Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.
Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.
Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.
Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.
“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.
Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 18. Calon Kakak ipar
Langit sore mulai menua. Jakarta belum juga kehabisan suara. Di lantai empat rumah sakit Erdem Medical, ruangan ganti perawat dipenuhi tawa kecil yang tak pernah gagal hadir setiap menjelang pergantian jadwal dinas.
Tari Nayaka baru saja menanggalkan seragam putih birunya. Tubuh mungilnya kini dibalut kaus hitam simpel yang dipadukan dengan jeans robek di lutut.
Sneakers putih dan gaya rambut boom style jadi pelengkap yang mencerminkan kepribadiannya yaitu santai tapi tetap mencuri perhatian.
Ia bercermin sebentar. Tak berlama-lama. Fokusnya segera beralih ke dua sahabatnya yang duduk santai di bangku panjang. Kiara sedang memainkan pita undangan, sementara Odelia sibuk menata kertas referensi warna seragam bridesmaid.
"Kalau gua maunya dusty green," ujar Odelia sambil menunjuk lembar contoh.
"Please, jangan dusty pink lagi. Udah kayak menu wajib di semua nikahan orang Jakarta," keluh Kiara.
Nayaka tertawa pelan. "Kalian berdua lebih heboh dari aku yang mau tunangan."
“Lah, kamu emang nggak deg-degan, Nay?” tanya Kiara.
“Lebih deg-degan nunggu hasil lab pasien Tuan Han dibanding itu,” sahut Nayaka sambil membuka notifikasi di ponselnya.
Satu pesan muncul di layar. Nomor asing. Kalimatnya singkat, tapi cukup mengubah alur sore itu.
> "Aku tunggu kamu di kafe sore ini. Aku tahu apa yang kamu lakukan dengan calon suamimu, dokter Arslan Han Mahardika."
Nayaka membaca pelan, lalu tersenyum kecil. Ada kilatan geli di matanya, bukan khawatir. Ia berdiri, meraih tas, lalu berkata, “Gue cabut duluan ya. Ada tamu dadakan.”
“Eh, jangan bikin masalah sebelum lamaran ya, Tari,” seru Odelia.
“Masalahnya datang sendiri, sayang,” imbuhnya sambil melambai.
---
Motor putihnya melaju di antara kemacetan ibu kota. Setiap tikungan dilalui cekatan, setiap lampu merah dianggap isyarat untuk berhenti sebentar, bukan alasan untuk mundur. Ia menyatu dengan jalan, seperti pembalap yang tahu arah tujuannya jelas, meskipun siapa yang menunggunya masih jadi misteri.
Begitu sampai di kafe, pandangannya langsung tertuju pada seorang perempuan yang duduk manis di kursi sudut. Gaun merah menyala, bahu terbuka, riasan mahal, dan sikap elegan yang terlalu dibuat-buat. Juwita Amanda. Perempuan yang pernah masuk ruangan direktur utama rumah sakit hanya demi satu hal: menggagalkan pertunangan Nayaka dan Arslan.
Tapi seperti biasa, Nayaka tak gentar. Ia melangkah mantap dan duduk tanpa banyak basa-basi.
“Aku datang. Jadi, siapa yang perlu diselamatkan hari ini?” tanyanya datar.
Juwita mendongak. Wajahnya cantik, tapi sorot matanya menyimpan niat yang tak ramah.
“Kamu tahu kan, Arslan itu impoten? Jadi, apa yang kamu kejar dari dia? Nama? Harta?” ujarnya tanpa basa-basi.
Nayaka mengangkat alis. Tidak kaget. Ia sudah menduga arah obrolan ini.
“Kamu bisa lebih kreatif nggak? Topik ini basi,” jawabnya santai.
Juwita menyandarkan punggung, menatap Nayaka penuh penilaian. “Kalau kamu mau, aku bisa gantiin semuanya. Mobil, apartemen, bahkan jabatan di rumah sakit. Kamu tinggal bilang, Nay.”
“Lucu juga. Kamu pikir aku tuh murahan ya? Bisa disogok cuma karena kamu kehabisan cara?” sahut Nayaka sambil tertawa kecil.
Juwita mencondongkan badan. Suaranya rendah, tapi tajam. “Aku dan Arslan... sudah pernah tidur bareng.”
Ada jeda di udara. Tapi Nayaka tidak panik, tidak juga marah.
Ia malah bertepuk tangan pelan, nadanya sinis tapi tetap anggun. “Wah, plot twist-nya klasik banget. Sayang, naskah kamu jelek.”
Juwita menggigit bibir. “Aku serius.”
“Dan aku pura-pura percaya,” ucap Nayaka, lalu tersenyum manis, “Tapi bohong.”
Juwita terdiam. Kata-kata itu menghantam lebih telak dari makian.
“Aku bukan cewek polos yang gampang dicekik gosip. Dan Arslan bukan tipe laki-laki yang sembarangan bawa perempuan ke ranjang. Dia terlalu kaku buat itu. Terlalu disiplin buat skandal. Dan yang paling penting, terlalu setia buat dibohongi," lanjut Nayaka.
Nada bicaranya tidak meninggi, tapi setiap kata terasa seperti peluru.
“Kalau kamu beneran punya cerita nyata, kamu nggak perlu undang aku ke sini. Kamu tinggal kasih bukti, bukan drama,” ucapnya lagi sambil berdiri.
Tatapannya mengunci wajah Juwita yang mulai kehilangan arah. “Pertunanganku tetap jalan. Dan kamu tetap sendirian. Jadi nikmati rasa itu, ya.”
Langkah Nayaka meninggalkan kafe tanpa menoleh. Motor putihnya menunggu, sama seperti laki-laki pendiam yang dua hari lagi akan menyematkan cincin di jarinya bukan karena dunia mendukung, tapi karena mereka saling memilih, bahkan saat tak satupun orang mengerti alasan mereka.
Malam baru turun separuh saat suara knalpot menderu memecah jalanan kota. Di atas motor sport warna putih metalik, sosok perempuan dengan jaket oversize dan helm setengah terbuka itu melaju ugal-ugalan, seolah lintasan di depannya adalah sirkuit pribadi. Rambut panjangnya yang terikat kuncir kuda bergoyang mengikuti arah angin.
Tari Nayaka.
Bar-bar sejak lahir. Lincah sejak balita. Nekat sejak cinta pertama. Dan malam ini, semua sifat itu tumpah ruah di jalan layang Kuningan yang lengang.
“Hah! Mau ngebut? Sini, sini! Adu nyali sama anak perawat!” serunya sambil menyalip dua pengendara lain, lalu tertawa sendiri di balik helmnya.
Di ujung lampu merah, lampu rotator tiba-tiba menyala di belakang. Suara sirine ikut menyalak. Satu motor polisi mendekat cepat. Helm putihnya mantap, tubuh tegapnya teguh di atas motor dinas.
“WOY! BERHENTI! BALAPAN LIAR ITU MELANGGAR HUKUM!” teriak polisi itu lewat megafon motornya.
Alih-alih takut, Nayaka malah menoleh sebentar, lalu membentuk huruf "peace" dengan dua jarinya.
“Kejar kalau bisa, Pak Polisi,” ucapnya, senyum nakalnya tertahan di balik visor.
Detik berikutnya, mereka resmi balapan. Jalanan kosong jadi panggung dua motor, satu liar dan satu berseragam. Kejar-kejaran melewati flyover, turunan Sudirman, sampai bundaran HI. Layaknya dua pembalap sirkuit malam, tapi tanpa penonton.
Hingga akhirnya, di jalanan sempit dekat Setiabudi, Nayaka berhenti mendadak. Ban motornya berdecit. Polisi itu juga menepikan motornya, membuka helmnya dengan wajah geram.
“Gila kamu! Tau nggak itu bisa nabrak orang?” serunya sambil jalan cepat mendekati Nayaka.
Nayaka melepas helm perlahan. Rambutnya tergerai. Senyum sinisnya muncul.
“Eh, bukannya kita pernah ketemu di GBK waktu nobar bola? Indonesia lawan Vietnam, kan?” ujarnya santai tanpa dosa.
Polisi itu mendadak diam. Matanya menelisik wajah di depannya terkesan lama seolah mengingat sesuatu.
“Tari Nayaka?” katanya lirih. Wajahnya yang tadi penuh marah berubah setengah syok, setengah kagum.
“Yap. Calon istrinya dokter Arslan Han Mahardika,” Nayaka menjawab sambil mencondongkan badan. “Kamu sepupunya dia, kan?”
Polisi itu mengangguk pelan. Tersungging senyum miris di sudut bibirnya. “Audra Elzhar. Polisi. Dan pemuja kakakmu, dokter Aylara yang masih gagal move on dari mantan tunangannya.”
Nayaka menaikkan satu alis. “Gila. Dunia tuh kecil ya. Aku ngegas ugal-ugalan, yang nangkep ternyata keluarga calon suami dan fans berat kakak kandungku sendiri.”
Audra mendesah. “Ini serius. Kamu bisa kena tilang, atau...”
“Atau apa?” potong Nayaka cepat.
Audra mengangkat tangan. “Atau... aku pura-pura nggak lihat asal kamu janji nggak balapan lagi.”
Nayaka melipat tangan di dada, lalu mencondongkan wajahnya lagi, lebih dekat. “Atau kamu ngaku deh, sebenarnya kamu suka lihat aku tadi nge-drift, kan?”
Audra membuang muka. “Aku polisi, bukan penonton MotoGP,” ucapnya datar, tapi kupingnya memerah.
Nayaka tertawa keras. “Santai, Bang. Aku memang nakal, tapi nggak ngawur. Aku balapan karena emosi. Arslan lagi dingin-dinginnya. Udah kayak kulkas dua pintu.”
“Dia memang gitu. Perfeksionis,” gumam Audra sambil mengangguk.
“Lebih kayak robot ketimbang manusia,” imbuh Nayaka.
Audra memandangnya sekilas. “Tapi kamu cinta?”
“Banget,” ujar Nayaka mantap. “Dingin-dingin gitu, tetap bikin aku pengen manasin terus.”
Keduanya terdiam sejenak. Lampu jalan berkedip pelan. Suasana jadi sepi. Hanya ada satu motor polisi dan satu motor sport parkir berdampingan.
Audra akhirnya bersuara. “Kalau kamu bisa bikin Arslan berubah, mungkin kakakmu juga masih bisa percaya cinta lagi.”
Nayaka menghela napas. “Semoga. Tapi kadang yang patah hati itu bukan butuh cinta baru. Cuma butuh seseorang yang bilang, ‘nggak apa-apa, loh, kalau masih sakit.’”
Audra mengangguk perlahan.
Mereka tidak berkata apa-apa lagi. Dua orang dari dunia berbeda, terhubung oleh cinta yang sama-sama rumit. Dunia memang aneh.
Kadang yang dikejar ternyata malah keluarga. Dan yang dikejar cinta, malah nggak bisa diberhentikan walau pakai sirine polisi.