sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kopi dan Rindu yang Sama
Pagi itu, kedai kopi Bio belum sepenuhnya ramai. Matahari baru saja naik, cahayanya menyelinap masuk lewat jendela besar di sudut ruangan, memantul di meja kayu yang masih bersih dan rapi. Aroma kopi pertama hari itu menguar pelan—hangat, akrab, seperti janji kecil yang selalu ditepati.
Bio berdiri di balik bar, menggulung lengan kemejanya sedikit. Tangannya bergerak cekatan, tapi pikirannya melayang. Sejak malam terakhir mereka pulang bersama, ada rasa rindu yang aneh—bukan rindu karena jarak, melainkan rindu karena kelelahan yang tak sempat diucapkan.
Bel kecil di pintu berdenting.
Bio menoleh, dan senyumnya muncul begitu saja.
Bintang berdiri di sana, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana kain gelap. Rambutnya dibiarkan terurai, wajahnya tampak lebih segar dibanding kemarin, meski Bio tahu itu hanya karena ia pandai menyembunyikan lelahnya.
“Kedainya buka pagi sekarang?” tanya Bintang sambil melangkah masuk.
“Buat kamu, selalu buka,” jawab Bio ringan.
Bintang tertawa kecil, lalu duduk di bangku tinggi dekat bar—bangku yang sengaja Bio pilih karena entah kenapa selalu ia bayangkan akan sering diduduki Bintang.
“Kopi yang sama?” tanya Bio.
“Iya.”
Bio menyiapkannya tanpa bertanya lagi. Ia menikmati kebiasaan kecil itu—mengingat apa yang disukai Bintang, bagaimana ia suka kopinya tidak terlalu pahit, dengan sedikit susu. Saat cangkir diletakkan di hadapan Bintang, gadis itu menatapnya sejenak, lalu menghela napas pelan.
“Harumnya bikin tenang,” ucap Bintang.
Bio menyandarkan tubuh di meja bar. “Atau kamu yang akhirnya sempat bernapas?”
Bintang mengangkat bahu, lalu tersenyum. “Mungkin dua-duanya.”
Kedai masih sepi. Hanya ada mereka berdua, musik pelan yang mengalun, dan waktu yang seolah melambat. Bintang menyesap kopinya perlahan, lalu menatap Bio—tatapan yang membuat dada Bio terasa hangat.
“Aku kangen,” kata Bintang tiba-tiba, jujur, tanpa ragu.
Bio terdiam sejenak, lalu mendekat. “Aku juga.”
Tanpa banyak bicara, Bio meraih pinggang Bintang, mengangkatnya dengan mudah, dan mendudukkannya di atas meja bar. Bintang terkejut, refleks memegang bahu Bio, lalu tertawa pelan.
“Bio! Ini café,” protesnya setengah hati.
“Masih sepi,” jawab Bio, senyumnya nakal tapi matanya lembut.
Ia berdiri di antara lutut Bintang, mendekat perlahan, seolah memberi waktu jika Bintang ingin menolak. Tapi Bintang justru meraih kerah kemeja Bio, menariknya lebih dekat.
Ciuman itu sederhana. Tidak tergesa, tidak dalam. Hanya sentuhan bibir yang lama, penuh rindu yang tertahan sejak hari-hari sibuk mereka. Bio menempelkan dahinya di dahi Bintang setelahnya, menghela napas.
“Kamu kelihatan capek,” bisiknya.
Bintang mengangguk kecil. “Kamu juga.”
Mereka saling tersenyum. Bio membantu Bintang turun, lalu menggenggam tangannya, mengajaknya duduk di sudut dekat jendela. Bintang menyandarkan kepala di bahu Bio, dan untuk beberapa menit, mereka hanya diam.
Tidak ada cerita tentang tekanan di kantor.
Tidak ada keluhan tentang sepinya kedai.
Tidak ada nama Satya, tidak ada Oma, tidak ada masa depan yang rumit.
Hanya kopi yang mendingin perlahan dan rindu yang akhirnya mendapat tempat.
“Aku suka tempat ini,” kata Bintang pelan. “Sederhana. Kamu banget.”
Bio menoleh. “Aku bikinnya sambil mikirin kamu.”
Bintang tersenyum, lalu mencubit pelan lengan Bio. “Gombal.”
“Jujur.”
Mereka tertawa kecil. Bio mengecup puncak kepala Bintang, gerakan yang lembut dan penuh kebiasaan—seperti janji diam-diam bahwa apa pun yang terjadi di luar sana, kedai kecil ini akan selalu jadi tempat pulang.
Di antara cangkir kopi dan pagi yang pelan, mereka menyimpan rindu yang sama—tidak diucapkan dengan kata-kata besar, tapi dirasakan di setiap sentuhan kecil.
...****************...