernah berpikir kau bisa mengendalikan Dirgantara.”
Ancaman itu menyuntikkan adrenalin baru ke tubuh Naomi. Ia menatap Helena, menolak untuk gentar.
“Nyonya,” balas Naomi, suaranya parau tetapi mengandung kekuatan baru, mengingat janji Ryu. “Saya tidak peduli seberapa jauh Anda pergi untuk menghapus jejak masa lalu Anda. Yang saya pedulikan adalah bahwa putra Anda, Ryu, baru saja berjanji kepada saya bahwa legitimasi saya mutlak. Dia percaya kepada saya. Dan jika Anda menyentuh saya atau mencoba mengancam saya, saya akan memastikan Ryu akan mengetahui setiap detail tentang Yayasan Cahaya Kasih dan anak itu. Anda tidak bisa menghancurkan kebenaran darinya.”
Helena mundur, wajahnya memucat. Ia melihat Naomi telah memenangkan pertempuran hati Ryu.
Rasa sakit kembali menyerang Naomi dengan intensitas baru. Namun, kali ini, rasa sakit itu didorong oleh amarah dan tekad.
“Ryu!” teriak Naomi, mencengkeram tangannya yang bebas.
“Kenapa? Ada apa?” Ryu bergegas mendekat.
“Ini... ini bukan pembukaan lagi,” kata Naomi, napasnya terputus-putus. “Ini adalah pembalasan. Sekarang, mari kita akhiri ini, Tuan Dirgantara. Mari kita lahirkan pewaris ini, dan mari kita mulai perang rumah tangga yang sesungguhnya.”
Rasa sakit itu memuncak, dan pada pemeriksaan berikutnya, Dr. Pratiwi mengumumkan pembukaan penuh. "Pembukaan penuh! Nyonya Dirgantara, waktunya tiba!”
Proses persalinan yang panjang dan melelahkan akhirnya mencapai klimaksnya. Di tengah erangan dan dorongan, tangisan bayi memecah keheningan ruangan. Seorang pewaris Dirgantara telah lahir.
Ryu, yang menyaksikan seluruh proses itu, berdiri terpaku. Dia melihat bayinya, sehat, sempurna. Dia merasakan kelegaan yang luar biasa dan rasa kepemilikan yang mendalam yang melampaui logika bisnis.
Dokter Pratiwi dengan senyum haru menyerahkan bayi itu kepada perawat untuk dibersihkan. Perawat, dengan hati-hati, membawa bayi itu kembali ke Ryu untuk melihatnya lebih dekat.
“Tuan Ryu, selamat. Bayinya sangat tampan,” kata perawat itu.
Ryu memandang bayinya. Bayi itu tampak seperti dirinya, tampan dan menggemaskan. Tetapi, di balik bahu kirinya, bayi itu memiliki tanda lahir kecil berwarna merah anggur, bentuknya seperti bintik tanda lahir yang sama persis yang dimiliki oleh Ayah Ryu, Danial Dirgantara. Tanda yang juga dimiliki Ryu sendiri, di tempat yang tersembunyi.
Tanda lahir keluarga. Bukti garis keturunan yang tak terbantahkan.
Ryu terhuyung, emosi yang tak dikenal menyerangnya. Ini bukan hanya anak yang diatur melalui kontrak, ini adalah keajaiban yang ia ciptakan.
Saat itulah, suara Dokter Pratiwi terdengar, memecah momen haru itu.
“Tuan Ryu, Nyonya Helena, saya minta maaf. Saya baru saja menerima telepon dari laboratorium kami. Hasil tes pra kelahiran yang diminta Nyonya Helena telah keluar...”
Dokter Pratiwi terlihat bingung, menatap Ryu dan Naomi.
“Hasilnya mengonfirmasi. Nyonya Helena meminta tes kesuburan ulang yang sangat sensitif, sebuah pre paternity screening yang bertujuan untuk membandingkan DNA Nyonya Naomi dan Tuan Ryu... Dan hasilnya..."
Semua mata tertuju pada Dokter Pratiwi. Helena menahan napas, siap mengumumkan kegagalan Ryu.
“Meskipun laporan medis Tuan Ryu yang lama mengindikasikan kemandulan total...” Dokter Pratiwi melihat ke monitor janin lama dan kembali ke hasil tes terbaru.
“... Anak ini... anak ini adalah anak kandung Tuan Ryu. Kami mendeteksi jejak sperma aktif yang sangat langkah, yang pasti bertanggung jawab atas kehamilan ini. Anak ini adalah keajaiban medis yang sebenarnya, Tuan Ryu. Pewaris ini adalah darah daging Anda.”
Keheningan melanda ruang bersalin. Ryu menatap tanda lahir di bahu bayinya, lalu ke Naomi, yang tersenyenyum lega. Helena, yang siap mengumumkan kegagalan Ryu, kini ambruk di kursinya.
Ryu mengambil bayinya, memeluknya erat. Dia melihat keajaiban itu, bukti nyata bahwa anak ini adalah miliknya. Semua kontrak, semua intrik, semua ketakutan akan warisan yang hilang, lenyap di hadapan kebenaran biologis ini.
Ryu menatap Helena, yang tampak hancur, dan kemudian ke Naomi, yang lelah tetapi penuh kemenangan.
“Kontrak sudah berakhir, Naomi,” kata Ryu, suaranya dalam dan penuh emosi yang baru. “Kau tidak hanya melahirkan pewaris Dirgantara. Kau telah memberiku keajaiban yang kuciptakan. Kau telah memberiku kebenaman yang mutlak. Sekarang, dia adalah milikku. Dan kau…”
Ryu mendekati Naomi, masih memeluk bayinya, dan mencium kening Naomi dengan lembut, ciuman yang tidak ada dalam kontrak.
“Kau adalah Nyonya Dirgantara yang sah. Tidak ada yang bisa mengambil itu darimu, tidak ada uang atau rahasia yang bisa membatalkannya. Aku berjanji, aku akan membakar seluruh kota ini jika ada yang mencoba menyentuh kalian berdua.”
Saat Ryu dan Naomi menikmati momen kelegaan dan pengakuan itu, pintu ruang bersalin tiba-tiba terbuka.
Seorang wanita muda yang elegan, mengenakan pakaian desainer yang mahal, berdiri di ambang pintu. Dia terlihat asing, tetapi matanya menatap intens ke arah Ryu dan bayi yang ada di pelukannya.
Wanita itu bukan Vanessa atau Anya.
“Maaf mengganggu,” kata wanita itu, suaranya tenang dan tegas. “Nama saya Riana. Saya adalah perwakilan hukum dari kantor Pengacara Wiratama Kusuma. Saya di sini untuk menyerahkan dokumen yang dia minta, Tuan Ryu.”
Ryu mengernyit. "Dokumen apa? Bukankah dia sudah menolak tawaran itu?"
Wanita itu tersenyum kecil, berjalan mendekat. “Ya, Tuan Wiratama menolak uang Anda. Dia hanya ingin memastikan keadilan.”
Riana menyerahkan sebuah amplop tebal. “Ini adalah salinan tunggal, catatan adopsi yang kami selamatkan. Tuan Wiratama ingin Anda tahu bahwa anak Soraya Purnomo... dia sekarang sudah dewasa, dia adalah seorang wanita, dan dia telah datang untuk mencari tahu identitas ayahnya.”
Riana menatap Ryu lekat-lekat, senyumnya menghilang, dan dia mengucapkan kalimat yang membekukan darah semua orang di ruangan itu.
“Dan dia meminta saya untuk menyampaikan pesan ini kepada Tuan Ryu. Dia adalah putri kandung Danial Dirgantara. Dan dia menuntut seperempat warisan ayahnya.”