Vina sangat terobsesi diterima menjadi pemeran wanita utama di casting sebuah drama. Dia juga seorang penggemar garis keras dari seorang aktor. Suatu hari saat melakukan casting, ia ditolak tanpa di tes dan parahnya lagi, orang yang menolaknya adalah si idola. Merasa terhina, Vina pun berubah menjadi pembenci sang aktor. Belum juga mulai menabur benih kebencian, ia justru terpaksa menikah secara kontrak dengan sang Aktor.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumi Midah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menikahi mantan idola
Seorang pria dewasa berperawakan sedang, menggunakan stelan necis, mendatangi minimarket—berpengunjung cukup ramai—milik Vina. Kali ini Kamila yang bertugas untuk menjadi tukang kasir, sedangkan Vina, dia berjaga di stan kosmetik yang terletak di belakang.
Setelah melihat beberapa pelanggan di minimarket ini menyelesaikan semua urusan mereka, pria berpenampilan necis itu bertanya pada Kamila.
"Permisi, apa saya bisa bertemu pemilik minimarket ini?"
"Iya, sebentar ya, Pak. Saya panggilkan dulu." Kamila berteriak memanggil Vina. Meski secara teknis, Kamila juga memiliki hak sebagai pemilik minimarket warisan mendiang ayahnya, tapi ia tidak mau merepotkan diri sendiri dengan meladeni pria berpenampilan necis di depannya.
Tak sampai lima menit Vuna pergi ke depan. Dengan wajah kesal ia menegur adiknya. "Kau itu tidak sopan sekali, sih, malu tau didengar orang!"
"Ya habisnya mau gimana. Masa kasir aku tinggal."
Vina menerima alasan yang masuk akal. Ya inilah kendala jika tidak memiliki pegawai. Bulan depan, rencanya Vina akan menambah dua karyawan di minimarketnya.
Dua minggu menjalankan usaha warisan sang ayah, Vina berhasil mengumpulkan laba bersih sekitar lima juta.
Melihat seorang pria berjas, Vina pun menunjukan senyum ramahnya. "Mau cari apa, Pak?"
"Ah, tidak, saya perwakilan dari Prayudha bank ingin membahas sesuatu dengan Anda."
"Baiklah."
Vina pun mengajak, pria tadi untuk naik ke lantai dua. Sesampainya di atas, Vina menyuruh pria itu duduk lesehan di lantai.
"Bapak mau minum apa?" tanya Vina
"Tidak usah, Bu. Saya hanya sebentar." Pria itu mengeluarkan sebuah berkas bermap kuning dari tas hitam mengkilap miliknya. "Maksud, kedatangan saya ke mari untuk membahas tunggangkan, hutang, Bapak Rudy di bank milik klien saya." Pria itu membuka dan menjelaskan secara detail masalah peminjaman uang.
"Dari total satu milyar yang dipinjam pak Rudy. Beliau hanya membayar sebesar 300 juta saja. Untuk sisanya Pak Rudy sudah menunggak selama tiga bulan."
Tubuh Vina terasa lemas, baru saja meniti puing-puing pasca ditinggalnya orang tua, kini masalah datang menghampiri.
"Jadi bagaimana, Pak. Apa artinya minimarket ini akan disita?"
"Karena dianggap tidak mampu membayar hutang, terpaksa Anda harus segera mengosongkan tempat ini."
"Bisakah saya, meminta waktu lagi untuk melunasi uang tujuh ratus juta, itu?" kata Vina meminta keringanan.
"Maaf, Bu, tapi saya tidak memiliki kuasa untuk memberikan waktu pada Ibu. Jika Anda mau, Ibu bisa bicara langsung dengan atasan saya."
"Ya, saya akan bicara dengannya," ucap Vina cepat. Kemudian pria berpenampilan necis itu menelpon atasannya. Ketika telponnya sudah tersambung, ia memberikan telpon itu pada Vina.
***
Dengan pakaian semi formal, Vina kini telah berada di depan, sebuah unit apartemen. Pemilik bank Prayudha grup menyuruh Vina untuk datang ke apartemennya. Sebelum menekan bel apartemen di depannya, gadis itu terlebih dahulu, menghela napas.
Cukup lama, akhirnya pintu unit apartemen itu dibuka juga oleh seseorang. Dan, betapa terkejutnya ia saat tahu seseorang itu adalah Arka Prayudha, lelaki yang dibencinya sampai ke tulang-tulang.
"K-kau?!" Vina langsung menunjukkan raut wajah tidak sukanya.
Arka memasang senyum angkuh. "Iya aku." Lelaki itu menggosok-gosok dagunya. "Mmm, sudah berapa lama kita tidak bertemu? Seminggu, dua minggu atau sebulan?"
"Entahlah," jawab Vina kesal. Gadis itu kembali melihat alamat yang dikirimkan kepadanya.
Melihat gelagat Vina, Arka pun membuka suara. "Kau tidak salah alamat. Aku adalah orang yang menyuruhmu untuk menemuiku, perihal hutang Bapak Rudy kepada bank milik perusahaan kami."
Vina membelalakkan matanya. Dari sekian banyak nama Prayudha di negeri ini, kenapa harus lelaki sombong di depannya ini yang menjadi pemilik Prayudha Bank.
"Kau harus menerima kalau akulah pemegang nasib minimarket-mu, Nona." Arka tersenyum miring. "Masuk!" perintah Arka. Vina menurut masuk.
Setelah Vina duduk, Arka dengan tulus menawarkan sebuah minuman untuk gadis itu. Namun, sayang ketulusan lelaki itu di tolak mentah-mentah. Lelaki itu tidak tersinggung. Ia duduk di bagian kursi lain.
"Langsung saja, ya. Saya ingin memohon padamu, agar memberi saya waktu untuk melunasi hutang," ucap Vina pongah.
Arka mendengkus dingin. Sikap angkuh Vina menggelitiknya. Entah dari mana gadis itu belajar meminta tolong dengan sikap angkuh seperti itu.
Seakan tidak mau kalah, Arka menyilangkan kakinya pongah. "Bahkan seekor anjing tidak akan menyalak pada orang yang akan menolongnya, tapi kau?" Pertanyaan retoris ditambah tatapan tajam yang ditujukannya pada Vina, membuat gadis itu sedikit merasa bersalah.
Vina berdehem. "Maafkan saya." Gadis berkulit putih gading itu menurunkan nada bicaranya. "Begini, saya mohon, agar Bapak memberikan waktu untuk melunasi sisa hutang pinjaman ayah saya."
Kepala Arka berangguk. "Baiklah, saya akan mengabulkan permintaan Anda." Ucapan Arka, seketika membuat senyum terbit di bibir Vina. "Saya beri waktu sampai lusa."
Senyum Vina hilang seketika. Ia mengerutkan keningnya. padahal ia sudah berniat untuk memaafkan Arka. "Bagaimana saya bisa melunasi hutang sebesar itu dalam waktu singkat?!"
Arka tersenyum seraya menggedikan bahu tak peduli. "Itu masalahmu. Jika keberatan, segera kosongkan tempat tersebut."
"Apa Anda tidak memiliki belas kasihan, Pak Arka Prayudha?!" tekan Vina menahan kesal.
"Aku sedang tidak ingin mengasihani orang saat ini." Ucapan pongah Arka sungguh membuat Vina tertohok. "Ah, atau begini saja. Bagaimana kalau kau menikah denganku?"
Vina mendengkus sebal. "Kau gila! Kau pikir aku mau menikahi lelaki jahat sepertimu?! Mimpi saja kau!" Gadis itu bangkit dan berjalan keluar dari unit apartemen Arka.
Sambil berjalan menuju lift, Vina berceloteh kecil tentang ketidak sudiannya menikah dengan Arka. Namun, tak berapa lama senyuman ayah Vina, tiba-tiba membayang di benaknya. Langkah gadis itu terhenti.
Di dalam unit apartemennya, Arka merasa resah karena senjata yang ia pikir ampuh, ternyata tidak sehebat itu untuk menjatuhkan harga diri seorang Vina. Bagaimana caranya menghadapi media. Mulutnya sudah terlanjur sesumbar dan pasti akan terasa memalukan jika ia berkata kalau rencana pernikahannya batal.
Ting tong ...
Masih dengan perasaan gusar, Arka melihat monitor untuk memastikan siapa yang menekan bel rumahnya. Ia tersenyum melihat sosok itu adalah Vina.
Sebelum membuka pintu Arka menengok pantulan bayangannya di cermin yang sengaja ia letakkan di ruang tamunya sebagai penghias.
"Kenapa kembali?" Seringai tercipta samar di bibir penuhnya.
Gadis itu merunduk, lalu berujar, "Baiklah, aku akan menerima tawaranmu untuk menikahiku."
"Kerja bagus. Jika memang ingin mempertahankan sesuatu kau harus rela berkorban," ucap Arka.
"Tapi kau serius untuk tidak menyita minimarket-ku, 'kan?"
"Hem, jika pernikahan kontrak kita berakhir dalam jangka waktu yang sudah di tetapkan, aku akan mengembalikan sertifikat minimarketmu," ucap Arka. "Besok datang lagi ke sini untuk menandatangani kontrak, mengerti?"
Vina mengangguk. Raut wajahnya menunjukkan keterpaksaan . "Kalau begitu aku pamit dulu."
Setelah sosok Vina menghilang, Arka masuk ke dalam apartemennya. Ia menelpon pengacara keluarga Prayudha company untuk membuatkan kontrak yang sesuai dengan apa yang ia kehendaki.
***
Ini adalah malam pertama bagi pasangan pengantin yang baru saja melaksanakan akad dan resepsi beberapa waktu yang lalu. Sebagai permulaan, Arka pun terpaksa menginap di rumah bibinya Vina, sebelum memboyong istrinya ke apartemen.
"Aku akan tidur di kasur dan kau tidur di lantai!"
Tentu saja perintah Arka langsung saja diperotes oleh Vina. "Enak saja. Aku ini seorang wanita, dan sudah seharusnya kau mengalah."
"Tidak!"
"Kau ini lelaki atau perempuan, hah?!" tanya Vina sengit.
"Kalau mata dan otakmu masih berfungsi dengan baik, tentu kau akan tahu aku ini lelaki."
"Ya sudah, kita tidur di ranjang yang sama saja." Vina memutuskan karena jengah dengan perdebatan yang terjadi di antara mereka.
"Heh, bagaimana kalau terjadi hal yang tidak diinginkan. Ingat di dalam kontrak, kita tidak boleh berhubungan suami istri," ujar Arka.
"Terus apa hubungannya dengan kita yang tidur seranjang?" Tak lama Vina tersenyum lebar. "Atau kau takut khilaf dan menyerangku, ya." Vina mengibas rambutnya dengan tangan. "Ya, harus kuakui, pesonaku memang tak tertahankan."
Meski pun yang di katakan Vina sedikit benar. Namun, Arka mengelak dengan mengatakan kalau ia sama sekali tidak bernafsu untuk menggauli Vina.
Vina tertohok mendengar perkataan Arka yang menyakiti harga dirinya sebagai wanita. "Ya sudah, bukankah itu bagus, jadi kita bisa tidur di ranjang yang sama, 'kan?!" ucapnya kesal.
Arka hanya diam dan mengambur ke atas tempat tidur. "Terserah kau saja," katanya kesal. Dalam hati, lelaki itu menambahkan, semoga ia tidak khilaf.
Melihat Arka yang telah berbaring di atas tempat tidur, Vina pun menyusul. Berada di atas peraduan yang sama dengan wanita cantik, membuat Arka merasa panas.
"Hey, hidupkan AC-nya."
"Sudah menyala, apa kau tidak bisa merasakannya?"
"Naikan lagi temparaturnya!"
"Lakukan sendiri. Aku ngantuk!"
Arka mendesis lalu beranjak untuk mengambil remote AC, kemudian menaikan tempaturnya.