NovelToon NovelToon
Kepepet Cinta Ceo Arogan

Kepepet Cinta Ceo Arogan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / CEO / Romansa / Fantasi Wanita / Nikah Kontrak / Wanita Karir
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: keipouloe

Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.

Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.

Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Garis batas

Restoran Pinnacle adalah epitome kemewahan yang sunyi.

Lantai marmer mengilap memantulkan cahaya dari lampu kristal yang bergantungan rendah. Aroma halus truffle dan anggur merah memenuhi udara, menciptakan atmosfer yang menekan sekaligus elegan.

Arash merasa seperti alien di antara para pebisnis berjas mahal dan wanita-wanita ber perhiasan mewah. Ia hanya mengenakan kemeja putih polos dan celana bahan yang sudah disetrika sejak semalam—seragam perangnya untuk orientasi magang, bukan makan siang dengan CEO.

Sementara itu, Devan Adhitama tampak seperti bagian alami dari tempat itu. Begitu ia melangkah masuk, pelayan-pelayan segera memberi hormat. Mereka diarahkan ke meja sudut paling privat, dengan pemandangan langsung ke cakrawala Jakarta.

“Pesan apa pun yang kau mau,” kata Devan tenang, menyerahkan buku menu kulit tebal. “Anggap saja ini bonus sebelum gajimu saya potong.”

Arash melirik harga di menu.

Steak Wagyu seharga setengah gajinya. Lobster Thermidor yang bisa membeli motor matic-nya. Perutnya memang lapar, tapi harga-harga itu membuatnya mual.

“Saya pesan nasi goreng, Pak. Kalau ada,” katanya cepat, menutup menu.

Devan mengangkat satu alis. Ia mengambil menu itu, menatap sekilas, lalu menutupnya dengan bunyi lembut tapi tegas.

“Jangan bodoh, Maulidia. Restoran ini tidak menyajikan nasi goreng. Kau sedang makan bersama CEO Adhitama Group. Tunjukkan sedikit kelas.”

“Saya hanya mencoba menghemat pengeluaran, Pak,” balas Arash, menahan nada kesalnya. “Mengingat utang saya lunasnya juga dari uang Bapak.”

Devan tertawa kecil—tawa singkat tanpa emosi, lebih seperti hembusan udara yang dingin.

“Ketidaknyamanan mu sangat menghibur. Tapi kau tidak sedang membayar. Kau sedang menikmati makanan yang seharusnya bisa kau beli sepuluh bulan dari sekarang. Pesan Salmon En Croute. Itu minimal kerugian yang bisa saya terima.”

Arash mendesah, lalu mengangguk pasrah.

Keheningan panjang turun setelah pelayan pergi. Devan sibuk mengecek ponselnya, membalas pesan, seolah keberadaan Arash di seberang meja tidak berarti apa-apa.

“Saya ingin tahu detail tugas saya, Pak,” ucap Arash akhirnya, mencoba memecah kebekuan.

Devan meletakkan ponselnya, lalu menatapnya. Tatapan itu datar, tapi berat.

“Tugasmu sederhana: membuat hidup saya seratus persen efisien. Saya benci membuang waktu. Kau akan mengatur jadwal saya, menyiapkan semua dokumen, dan memastikan tidak ada satu pun gangguan yang masuk ke dalam sistem kerja saya.”

“Termasuk meeting atau orientasi magang yang sudah dijadwalkan?”

“Semua,” jawab Devan singkat. “Kau adalah filter saya. Jangan biarkan sampah menempel.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Dan saya tidak butuh kopi. Saya butuh otak. Gunakan kepintaran mu untuk sesuatu yang berguna, bukan untuk menabrak mobil saya.”

Nada sinis itu membuat pipi Arash memanas. Tapi di balik rasa malu, ada tantangan yang menyalakan kembali semangatnya.

“Baik, Pak,” katanya perlahan. “Tapi saya punya satu permintaan.”

Devan bersandar di kursinya, menautkan jari-jari. “Apa?”

“Saya ingin batas yang jelas antara kehidupan pribadi Bapak dan tugas profesional saya,” kata Arash tegas. “Saya bersedia bekerja keras, tapi saya bukan bagian dari hidup pribadi Anda. Saya terikat kontrak kerja, bukan kontrak budak.”

Keheningan menggantung.

Mata Devan menatapnya lurus—dingin, dalam, dan menghitung. Udara di antara mereka menegang.

“Kau berani,” katanya akhirnya. “Asisten-asisten saya sebelumnya tidak pernah bicara seperti itu.”

“Saya bukan asisten Bapak. Saya orang yang membayar utang dan kebetulan bekerja untuk Bapak. Itu berbeda.”

Senyum perlahan terbentuk di wajah Devan. Bukan senyum ramah, tapi senyum yang membuat jantung Arash berdetak tak karuan.

“Garis batas, ya? Baiklah, Maulidia. Kita buat garis itu. Kau bekerja keras, saya bayar utangmu. Tapi jika kau melanggar batas yang saya buat…” ia condong sedikit ke depan, suaranya menurun satu oktaf, “kau akan melihat bagaimana saya menghapus batas itu—dan juga menghapusmu dari Adhitama Group.”

Arash mengangguk tegas. “Paham.”

Pelayan datang membawa makanan. Salmon En Croute milik Arash dan Steak Wagyu milik Devan disajikan dengan keindahan nyaris artistik. Tapi aroma lezat itu tak mampu menutupi ketegangan di udara.

Devan mulai memotong dagingnya dengan gerakan rapi dan lambat, lalu bertanya tanpa menatap,

“Kau tidak memakai nama keluarga ayahmu, ‘Wiratama’, di kartu identitas kerja.”

Arash membeku. Ia yakin hanya menulis “Arash Maulidia” di formulir magang. Devan jelas sudah mencari tahu lebih dalam.

“Itu urusan pribadi, Pak Adhitama. Melanggar garis batas yang baru kita buat,” jawabnya dingin.

Devan menatapnya sebentar, lalu tersenyum samar. “Informasi yang saya kumpulkan tentang calon karyawan saya adalah urusan profesional. Saya tahu segalanya tentangmu, Maulidia. Nilai akademikmu, skor IQ-mu yang di atas rata-rata, bahkan kebiasaanmu datang terlambat ke kelas.”

“Kalau Bapak sudah tahu segalanya, kenapa Bapak masih bertanya?” tantang Arash.

Devan memotong sepotong kecil steak, mengunyahnya perlahan sebelum menjawab, “Karena saya ingin mendengar langsung alasanmu. Entah itu kebohongan… atau kebenaran.”

Ia menyeka sudut bibirnya dengan serbet, lalu menatap Arash lurus-lurus.

“Saya beri waktu dua puluh empat jam untuk membereskan urusan pribadimu. Besok pagi pukul tujuh, saya ingin kau datang ke kantor dengan file lengkap tentang proyek akuisisi terbaru. Siapkan juga tiga argumen yang menentang rencana tersebut. Saya ingin melihat seberapa tajam otak ceroboh mu bisa berpikir di bawah tekanan.”

“Baik, Pak.”

“Makanlah,” ujarnya datar. “Kau butuh tenaga. Daging wagyu saya tidak akan lari. Berbeda dengan waktu kerjamu yang sudah banyak terbuang.”

Arash menatap piring di depannya—salmon lembut dengan kulit renyah keemasan. Ia lalu mengangkat pandangan, menatap Devan yang sedang menikmati makanannya dengan tenang.

Untuk pertama kalinya, ia sadar: ini bukan sekadar pekerjaan. Ini ujian.

Duel diam antara dua kepala keras.

Ia mengambil garpu, memotong salmon dengan hati-hati, lalu mulai makan.

Di matanya, tak ada lagi rasa takut—hanya tekad.

Dan Devan Adhitama, untuk pertama kalinya, menatap seseorang bukan karena rasa ingin tahu… melainkan karena rasa yang bahkan ia sendiri belum siap untuk mengakuinya.

Permainan baru saja dimulai.

1
Reni Anjarwani
lanjut thor doubel up
Reni Anjarwani
doubel up
Reni Anjarwani
doubel up thor
rokhatii: stay tune kak🙏🙏
total 1 replies
Reni Anjarwani
lanjut thor
rokhatii
ditanggung pak ceonya🤣🤣🤣
matchaa_ci
lah kalo gajinya di potong semua gimana arash hidup nanti, untuk bayar kos, makan, bensin pak ceo?
aisssssss
mobil siapa itu kira kira
aisssssss
bagua banget suka ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!