Di Kekaisaran Siu, Pangeran Siu Wang Ji berpura-pura bodoh demi membongkar kejahatan selir ayahnya.
Di Kekaisaran Bai, Putri Bai Xue Yi yang lemah berubah jadi sosok barbar setelah arwah agen modern masuk ke tubuhnya.
Takdir mempertemukan keduanya—pangeran licik yang pura-pura polos dan putri “baru” yang cerdas serta berani.
Dari pertemuan kocak lahirlah persahabatan, cinta, dan keberanian untuk melawan intrik istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Di ruang bawah tanah, Wang Ji kembali bertemu pasukan bayangannya.
“Tuanku,” laporan salah satu mata-mata, “kami menemukan bukti bahwa keluarga Menteri Ma menimbun gandum di gudang rahasia. Mereka sengaja membuat rakyat kelaparan agar bisa menjual dengan harga tinggi.”
Wang Ji mengepalkan tangan. “Keji! Mereka rela mengorbankan rakyat hanya demi kekuasaan.”
Jian bertanya, “Apa yang harus kami lakukan?”
Wang Ji berjalan perlahan, menatap satu per satu prajurit bayangannya.
“Kita tidak boleh gegabah. Jika kita menyerang langsung, mereka akan menuduhku mencari masalah. Kita harus memukul saat semua mata tertuju pada mereka.”
Ia menatap peta besar yang terbentang di meja.
“Waktu terbaik adalah saat festival panen. Semua pejabat dan keluarga istana akan berkumpul. Saat itulah kita bongkar semua bukti.”
Luo menunduk. “Baik, Tuanku. Kami akan mempersiapkan segalanya.”
Wang Ji tersenyum dingin. “Sampai saat itu, aku akan tetap menjadi anak kecil di mata mereka. Biarkan mereka lengah.”
----
Sementara di negeri Bai, Bai Xue Yi mulai menguatkan tubuhnya setiap hari. Ia berlatih berjalan lebih jauh, membaca buku strategi, bahkan diam-diam melatih bela diri ringan bersama Lan Er.
Lan Er sering cemas. “Putri, bagaimana jika ada yang melihat Anda berlatih seperti laki-laki?”
Xue Yi tertawa kecil. “Kalau begitu, kita bilang saja aku sedang senam agar sehat. Lagi pula, bukankah putri yang kuat lebih baik daripada putri yang hanya menunggu mati?”
Di lubuk hati, Xue Yi mulai penasaran dengan nama Pangeran Siu Wang Ji yang beberapa kali disebut ayahandanya. Katanya pangeran itu bodoh. Tapi mengapa aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan?
----
Di istana Siu, Wang Ji berdiri di balkon, menatap bulan penuh.
“Bulan… saksikanlah. Aku mungkin terlihat seperti bocah tolol. Tapi suatu hari, dunia akan tahu siapa sebenarnya Siu Wang Ji.”
Di istana Bai, Xue Yi juga menatap bulan yang sama, menggenggam kipasnya erat.
“Bulan… aku berjanji tidak akan lagi menjadi boneka. Mulai sekarang, aku akan menulis takdirku sendiri.”
Dua sosok, dua negeri, namun takdir mereka perlahan mulai ditarik oleh benang yang sama.
Keesokan harinya, angin pagi bertiup lembut dari jendela kamar Putri Bai Xue Yi. Tirai sutra berwarna biru muda berayun perlahan, memantulkan sinar matahari yang baru muncul. Xue Yi sedang duduk di meja rias, rambut hitam panjangnya dijalin sederhana oleh Lan Er.
“Putri, hari ini wajah Anda tampak lebih segar,” kata Lan Er dengan senyum lega.
Xue Yi menatap pantulan dirinya di cermin perunggu. “Hampir sebulan aku terbangun, Lan Er. Jika aku masih terlihat pucat, itu artinya aku lemah. Aku tidak mau lagi terlihat seperti boneka rapuh.”
Lan Er menunduk, namun matanya berbinar penuh semangat. “Saya akan membantu Putri untuk semakin kuat.”
Xue Yi tersenyum kecil, lalu menoleh ke arah ranjang besar di ujung ruangan. Biasanya Mei Hua selalu sibuk di sekitar sana, mengatur bunga, menyusun bantal, atau sekadar memberi laporan kecil. Namun beberapa hari belakangan, bayangan Mei Hua jarang terlihat.
“Kau perhatikan sesuatu, Lan Er?” tanya Xue Yi pelan.
Lan Er berhenti sejenak. “Tentang apa, Putri?”
“Mei Hua.” Suara Xue Yi merendah, tapi tajam. “Dulu dia tak pernah meninggalkan sisiku. Sekarang, ia sering beralasan sibuk, katanya mengurus arsip kecil dari ibu suri. Namun aku tidak pernah lihat hasilnya.”
Lan Er menggigit bibir. “Saya juga merasa aneh, Putri. Dia kan sudah lama menjadi dayang pribadi Anda.”
Xue Yi menyilangkan tangan di dada, tatapannya penuh kalkulasi. “Justru karena dia dayang pribadiku. Jika dia berpura-pura sibuk, berarti dia sedang merencanakan sesuatu. Aku tidak akan menuduhnya sembarangan. Maka dari itu, Lan Er—” ia mencondongkan tubuh, berbisik, “—mulai malam ini, awasi setiap langkahnya. Jangan sampai dia tahu kau mengikutinya.”
Lan Er terkejut, lalu mengangguk tegas. “Baik, Putri. Saya akan melakukannya.”
Xue Yi menghela napas panjang. “Mulai sekarang, kita harus belajar mempermainkan mereka, sama seperti mereka mempermainkanku.”
----
Pangeran Siu Wang Ji sedang duduk bersila di lantai, memainkan batu go. Dari luar, tampak seperti anak kecil yang tidak paham aturan. Batu hitam dan putih ia letakkan sembarangan, membuat pelayan yang lewat menggeleng kepala.
Namun di seberang papan go, Luo berjongkok, pura-pura menjadi lawan. Batu-batu itu sebenarnya bukan sekadar permainan, melainkan penanda strategi militer.
“Tuanku, laporan terbaru dari tim bayangan,” bisik Luo. Ia menaruh batu hitam di sudut papan, lalu menunduk. “Menteri Liang sedang mengirim anak buahnya ke wilayah selatan. Mereka membawa uang perak dalam jumlah besar, mungkin untuk membeli dukungan militer.”
Wang Ji menaruh batu putih di tengah papan. “Mereka ingin membangun kekuatan rahasia. Jika benar, maka pemberontakan kecil bisa saja terjadi dalam dua atau tiga tahun.”
Jian yang berdiri di dekat pintu menambahkan, “Tapi, Tuanku… rakyat hanya melihat Anda bermain go seperti anak kecil. Mereka semakin percaya Anda tolol.”
Wang Ji tersenyum samar, matanya berkilat. “Bagus. Semakin mereka yakin aku tidak berguna, semakin bebas aku bergerak. Ingat, Luo, Jian senjata paling tajam bukanlah pedang, melainkan waktu.”
---
Siang itu, Xue Yi berjalan di taman bunga teratai bersama Lan Er. Tubuhnya masih belum sepenuhnya pulih, namun setiap langkah ia paksakan dengan percaya diri.
Dari kejauhan, Mei Hua muncul dengan senyum hangat, membawa nampan teh. “Putri, ini teh melati segar. Katanya baik untuk pemulihan.”
Xue Yi menerima cangkirnya, menatap Mei Hua dengan senyum tenang. “Terima kasih, Mei Hua. Kau selalu perhatian.”
Namun, di balik senyum itu, matanya dingin. Ia perhatikan jari-jari Mei Hua bergetar sedikit saat menuang teh.
“Lan Er,” bisik Xue Yi setelah Mei Hua pergi, “ingat, mulai malam ini kau ikuti dia. Jangan terlalu dekat, tapi jangan sampai hilang jejak.”
Lan Er menunduk. “Baik, Putri.”
Xue Yi menatap bunga teratai yang mengapung di permukaan air. "Jika memang kau berkhianat, Mei Hua… aku sendiri yang akan memetikmu dari akarnya."
----
Siu Rong sedang berlatih pedang dengan penuh semangat, dikelilingi para pemuda bangsawan yang memuji. “Lihat, gerakan Pangeran Rong cepat sekali!”
Di sudut, Wang Ji duduk di rumput, memegang batang rumput panjang dan menghisapnya seperti anak kecil.
“Kakak, mau lihat? Ini jurus baruku,” seru Rong, sengaja memamerkan.
Wang Ji berdiri, tertawa. “Wahhh, hebat sekali, Kakak Rong! Aku juga mau coba.” Ia lalu mengayunkan pedang latihan secara konyol, hampir mengenai pelayan sendiri. Semua orang tertawa.
“Pangeran besar memang bodoh,” bisik salah satu pemuda.
Namun ketika semua sibuk menertawakan, Wang Ji mencuri pandang ke arah jenderal Xun yang sedang mengawasi latihan. Dengan gerakan kecil, ia memberikan kode tangan rahasia. Jenderal itu menunduk seolah memberi salam, padahal membalas kode.
Dalam hati Wang Ji bergumam, Aku sudah tahu siapa yang diam-diam mendukungku. Waktunya belum tiba, tapi saat kesempatan datang, aku tidak akan ragu.
Bersambung