Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 27
Pagi itu, dapur kediaman Pramudya terasa lebih hidup dari biasanya. Kinara masih mengenakan piyama sederhana, rambutnya diikat asal, sibuk membantu beberapa pelayan menata sarapan di meja makan. Sesekali ia mengecek piring, memastikan semuanya rapi. Langkah roda kursi terdengar, disusul langkah kecil yang ceria.
Arman dan Aksa muncul di ambang ruang makan. Arman langsung memperhatikan penampilan Kinara. Keningnya sedikit berkerut.
“Kamu nggak bersiap ke kantor?” tanyanya.
Kinara menoleh, tersenyum ringan.
“Libur, Mas. Sabtu sama Minggu.”
Belum sempat Arman menanggapi, Aksa sudah melonjak kegirangan.
“Yeay! Berarti Mommy bisa antar Aksa ke sekolah!” katanya antusias.
Kinara terkekeh kecil.
“Kalau Daddy kamu kasih izin.”
Aksa langsung menoleh ke Arman dengan wajah memohon. Arman hanya menghela napas pendek, lalu mengangguk kecil.
“Cepat makannya.”
Aksa bersorak lagi dan segera duduk di kursinya. Arman mengambil tempat seperti biasa. Kinara mendekat, melayani Arman dengan cekatan, menuangkan teh, menggeser piring ke posisi yang lebih mudah dijangkau.
“Tadi pagi, Rudi...” ucap Kinara pelan, seolah tak ingin suasana pagi itu pecah.
“Dia kasih jadwal terapi Mas.”
Arman mengangkat wajahnya.
“Siang ini?”
Kinara mengangguk.
“Aku mau nemenin,” katanya lembut.
Arman tak langsung menjawab. Dia hanya mengangguk singkat, tapi tak ada penolakan di sana. Kinara melanjutkan dengan suara lebih pelan, penuh keyakinan.
“Kalau Mas berusaha lebih keras, aku yakin akan ada hasil. Hasil yang bikin Mas puas … sama diri Mas sendiri.”
Sendok di tangan Arman berhenti sejenak. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis senyum yang jarang, tapi nyata.
Beberapa saat berlalu setelah sarapan pagi.
Di depan cermin, Kinara menarik ujung kemejanya pelan. Kancing di bagian dada terasa lebih sempit dari yang ia ingat. Ia menghela napas kecil, menatap bayangannya sendiri.
“Duh … kayaknya aku makin gemuk,” keluhnya lirih, lebih pada diri sendiri.
Suara langkah kecil terdengar di belakangnya. Aksa, yang sejak tadi memperhatikannya, langsung menggeleng tegas.
“Bukan Mommy yang gemuk,” katanya polos namun yakin.
Kinara menoleh. “Hah?”
“Itu bajunya yang kekecilan,” lanjut Aksa sambil menunjuk kemeja Kinara. “Minta Daddy beliin yang baru, yang banyak.”
Ucapan itu membuat Kinara terdiam sejenak. Wajahnya langsung bersemu merah, campuran malu dan geli. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menjalar di dadanya, perasaan sederhana yang tak pernah ia duga bisa muncul dari kalimat sesederhana itu.
“Aksa…” Kinara tersenyum, lalu mengusap kepala bocah itu pelan. “Kamu bisa aja.”
Aksa tersenyum bangga, seolah baru saja menyelesaikan tugas besar sebagai pembela Mommy-nya.
Kinara menggenggam tangan Aksa sambil menuruni tangga. Bocah itu tampak ceria, sesekali melonjak kecil seperti tak sabar segera berangkat ke sekolah. Namun langkah Kinara terhenti ketika matanya menangkap sosok Arman di ruang tengah, tengah berbicara dengan Bu Hasna, kepala pelayan rumah itu.
“Untuk belanja bulanan, stok dapur tinggal separuh, Tuan,” lapor Bu Hasna sopan. “Saya berencana pergi naik taksi seperti biasa.”
Kinara tersenyum lebar dan spontan menyela, “Bu Hasna ikut saya saja.”
Dia melirik Arman sebentar lalu kembali pada wanita paruh baya itu.
“Sekalian saya antar Aksa ke sekolah. Daripada naik taksi, kan lebih cepat ikut bersama saya.”
Bu Hasna tampak terkejut. “Oh, tidak usah, Nyonya. Saya bisa...”
“Tidak apa-apa, Bu,” potong Kinara lembut tapi tegas. “Sekalian saja.”
Bu Hasna ragu, menoleh ke arah Arman seolah meminta keputusan. Pria itu memperhatikan Kinara beberapa detik, lalu mengangguk kecil.
“Ikuti saja saran Kinara,” ujar Arman datar, namun nadanya mengandung kepercayaan.
Wajah Bu Hasna langsung berubah lega. “Baik, Tuan.”
Kinara tersenyum puas, dia lalu menoleh pada Arman. “Kami berangkat dulu,” katanya sambil meraih tasnya. “Mas di rumah saja, ya. Persiapan terapi nanti.”
Arman mengangguk. “Hati-hati di jalan.”
Aksa melambaikan tangan dengan semangat. Arman menatap punggung Kinara dan Aksa yang berjalan menuju pintu. Ada perasaan tenang yang perlahan mengisi dadanya rumah itu terasa sedikit lebih hidup pagi ini.
Di depan gerbang sekolah, Kinara menurunkan kaca jendela dan melambaikan tangan.
Aksa berlari kecil ke arah teman-temannya, menoleh sekali lagi sambil melambaikan tangan dengan senyum lebar yang jarang ia tunjukkan dulu.
Kinara menunggu sampai sosok kecil itu benar-benar menghilang di balik gerbang, baru kemudian membelokkan setir ke arah supermarket. Bu Hasna duduk di kursi samping, memperhatikan Kinara dengan tatapan lembut.
“Nyonya dekat sekali dengan Tuan Muda,” ujar Bu Hasna akhirnya, memecah keheningan.
Kinara tersenyum tipis. “Aksa anak yang manis. Hanya … kurang diperhatikan saja.”
Bu Hasna mengangguk pelan, napasnya terdengar berat.
“Sejak lima tahun lalu, setelah kecelakaan itu, saya jarang sekali melihat senyum Tuan Muda Aksa,” katanya lirih. “Hampir setiap hari sekolah menelepon. Katanya Aksa nakal, suka berantem, sulit diatur.”
Kinara tetap fokus ke jalan, namun tangannya mengencang di setir.
“Bahkan,” lanjut Bu Hasna dengan nada canggung, “sering ada bapak-bapak datang ke rumah. Mengeluh karena Aksa memanggil anak gadis mereka … mommy.”
Kinara tak bisa menahan senyum kecil. Ingatannya melayang pada pertemuan pertamanya dengan Aksa, bagaimana bocah itu tanpa dosa memeluknya dan memanggilnya mommy, menjebaknya dengan kepolosan yang terasa seperti kebutuhan akan sosok ibu.
“Sepertinya Aksa memang sedang mencari tempat pulang,” gumam Kinara pelan.
Bu Hasna tersenyum penuh syukur. “Sejak Nyonya datang, rumah itu perlahan berubah. Tuan Arman tidak sesering mengurung diri, dan Tuan muda Aksa … jauh lebih ceria.”
Kinara hendak membuka suara, berniat menyinggung soal istri pertama Arman, tentang luka yang mungkin belum sembuh sepenuhnya. Namun belum sempat ia bicara, sebuah mobil tiba-tiba menyalip kasar saat mereka memasuki area parkir supermarket.
Kinara mengerutkan kening. “Sabar sekali orang-orang sekarang,” gerutunya kesal sebagai bentuk cibiran.
Dia memarkirkan mobil dengan rapi, lalu membuka pintu dan turun lebih dulu, wajahnya masih menyimpan rasa jengkel akibat manuver sembrono pengendara tadi.
Dia melihat dari arah mobil itu turun seorang wanita dan bersama dengan seorang pria, kening Kinara langsung berkerut menatap dua orang itu, jelas di kenalnya.
minta balikan lagi sama Arman
nanti pasti Aksa yg di jadikan alat
dasarrrr orang 🤣🤣