Oliver Alexander, pewaris tunggal keluarga kaya raya, hidupnya penuh dengan pesta, wanita, dan gemerlap dunia malam. Baginya, cinta hanyalah permainan, dan wanita hanyalah koleksi yang berganti setiap saat. Namun, gaya hidupnya yang semakin tak terkendali membuat sang ayah geram.
Sebagai hukuman sekaligus peringatan, Oliver dipaksa turun tangan mengurus salah satu pabrik keluarga di desa terpencil. Awalnya ia menolak, tapi ancaman kehilangan segalanya membuatnya tak punya pilihan.
Di sanalah ia bertemu Laras Maya, gadis desa sederhana yang polos, lugu, bahkan terlihat norak di matanya. Dunia mereka begitu berbeda, bagaikan langit dan bumi. Tapi semakin lama, Oliver justru menemukan sesuatu yang tak pernah ia rasakan dari wanita-wanita cantik di kota, yaitu ketulusan.
Laras yang apa adanya perlahan meruntuhkan tembok arogan Oliver. Dari sekadar kewajiban, hari-harinya di desa berubah menjadi perjalanan menemukan arti cinta dan hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ke Ladang Para Petani
Oliver Alexander memejamkan mata duduk santai di ruang kerjanya. Beberapa hari ini terasa sangat membosankan, rutinitas ini sungguh bukanlah gayanya. Papanya terlalu berlebihan mengirimnya ke desa ini.
Namun, ketenangannya tidak berlangsung lama.
“Pak Oliver,” suara Roni, asistennya masuk ke dalam ruangan. “Tadi ada pesan dari Pak Brata. Beliau ingin Anda ikut langsung meninjau panen tebu milik petani yang jadi pemasok utama pabrik.”
Oliver mendongak, alisnya bertaut. “Apa? Panen tebu?” Ia tertawa kering, sinis. “Aku ini direktur, Roni. Masa harus melihat petani memotong batang-batang kotor itu? Itu kerjaan mandor, bukan aku.”
Roni tetap tenang. “Saya mengerti, Pak. Tapi pesan dari Pak Brata jelas. Beliau ingin Anda sendiri hadir dan tidak ada bantahan. Katanya, kehadiran pewaris perusahaan akan membangun kepercayaan para petani.”
Oliver mengangkat tangannya, seolah menepis. “Omong kosong, petani itu hanya butuh uang dari hasil panennya. Mereka tidak peduli siapa yang datang. Kenapa aku harus meluangkan waktuku buat lumpur, debu, dan orang-orang bau keringat?”
Nada suaranya penuh jijik.
Roni tidak bergeming. Ia meletakkan sebuah map di meja Oliver. “Pak, saya harus sampaikan apa adanya. Pak Brata bilang, semua kegiatan Anda di sini sedang diawasi. Jika Anda menolak, laporan ini akan langsung sampai pada beliau.”
Kening Oliver berkerut, amarahnya jelas terlihat. Ia benci dikendalikan. Ia benci diatur, apalagi oleh ayahnya sendiri.
Namun di satu sisi, ia tahu tidak ada pilihan. Jika ayahnya menganggap ia tak sanggup mengurus satu pabrik, bagaimana mungkin ia akan dipercaya untuk memimpin perusahaan besar kelak?
Oliver mengembuskan napas kasar. “Baiklah, kita lihat panen sialan itu. Tapi aku tidak akan berlama-lama di sana.”
Beberapa jam kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di tepi ladang luas. Dari dalamnya, Oliver turun dengan wajah masam. Udara panas bercampur bau tanah dan batang tebu yang baru ditebang membuat hidungnya gatal. Di depannya, puluhan petani sibuk memotong batang tebu, mengikatnya, lalu menumpuk ke gerobak. Keringat mengalir deras di wajah mereka, baju lusuh basah menempel di tubuh. Namun, senyum ramah tetap terukir ketika mereka melihat rombongan pabrik datang.
“Selamat siang, Pak,” sapa salah satu petani dengan sopan.
Oliver hanya mengangguk singkat, tangannya dimasukkan ke saku. Ia berdiri sedikit menjauh, berusaha tidak terlalu dekat dengan batang-batang tebu yang penuh tanah.
Roni sebaliknya, dengan ramah menjabat tangan para petani. “Kami datang untuk melihat langsung hasil panen. Terima kasih sudah bekerja keras.”
Para petani tampak lega. Kehadiran orang pabrik membuat mereka merasa dihargai.
Oliver melirik jam tangannya. Dalam hati ia mengutuk. Lama sekali ini semua, seharusnya sekarang aku duduk nyaman di ruang ber-AC sambil minum kopi, bukan menghirup bau keringat.
Oliver spontan menutup hidungnya pelan ketika seorang petani lewat, kausnya basah oleh keringat yang menetes deras. Bau keringat bercampur tanah dan panas matahari menusuk hidungnya.
“Ya Tuhan… beginikah tiap hari mereka? Lengket, bau, penuh lumpur…” gumamnya dalam hati.
Di saat yang sama, ia melirik Roni yang tampak biasa saja bercampur dengan para petani, bahkan sesekali menepuk bahu mereka sambil tersenyum ramah. Kontras itu makin membuat Oliver merasa salah tempat.
Tiba-tiba suasana ladang berubah. Beberapa petani berseru riang.
“Laras datang!”
Oliver menoleh, keningnya berkerut.
Seorang gadis muda berlari kecil mendekat sambil membawa bungkusan besar di tangannya. Senyumnya merekah, rambutnya yang dikuncir sederhana bergoyang mengikuti langkah. Pakaian sederhana yang ia kenakan terlihat bersih, meski jelas bukan barang mahal.
“Bapak, Laras bawain makan siang!” serunya ceria kepada seorang lelaki paruh baya yang ternyata ayahnya, Pak Hasan.
Para petani lain ikut bersorak gembira. Mereka sudah terbiasa dengan kehadiran Laras Maya. Gadis itu selalu membawa keceriaan ke ladang, seolah panas terik pun tak ada artinya jika ia hadir.
Oliver membeku sejenak. Wajah itu… gadis kampung yang beberapa hari lalu menolongnya, membuatnya jatuh ke lumpur, lalu menyeretnya dengan motor butut.
Laras pun menyadarinya. Matanya membesar, lalu dengan polos ia melambaikan tangan. “Eh, Om Oliver! Kok ada di sini juga?”
Oliver mendengus kecil. Astaga… Bisa-bisanya aku ketemu lagi sama gadis norak ini.
Laras tidak sadar dengan wajah masam Oliver. Ia sibuk membuka bungkusan makanannya, mengeluarkan nasi hangat, sayur asem, tempe goreng, dan sambal terasi. Aroma masakan sederhana itu langsung menyebar, membuat beberapa pekerja yang sedang lelah tersenyum lebar.
“Bapak, makan dulu mumpung makanannya masih hangat,” ucap Laras sambil menarik tangan ayahnya.
Setelah itu tanpa rasa sungkan, ia menoleh ke arah rombongan pabrik. “Om-Om dari pabrik pasti juga lapar ya? Saya bawa banyak, mari makan bareng.”
Oliver mendelik. Apa-apaan gadis ini? Menawarkan makanan kampung kepada kami? Pede banget.
Tapi sebelum ia sempat menolak, Roni sudah tersenyum ramah. “Wah, terima kasih, Dek. Baunya enak sekali.” Ia menerima sebungkus nasi dan langsung duduk bersama petani lain.
Beberapa staf pabrik ikut-ikutan. Mereka tampak senang sekali, bahkan memuji masakan Laras. “Waduh, tempenya renyah, enak banget. Sambalnya juga pas, mantap.”
Laras tertawa kecil, pipinya memerah karena dipuji. “Ah, itu cuma masakan sederhana kok, Om.”
Oliver hanya berdiri kaku. Tangannya terkepal di saku celana. Dalam hati ia terbakar, sungguh menyebalkan. Stafku dengan santainya duduk di tanah, makan nasi bungkus murahan, seolah itu makanan hotel bintang lima. Dan gadis ini… kenapa semua orang begitu terpesona dengan kepolosannya?
Laras menoleh padanya, tersenyum tulus. “Om Oliver nggak makan juga? Makanannya masih banyak loh.”
Oliver menatapnya dingin. “Tidak! aku tidak makan makanan seperti itu.”
Keheningan sempat turun. Roni menatap para petani tidak enak. Tapi Laras hanya mengangguk polos, sama sekali tidak tersinggung. “Oh, gitu ya Om. Kalau nggak biasa memang suka kaget. Gapapa, lebih baik buat yang lain saja.”
Karena ucapan Laras, suasana cair kembali. Mereka bercengkrama dan tertawa bersama. Sementara Oliver merasa makin terasing.
Setelah selesai meninjau dan rombongan bersiap pulang, Oliver masuk ke mobil dengan wajah masam. Roni ikut duduk di samping, tampak puas.
“Kunjungan kali ini sukses, Pak. Petani merasa dihargai, dan hubungan pabrik dengan mereka jadi lebih akrab.”
Oliver mendengus kasar. “Sukses? Aku lihat kalian semua seperti lupa diri. Duduk di tanah, makan nasi bungkus kampung, tertawa-tawa seolah itu pesta. Itu bukan caraku.”
Roni hanya tersenyum tipis. “Tapi itu caranya Papa Anda, Pak. Beliau pasti senang mendengar laporan hari ini.”
Oliver menutup mata, menahan jengkel. Hari ini lagi-lagi ia merasa kalah. Dan yang paling membuatnya muak, di balik semua kejadian itu ada wajah gadis kampung polos yang masih terbayang jelas.
“Brengsek, bukannya menghabiskan malam bersama gadis cantik aku malah selalu dipertemukan dengan gadis udik itu.” Gumamnya saat mobil melaju meninggalkan ladang.
jasngan gengsi aja di gedein 😀😀😀
ntar bucin tingkat Dewa, kluudahcinta 😀😀😀