Seberapa tega orang tua kamu?
Mereka tega bersikap tak adil padaku namun segala macam kepunyaan orang tuaku diberikan kepada adikku. Memang hidup terlalu berat dan kejam bagi anak yang diabaikan oleh orang tuanya, tapi Nou, tak menyerah begitu saja. Ia lebih baik pergi dari rumah untuk menjaga kewarasannya menghadapi adik yang problematik.
Bagaimana kisah perjuangan hidup Nou, ikuti kisahnya dalam cerita ini.
Selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DRAMA DILANGKAHI NIKAH
Acara pernikahan Iin akan digelar lusa, Nou pun tak bisa membantu banyak, ia hanya memberi uang 5 juta untuk tambahan belanja. Acc cuti saat hari H saja, sehingga ia baru setor tenaga usai pulang dari kantor. Beruntung tinggal di perkampungan sehingga banyak yang bantu ibu, apalagi keluarga bapak banyak, sehingga ibu tak kerepotan sendiri. Semua itu bisa berjalan lancar asal ada duitnya.
Nou sendiri juga sedang menyelesaikan tanggungan pekerjaan, minggu depan ia pindah tugas ke kantor pusat. Ada posisi kosong karena resign, sehingga Nou diminta untuk pindah ke pusat. Di tengah sibuk kantor, persiapan nikah sang adik, Nou juga disibukkan mencari kos baru dekat kantor, sungguh menguras tenaga dan pikiran pastinya.
Kadang saat di rumah ingin segera tidur saja, tapi tak enak kalau belum membantu ibu, apalagi ada tetangga, sungkan saja kalau berdiam diri di kamar. Malam ini ada walimatul ursy malah makin ramai saja rumah.
"Mbak Nou dengar-dengar mau pindah kerja ya?" tanya Bu Tum, salah satu tetangga yang cekatan sekali cetak nasi.
"Iya, Bu. Mulai minggu depan."
"Wah, enak ya. Tinggal di kota berarti," Nou mengangguk. Badannya lelah sekali, ingin tidur tapi tak mungkin alhasil menjawab ala kadarnya saja.
"Bersyukur, Neng. Pindah di kota, nanti lihat pengantin baru malah kepengen," niatnya Bu Satya ini mungkin bercanda, tapi Nou tak bisa senyum karena capek kerja. Alhasil dianggap orang lain Nou malam itu tak ramah.
"Kalau nanti bertemu jodoh, pasti akan datang kok ya Mbak No'!" ujar ibu lain menenangkan Nou, dan gadis itu hanya mengangguk. Dering ponsel Nou menyelamatkan dia untuk lepas dari ibu-ibu rewang. Sepeninggal Nou, jelas saja mereka mulai mengomentari Nou dengan seenak jidatnya.
Pantas gak nikah-nikah jutek begitu.
Iya ih, pasti iri sama Iin yang nikah.
Iin memang lebih ramah ketimbang Nou, pantas punya pacar. Lah Mbak Nou gak bisa senyum gitu pasti si laki juga takut.
Hush, siapa tahu Mbak Nou punya pacar tapi diam saja.
Halah, kalau pun mau menikah pasti pemilih banget. Merasa paling pintar dan gaji sudah tinggi juga.
Ya gitu kalau perempuan sudah gajinya tinggi, gak butuh laki-laki.
Nou mendengar tuduhan itu semua, di balik kamarnya. Ia menghela nafas berat, sejulid itu mereka sama orang yang belum mau menikah.
Kadang Nou sampai berpikir apa enaknya menikah muda sih, sedangkan kerja aja belum pasti. Jelas Nou memilih siap finansial dulu daripada harus menikah. Kebutuhan banyak, dan ingat dunia kejam pada wanita yang tak punya uang sendiri.
Ijab qabul akan dilaksanakan pagi hari sekitar pukul 9 pagi, dilanjutkan dengan acara resepsi. Nou sudah dimake-up dengan sangat cantik. Hingga beberapa tetangga pangling. "Jodohnya orang kota, nih!" ucap Budhe Sri, sangat bangga pada ponakan satu ini. Sembari mengajak selfie, orang yang sefrekuensi dengan Nou, menomor satukan finansial ketimbang menikah, akan setuju dengan prinsip gadis itu, dan hanya Budhe Sri yang memahami jalan pikiran Nou.
Begitu rombongan mempelai pria datang, Nou pun dengan sigap menyambut keluarga mempelai, banyak yang takjub dengan kelincahan Nou. Bisik-bisik mulai terdengar dengan perkara yang sama gadis pemilih yang terus disematkan untuk Nou. Namun hanya masuk telinga kiri saja. Nou tak peduli. Setiap orang punya pilihan masing-masing, dan Nou akan berdiri tegak memegang prinsipnya.
Ibu begitu bahagia si bungsu telah menikah, harapan beliau Iin semakin baik, suaminya bisa membimbing dia hingga membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahma. Beruntung Nou tidak mendengar suara aneh-aneh saat malam pengantin, karena Iin sedang berhalangan.
"Mbak, kamu dipindah sampai kapan?" tanya Ibu yang berat ditinggal si sulung untuk pindah tugas. Mau bagaimana pun anak pertama itu tempat terbaik berkeluh kesah, yang tahu perjuangan orang tuanya mulai dari 0. Sekarang gadis yang berusia 25 tahun itu sedang packing karena besok akan berangkat ke kota, pindah tempat kerja. Ibu pun ikut menata baju Nou di koper.
"Gak tahu sampai kapan, Bu. Ibu mau ikut Nou?" tawar Nou pada sang ibu, yang jelas jawabannya tidak. Beliau pasti tak tega meninggalkan Iin meski dia sudah bersuami. Apalagi mereka berniat tinggal di rumah ini.
Allah tuh maha adil banget ya, di saat Nou jomblo ia dipindah tugas, sehingga dia tidak campur dengan rumah tangga sang adik. Kalau pun tidak dipindah tugas, ia juga berniat untuk kos saja. Tak enak saja ada adik ipar dalam rumahnya.
"Ya gak mungkin ibu ikut kamu, Mbak. Lebih nyaman di rumah sendiri, pasti!"
"Heleh, paling ibu gak tega meninggalkan Iin kan," ledek Nou, sudah hafal dengan prioritas sang ibu.
"Kamu hidup sendiri mah bisa, tidak dengan Iin," Nou tersenyum saja. Ingin sekali bilang stop normalisasikan bungsu gak bisa apa-apa, yang ada karena tak tega melepas itulah yang membuat si bungsu masih bergantung pada ibu. Lihat saja, saat pagi hari. Dia malah sibuk ponsel an, sedangkan suaminya ikut mengepel. Ibu memasak, dan Nou cuci piring.
Hidup level 10 sekali ini ya Iin ini, tapi Nou tak mau menegur lagi. Rasanya Nou sudah capek mengingatkan, capek menasehati, dia sudah berani menikah berarti sudah dewasa. "Gas LPG habis, No'!" ucap ibu saat di tengah acara masak. Kaya' gini apakah Nou meminta uang LPG, tentu tidak kan? Ia juga berangkat beli, tak mungkin menyuruh adik iparnya.
"Dek, kamu gak bantu ibu sama Mbak Nou?"
"Enggak! Kan sudah ada tugas masing-masing, aku nanti bagian jemur biasanya!"
"Lah emang Mbak Nou juga kamu cucikan?"
"Enggak, Mbak Nou laundry!"
"Lah terus, ya ibu biasanya nyuci baju ibu dan aku, terus aku yang jemur!"
Nou mendengar hal itu, dan tersenyum tipis saja. Mau iri pada Iin juga gak bakal bisa, ibu saja gak pernah menyuruh atau menegur dia, wajar Iin bersikap seperti itu.
Beruntung Nou campur serumah cuma seminggu, habis ini dia merantau dan berdoa saja semoga ibu selalu sehat, dan Iin semakin waras untuk sadar diri, bahwa dirinya sudah menjadi istri orang.
"Kereta Mbak nanti jam 1, jaga ibu baik-baik, kalau ada apa-apa langsung telepon saja. Kamu sudah menikah, usahakan jangan jadi beban ibu," begitu pesan Nou pada Iin, dan dia jawab hanya iya saja, tak peduli ada suami Iin, Nou tetap jadi kakak jutek yang harus mengingatkan sang adik agar dia sadar akan posisinya sekarang.
Ibu menangis saat Nou pamit, koper sudah dimasukkan ke dalam taksi online. Nou pun berkaca-kaca, kalau dulu merantau karena kerja sekarang merantau karena kerja. Tak apa, cari pengalaman selagi muda.
"Jaga kesehatan ya, Bu!" ucap Nou sembari memeluk beliau. Nou juga menyempatkan salaman dengan para tetangga yang ikut melihatnya pamitan di depan rumah.
"Titip, Ibu ya, Bu Satya!" ucap Nou sembari menyalami Bu Satya dan beberapa ibu lainnya. Meski julid, mereka ringan tangan untuk membantu. Kalau ada apa-apa dengan Ibu, yang paling cepat membantu juga tetangga.
persaingan pengusaha muda vs dokter anak semakin kocak 🤣🤣
weh Weh emang bosmu gendeng cembukur dia
stop udah jangan di kirim lagi keterusan ga mandiri