Bagaimana jadinya jika kamu menjadi anak tunggal perempuan di dalam keluarga yang memiliki 6 saudara laki-laki?
Yah, inilah yang dirasakan oleh Satu Putri Princes Permata Berharga. Namanya rumit, ya sama seperti perjuangan Abdul dan Marti yang menginginkan anak perempuan.
Ikuti kisah seru Satu Putri Princes Permata Berharga bersama dengan keenam saudara laki-lakinya yang memiliki karakter berbeda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurcahyani Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Kembar
Suara tangisan bayi terdengar saling bersahutan di dalam ruang kamar milik Marti. Ia hanya terdiam dengan mimik wajah datar, tak ada sedikit inisiatif untuk menghentikan suara tangisan itu.
Tubuh kedua bayi itu memerah kaki dan tangannya bergerak-gerak sementara Marti masih terdiam. kedua Indra penglihatannya nampak kosong. Tubuhnya ada di sini akan tetapi pikirannya entah ke mana, pergi ke suatu tempat di mana ia tidak mendapatkannya di sini.
Satu minggu yang lalu ia telah berhasil melahirkan bayi kembarnya di ruangan bersalin, tempat yang sama di mana ia pernah melahirkan kedua putranya itu, Pratama dan Pradu.
Di pikiran Marti selalu terlintas sebuah kalimat, jika saja putra kembarnya ini adalah perempuan mungkin ia akan sangat bahagia. Memiliki dua putri kembar tentu saja akan membuatnya menjadikan kehamilan yang kemarin adalah yang terakhir. Kalau perlu tutup kandungan saja.
Tapi entah mengapa keberuntungan tidak berpihak kepadanya dan malah mendapatkan anak laki-laki lagi dan lagi.
"Loh, ibu kok anaknya nangis tapi dilihat saja?"
"kalau nangis-nangis terus nanti bisa sakit," sambung Abdul yang dengan cepat berlari masuk ke dalam kamar.
Abdul menghampiri putra kembarnya yang masih menangis. Ia menepuk-nepuk kedua bayi mungilnya itu berusaha untuk menghentikan suara tangisan yang membuatnya berhasil meninggalkan Pratama dan Pradu di dapur yang sedang ia beri makan.
Abdul sudah berteriak beberapa kali memanggil istrinya mengingatkan bahwa putra kembarnya itu sedang menangis tetapi tak ada sedikitpun sahutan yang ia dengar dari Marti jadi terpaksa Abdul yang harus turun tangan.
Kedua tangannya masih menepuk-nepuk tubuh mungil si kembar sembari tersenyum bahagia. Dua jagoan kembar, lucu sekali. Sebenarnya ia ingin menggendong putra-putra kembarnya itu tetapi tak tahu harus mengambil yang mana, semuanya menangis.
Abdul tertawa kecil. Bayi kembar mereka ini sangat unik. Wajah mereka yang mungil itu terlihat sangat persis bahkan bisa dikatakan kembar seiras sehingga Abdul sampai tidak bisa membedakannya dulu.
Namun seiring waktu Abdul bisa membedakan mereka, tidak banyak hanya.satu yaitu keaktifan tubuh mereka saat bergerak. Yah, ini fakta dan Abdul sudah memperhatikan hal itu.
Praga Putra atau memiliki arti putra ketiga yang lahir lebih dulu, kalau tidak salah 5 menit sebelum putra keempatnya lahir yang diberi nama Prapat Putra.
Praga lebih sering menangis dibandingkan dengan Prapat bahkan tubuh Praga lebih lincah bergerak dibandingkan oleh Prapat. Abdul juga bingung atau mungkin itu sifat mereka tapi untung saja itu menjadi ciri khas jadi Abdul bisa membedakannya.
"Ibu!" panggil Abdul lagi. Entah yang kesekian kalinya Abdul memanggil.
Marti tak menghiraukan ia bangkit dari duduknya lalu menyandarkan kepalanya di kayu jendela menatap beberapa lemari-lemari serta kayu yang tersusun sedikit berantakan. Satu minggu yang lalu Abdul jarang melanjutkan pekerjaannya karena sibuk mengurus kedua putra kembarnya itu.
Setelah Marti melahirkan Abdul memang membatasi pesanan lemari atau kursi. Itu semua ia lakukan untuk membantu Marti merawat bayi baru mereka.
"Ibu kecewa."
"Kecewa kenapa?"
Marti menoleh menatap suaminya yang masih berusaha untuk menghentikan suara tangisan kecil yang tak pernah direspon oleh Marti.
"Sudah 4 kali ibu hamil tapi satu perempuan pun tidak Ibu dapatkan."
Ah itu lagi. Entah sudah berapa kalimat sama yang Abdul dengar dari mulut istrinya itu. Setiap hari istrinya selalu mengatakan hal yang sama dan semuanya serba keluhan.
"Ayolah Bu! Jangan terus dipikirkan dan jalani saja sekarang dan terima apa yang ada."
Marti mendengus dengan raut wajah kesalnya, tak terima dengan kalimat Abdul.
"Bapak gampang ngomongnya tapi aku yang tersiksa!!!" teriaknya membuat kedua mata Abdul membulat.
"Tersiksa kamu bilang?"
Kesabaran sudah habis. Abdul bangkit dari tempat duduknya meninggalkan kedua bayi yang masih menangis itu.
"Kamu hanya tersiksa saat mengandung dan melahirkan tapi aku-"
Kalimat Abdul tertahan sejenak seakan tak ingin melanjutkan kalimatnya lagi.
"Tapi apa?" tantang Marti yang juga ikut terpancing emosi.
Bibir Abdul bergetar penuh amarah. Yah, amarah yang telah bertahun-tahun ia tahan selama ini.
"A-aku yang merawat keempat anak kita selama ini, Bu bukan kamu!!!" teriak Abdul.
Marti terdiam.
"Kamu terlalu sibuk pada keinginanmu yang ingin punya anak perempuan. Waktumu hanya habis melamun dan menatap baju pink perempuan yang kamu sebut imut."
"Satu anak perempuan telah merebut hak kasih sayang yang seharusnya didapatkan oleh keempat anak kita yang sekarang jelas-jelas ada kehadirannya di dalam rumah ini."
"Selama ini keempat anak kita cuman aku yang rawat, hanya aku."
Abdul menunjuk ke arah wajahnya dengan rasa penuh kekesalan. Rasanya ia ingin menangis tapi malu rasanya.
"Dari anak kita bangun sampai tidur lagi semuanya aku yang urus."
"Bahkan kamu sekarang tidak ingin menyusui anak kembar kita Praga dan Prapat," sambungnya dengan mata yang berkaca-kaca, ingin menangis. Kali ini kesedihannya tak lagi bisa ia tahan.
"Selama lima tahun ini kamu ke mana?"
"Hah?!!"
"Kamu hanya sibuk dengan pikiranmu sendiri tanpa memikirkan anak-anak kita dan juga aku!!!" teriaknya lagi.
Marti seketika tertunduk, ucapan suaminya itu memang ada benarnya. Selama ini suaminya lah yang selalu merawat keempat anaknya itu tanpa pernah mengeluh kepadanya.
"Anak-anaknya tidak salah dan tolong jangan hukum mereka dengan keegoisan kamu!"
Suara Abdul merendah dan terdengar terdengar bergetar. Selama ini kalimat inilah yang ia ingin ucapkan pada istrinya.
"Tapi aku mau anak perempuan!!!" teriak Marti melawan.
"Aku tau ta-"
"Bapak!" suara Pratama terdengar membuat Abdul dan Marti menoleh secara bersamaan.
Anak gentong itu nampak memegang gagang pintu serta piring kosong di tangan gendutnya.
"Apa nak?" tanya Abdul yang memelankan suaranya. Ia tidak ingin jika putranya itu mendengar suara keras dari mulutnya.
"Lapar," jawab Pratama.
Abdul tersenyum walau sebenarnya masih banyak yang ia ingin utarakan kepada istrinya itu. Ia mendekati Pratama meraih piring dan menggenggam jemari gendut berniat untuk membimbing anak itu ke dapur berniat untuk meninggalkan ruangan kamar.
Langkah Abdul terhenti tanpa menoleh ia berujar, "Percayalah Bu suatu saat nanti kita juga akan mendapatkan anak perempuan."
"Tuhan yang akan mengaturnya," sambungnya lagi.
Marti menghela nafas panjang mencerna kalimat suaminya itu hingga saat ia kembali menoleh setelah beberapa detik terdiam. Abdul sudah pergi.
Apakah ia sudah terlalu keterlaluan selama ini?
Suara tangisan bayi kembarnya itu menyadarkan Marti dari lamunannya. Dengan cepat ia mengusap pipinya yang basah, rupanya ia menangis. Marti berlari kecil menghampiri dua putranya yang masih menangis.
"Apapun yang terjadi pokoknya harus ada anak perempuan di dalam rumah ini."
Seru juga bacanya