Mendadak Nikah : Jodohku Ternyata Seberang Rumah

Selepas magrib mereka pergi keluar untuk makan malam, sekalian belanja.

Saat mereka keluar dari pintu menuju mobil, tetangga sebelah rumah melihat mereka berdua.

"Kamu mau makan apa?" Sagala bertanya setelah mobil mereka keluar dari area perumahan.

"Aku engga tahu di sini ada makanan apa aja. Abang aja deh yang pilih," jawab Annisa.

Sagala menyebutkan beberapa tempat makan cepat saji yang seringkali disukai anak-anak.

Benar saja, setelah menyebutkan tempat makan itu, Annisa menoleh, menatapnya antusias.

"Waahh mau itu semua boleh ngga sih, Bang. Di sini deket ya. Kalau di kampung harus ke kota kalau mau makan di tempat itu."

"Memangnya perut kamu muat kalau makan di semua tempat tadi?"

"Engga langsung malam ini, tapi besoknya lagi besoknya lagi. Ya, Bang ya. Boleh ya. Abang kan baik."

Sagala terkekeh. Dia menoleh sebentar untuk menatap Anissa. Gadis ini memang manja, sedari dulu. Jadi sikap Anisa yang sperti ini sangat biasa baginya.

Mereka memilih tempat makan yang paling dekat. Lampu restoran memancarkan warna kuning hangat. Begitu masuk, aroma kentang goreng dan ayam crispy langsung menyeruak, membuat Annisa menelan ludah.

Sagala langsung menuju kios self-order. Dia mengetuk layar besar yang menyala terang, memilih opsi Start Order dengan cepat.

“Dine in,” gumamnya, lalu menavigasi ke menu makanan.

“Kamu mau apa?” tanyanya, menoleh sekilas ke Annisa.

Annisa maju satu langkah, matanya berbinar melihat tampilan menu. Ia menunjuk cepat apapun yang ia inginkan, seperti takut menyesal kalau kelamaan mikir.

Sagala mengangguk. Jarinya lincah memilih menu yang ditunjuk Annisa. “Bagus, makan yang banyak biar nggak kurus kering,” komentarnya santai.

"Berat badanku normal lho, Bang. Nggak kurus kering," protes Annisa.

Mereka duduk di bangku pinggir kaca, saling berhadapan. Lampu-lampu jalan di luar tampak memantul di kaca, menciptakan suasana hangat meski suasana sekitar cukup ramai.

Tepat saat itu, ponsel Sagala bergetar. Pesan masuk dari Ardi teman satu bagian.

"Nongkrong tempat biasa, Bro. Gue traktir."

Sagala membalas. "Sorry gue nggak bisa malem ini."

"Ok. Kabari kalau berubah pikiran."

Annisa menatapnya diam. Berpikir dengan siapa abang chat? Cewek atau cowoknya.

Tiba-tiba ia mengingat, jika pernikahan mereka mendadak, terjadi begitu saja. Lalu, bagaimana dengan kehidupan abang sebelum ini? Apakah abang punya seseorang yang dicintai? Bagaimana nasib perempuan itu sekarang, saat Abang harus menikah dengannya.

"Abang ada pacar nggak?" Tanyanya begitu saja.

Pertanyaan yang membuat Sagala mendongak menatapnya. Pria itu mengerutkan kening.

"Kenapa?" Tanyanya. Ia meletakkan ponselnya di atas meja.

Annisa menghela napas panjang, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, kalau ternyata abang punya pacar. Tapi… bukankah perempuan itulah yang lebih hancur daripada dirinya?

"Tanya aja. Cuma pengen tahu," ucapnya pelan.

Sagala terkekeh. "Anak kecil nggak boleh banyak tau."

"Jadi abang ada pacar?"

Pelayan datang tepat saat itu, membawa pesanan mereka. Namun Annisa hanya terpaku, diam menatap makanannya. Rasanya udah berselera lagi.

Jika benar abang punya pacar, berarti secara tidak langsung ia adalah orang ketiga yang datang tiba-tiba menghancurkan kisah cinta abang.

Disisi lain, Sagala menatapnya. Menyadari perubahan suasana hati gadis itu.

"Ehm." Sagala sengaja berdeham.

Annisa mengangkat wajah menatapnya tapi tidak mengatakan apa-apa.

"Kalau udah kenyang, ayo pulang," ajaknya sengaja. Dan itu sukses membuat Annisa cemberut. Ia menunduk lagi memperhatikan banyak makanan di meja yang belum ia sentuh.

"Ish." Ia mendecak kesal lalu kembali menatap Sagala. "Jadi Abang punya pacar apa enggak pas dijodohin sama aku?" Dia tetap bertanya. Pantang mundur sebelum dapet jawaban.

Sagala terkekeh, menggeleng pelan. Ia menyesap minumannya lalu menjawab, "Kalau abang ada pacar, mana mau abang sama kamu."

Annisa terdiam sepersekian detik. Hatinya seperti disentil—kaget, lalu perlahan terasa hangat. 'Ah, syukurlah nggak ada pacar…' hatinya menari riang tanpa izin.

Tapi… kok ujung-ujungnya begitu? Bibirnya mengerucut, "Ih, Abang jahat."

"Dah buruan makan."

Annisa mengangguk patuh. Dia segera memakan makanannya satu persatu dengan penuh semangat. Menikmati kelezatan di dalam mulutnya.

"Pelan-pelan bocil, nanti kesedek." Baru mingkem bibir Sagala, Annisa sungguh tersedak.

Sagala segera berdiri, membungkuk sedikit untuk menepuk punggung Annisa pelan. Namun itu malah membuat Annisa semakin terbatuk hebat.