Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 - Siap Melangkah
Presentasi Besar Menunggu Zahwa
Setelah pertemuan yang menegangkan di kafe, momen ketika Zahwa melihat Farhan dari kejauhan, Zahwa memutuskan pulang sendiri. Daniel yang tadinya ingin mengantar hanya bisa menahan diri. Perempuan itu menundukkan kepala saat pamit, seolah menahan sesuatu yang tak ingin pecah.
Daniel mengangguk pelan, memberi ruang.
“Baik, Zahwa. Kalau begitu hati-hati pulang,” ucapnya lembut, suaranya hampir seperti bisikan yang ingin melindungi tanpa mendekap.
Zahwa berjalan keluar gedung dengan langkah gontai. Ponselnya ia genggam erat, seolah menjadi jangkar agar pikirannya tidak hanyut.
Ketika ia akhirnya naik ke angkot, sesuatu terasa menggantung di dadanya. Bukan sekadar letih. Lebih seperti perasaan tak pasti yang makin kuat setelah melihat Farhan hari ini tampak begitu santai, bercanda dengan rekan-rekannya, seakan dunianya tak pernah retak.
“Dia bahkan… tak melihat aku,” gumam Zahwa, menatap jendela yang buram oleh embun.
Entah sakit atau lega, ia sendiri tak tahu.
Belum sempat ia memejamkan mata, ponselnya bergetar.
Daniel:
“Zahwa, untuk dua hari lagi. Bisa siapkan sampel baru? Kita presentasi formal di kantor. Aku butuh versi tradisional kampung dan versi premium.”
Zahwa terdiam, membaca ulang pesannya.
Presentasi formal?
Di kantor?
Dengan sampel lengkap?
Tangan Zahwa gemetar sedikit, bukan karena takut—tapi karena rasanya hidup bergerak sangat cepat. Baru kemarin ia hanya menjual frozen food kecil-kecilan. Kini ia akan mempresentasikan menu profesional pada… Daniel.
Ia belum selesai berpikir ketika pesan kedua masuk.
“Nanti aku kirim mobil kantor buat jemput kamu. Biar mudah, karena pasti bawaannya banyak.”
Zahwa menggigit bibirnya. Perhatian Daniel membuatnya hangat… namun juga khawatir.
Ia tidak ingin memberi harapan pada siapa pun bahkan pada dirinya sendiri.
Ia membalas:
“Bisa, insyaAllah saya siapkan.”
Beberapa menit kemudian, ponsel kembali berbunyi.
Daniel:
“Rencana hari Minggu yang aku bilang sebelumnya, kita tunda ya. Kamu fokus dulu persiapan presentasi.”
Zahwa terkejut.
Tunda?
Berarti Daniel merahasiakan sesuatu?
Atau… ia hanya tidak ingin Zahwa terlalu terburu-buru?
Daniel mengirim pesan lanjutan:
“Kita lakukan step by step. Presentasi dulu, nanti kalau sudah siap, baru ketemu Ibu. Ibu ingin tahu konsep kamu, bukan hanya rasa.”
Zahwa menatap layar lama.
Ada ketenangan dari cara Daniel mengatur ritme.
Tidak memaksa.
Tidak membuatnya terhimpit.
Tidak seperti seseorang yang pernah ia kenal.
Ia menarik napas.
“Terima kasih, Pak.”
Itu satu-satunya balasan yang mampu ia ketik.
---
Dua hari menjelang presentasi berubah menjadi hari-hari yang panjang dan sibuk.
Setiap pagi Zahwa bangun lebih awal dari biasanya, menurunkan tunik dan gamisnya dari gantungan, lalu mengikat apron di pinggang dengan tekad yang menguat.
Ia mulai dari menu tradisional kampung:
• Ayam ungkep bumbu kuning
• Tahu isi pedas manis
• Bakwan jagung renyah
• Sambal tomat matang
• Urap sayur wangi daun jeruk
Setiap aroma membawa Zahwa ke masa kecil ke dapur ibunya, ke suara ulekan, ke rasa hangat yang dulu terasa begitu aman.
“Sederhana… tapi penuh jiwa,” gumam Zahwa sambil memeriksa bumbu.
Lalu ia beralih ke menu premium yang diminta Daniel:
• Dori creamy lemon butter
• Mini quiche sayur
• Pastel premium ragout
• Risol mayo smoked beef
Kontras antara dua konsep membuat Zahwa harus bekerja ekstra keras. Tetapi ia senang, sibuk membuatnya tak sempat meratapi Farhan terlalu lama.
Meski begitu, tiap jeda selalu memberi ruang bagi bayangan Farhan untuk menyelinap.
Cara laki-laki itu tertawa tadi.
Langkahnya yang santai.
Raut wajahnya yang sama sekali tidak menunjukkan beban.
“He’s fine… tanpa aku,” bisik Zahwa, hati terasa seperti dipilin.
Beberapa kali ia berhenti, memejamkan mata, menggenggam meja dapur seolah butuh penahan.
Namun setiap kali itu terjadi, ada pesan singkat dari Daniel yang datang di waktu tepat.
“Jangan lupa makan ya, Zahwa.”
“Kalau butuh bantuan packaging, bilang ke aku.”
“Fokusnya yang penting.”
Entah bagaimana, Zahwa merasa seperti dituntun keluar dari kepalanya sendiri.
Bukan dalam cara yang membuatnya terikat, tapi dalam cara yang membuatnya merasa dilihat.
---
Hari kedua malam tiba dengan hamparan makanan yang sudah siap. Dapur kontrakan kecil itu berantakan, tetapi ada rasa puas yang menyeruak.
Zahwa duduk bersila di lantai sambil menata container.
Ia menatap hasil kerjanya, lalu tersenyum tipis.
“Semoga ini cukup,” bisiknya lirih.
Tidak lama, ponselnya berbunyi.
Daniel:
“Besok jam 9 mobil kantor jemput ya. Kita mulai presentasi jam 10.”
“Kamu pasti bisa.”
Zahwa memeluk ponselnya ke dada, merasakan sesuatu menetes di sudut matanya, bukan sedih, tapi semacam rasa terharu yang datang tiba-tiba.
Apa Daniel tahu?
Bahwa perhatian sederhana seperti itu bisa menyelamatkannya dari pikirannya sendiri?
Ia tak tahu jawaban itu.
Yang ia tahu, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, ia merasa… punya tujuan.
Dan besok, hidupnya mungkin akan berubah lagi. Entah ke arah mana,tapi Zahwa siap melangkah.