NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / CEO / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu / Duda / Balas Dendam
Popularitas:10.9k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

30. Tamu di Rumah Lama

Di kantor polisi, John duduk dengan wajah babak belur di depan penyelidik. Damian baru saja menyeretnya ke tempat itu dan memberinya beberapa pukulan terakhir sebelum menyerahkannya ke pihak berwajib.

Sebenarnya, kalau bukan karena Elena yang menahannya, mungkin John sekarang sudah tidak bernyawa lagi.

Saat mereka keluar dari kantor polisi, Damian masih terlihat marah. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal kuat.

“Andai saja kau tidak menghentikanku,” ucap Damian dengan nada berat, “Bajingan itu pasti sudah mati.”

Elena memegang lengan Damian dengan lembut, mencoba menenangkan.

“Om, sudah kubilang aku tidak apa-apa. Jadi lupakan semuanya, ya?”

Damian menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Tatapannya masih tajam, tapi perlahan melunak saat melihat wajah Elena yang berusaha tersenyum.

Ia akhirnya mengangguk, “Baiklah.”

Mereka pun berjalan menuju mobil yang terparkir di depan kantor polisi. Pria itu membuka pintu untuk Elena, memastikan wanita itu duduk dengan nyaman, sebelum akhirnya ikut masuk dan menyalakan mesin.

Perjalanan mereka diwarnai canda tawa ringan. Elena tidak berhenti berceloteh dan Damian menanggapi dengan tawanya. Hingga akhirnya mobil Damian berhenti di parkiran basemen apartemen Elena.

Damian turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk wanita itu.

Elena tersenyum lalu turun dari mobil, “Om memang sangat romantis.”

“Oh benarkah?” Damian membalas dengan nada menggoda sambil menutup pintu.

Saat ia hendak mengikuti langkah Elena, wanita itu tiba-tiba menghentikannya.

“Kenapa Om ikut?” tanyanya sambil menatap penasaran.

Damian menaikkan alis, “Apa aku tidak boleh ke apartemenmu?”

Elena menghela napas, “Om ini memang tidak peka. Bukannya tadi Om bilang kalau anak Om baru keluar dari rumah sakit? Sebaiknya Om pulang dan lihat kondisinya.”

Damian memalingkan wajah, seolah tidak ingin mendengar nasihat itu lagi.

“Om…” Elena mengguncang lengannya pelan agar pria itu mau menatapnya.

“Anak itu bahkan terang-terangan tidak menyukaimu,” ucap Damian akhirnya, suaranya berat menahan emosi, “Dia sampai membahayakan dirinya sendiri hanya untuk menjebakmu. Dan sekarang, kau mau aku melihat kondisinya? Tidak, Elena. Biarkan dia merasakan akibat dari perbuatannya.”

Elena tiba-tiba menutup mulut Damian dengan tangannya. Tatapannya teduh dan lembut.

“Om, jangan pernah berkata seperti itu lagi. Dia tetap anak Om. Seorang anak tidak bisa memilih siapa ayahnya, mereka hanya bisa menerima. Begitu juga sebaliknya,” ucap Elena pelan tapi tegas.

“Jadi sekarang, Om pulang dan perbaiki hubungan kalian. Jangan menambah kebencian di hatinya. Mengerti, Om?”

Damian terdiam, lalu memegang kedua tangan Elena. Tatapannya dalam.

“Kau memang wanita terbaik yang pernah kutemui. Aku bersyukur Tuhan mempertemukan kita. Aku mencintaimu.”

Elena melebarkan mulutnya, lalu memiringkan kepala, berpura-pura tidak mendengar.

“Apa Om bilang? Aku tidak dengar.”

Cup.

Damian mencium pipi Elena cepat.

“Dasar pencuri ciuman!” Elena memukul dada Damian dengan manja.

Damian tertawa kecil, “Aku mencintaimu, Elena.”

Elena memeluk Damian erat, “Aku juga,” ucapnya antusias dengan wajah yang datar.

“Kalau begitu, aku harus menuruti perintahmu. Aku akan pulang sekarang.”

Pelukan itu terlepas.

“Nah, gitu dong, Om.”

Damian mengacak rambut Elena dengan gemas, “Oh ya, besok kau luang?”

“Besok akhir pekan, tentu saja luang.”

“Bagus. Aku akan menjemputmu, kita jalan-jalan.”

“Wah, Om mengajakku kencan, ya?”

“Ya, anggap saja begitu.”

“Tentu aku mau.”

“Kalau begitu, sampai jumpa besok.”

“Ok!”

Damian pun masuk ke dalam mobil.

“Kabari kalau sudah sampai rumah,” ucap Elena sebelum pria itu menutup pintu.

Damian mengangguk, lalu mobil itu perlahan melaju meninggalkan parkiran.

Senyum di wajah Elena perlahan memudar. Tatapannya berubah dingin, penuh perhitungan.

“Dia mencintaiku… dan itu bagus,” lirihnya, sebelum akhirnya melangkah menuju lift.

......................

Prang!

Suara pecahan kaca memecah keheningan rumah besar itu.

Jane sontak berlari ke arah kamar Sean, napasnya terengah saat mendapati sang tuan muda tengah mengamuk. Meja, bingkai foto, dan lampu meja berserakan di lantai, sementara Sean berdiri dengan dada naik turun, matanya merah penuh amarah.

“Tuan Muda! Hentikan, kumohon!” seru Jane panik sambil memegangi lengan Sean yang baru saja mengangkat vas kaca.

“Minggir!” hardik Sean.

Tangan Jane disentak begitu kuat hingga ia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terhempas ke lantai dan telapak tangannya menyentuh pecahan kaca yang berserakan, membuat darah mengalir tipis dari luka di kulitnya.

Namun sakitnya bukan apa-apa dibandingkan rasa takut melihat Sean seperti itu. Dengan menahan perih, ia pun bangkit kembali.

“Tuan Muda, apa yang sebenarnya terjadi?”

Sean tidak menjawab sedikit pun. Ia malah melangkah keluar kamar dengan langkah panjang.

“Tuan Muda! Kau mau ke mana?” Jane berlari menyusul, tapi Sean sudah menuruni tangga.

“AKU AKAN MENGHANCURKAN RUMAH INI!” teriaknya keras, penuh kemarahan yang tidak bisa dibendung lagi.

Jane hampir menangis melihatnya, “Tuan, tolong kendalikan dirimu! Jangan biarkan amarah menguasai pikiranmu! Kumohon, dengarkan aku!” ucapnya tidak kalah keras, bahkan tidak memedulikan darah di telapak tangannya yang kini menetes ke lantai.

Namun Sean tidak berhenti. Matanya memerah, napasnya memburu, dan setiap langkahnya serasa akan mengguncang lantai yang ia injak.

“AKU AKAN MENGHANCURKANNYA!”

“Hancurkan saja, kalau itu yang kau inginkan.”

Suara berat dan dingin itu membuat Sean mendadak terdiam. Dari arah pintu masuk, Damian berdiri dengan ekspresi nyaris tanpa emosi, tatapannya tajam namun menyimpan sesuatu yang jauh lebih dalam.

Langkah Sean perlahan melambat, sementara Jane buru-buru berdiri di antara mereka, berusaha menjadi penengah.

“Tuan besar... kumohon, tenangkan diri Anda,” ucapnya dengan nada memohon.

Damian melangkah lebih dekat, menatap lurus ke arah anaknya, “Seharusnya kalimat itu kau tujukan padanya, Jane. Aku baru saja pulang dengan tenang, tapi lihatlah, dia yang ingin menghancurkan rumah ini.”

Jane menoleh pada Sean yang berdiri di belakangnya, “Tuan Muda... kalau Tuan memang bersalah, mintalah maaf pada Tuan besar. Jangan biarkan amarah memperburuk segalanya.”

Sean menggertakkan gigi, menatap ayahnya penuh kebencian, “Aku tidak bersalah!” jawabnya tajam.

Jane menatap Damian dengan cemas, “Tuan besar, tolong jangan memperkeruh suasana. Jangan membicarakan hal apa pun di depan Tuan Muda hari ini, biarkan semuanya reda dahulu.”

“Kau memang selalu membelanya,” ucap Damian dingin, menatap Jane dengan tatapan penuh tekanan.

“Bukan begitu, saya hanya—”

“Aku lelah,” potong Damian datar. Ia berjalan mendekat, menyerahkan sebuah paper bag pada Jane.

“Dia baru saja keluar dari rumah sakit. Aku membeli bubur untuknya,” lanjut Damian lalu melirik darah di telapak tangan Jane, “Obati dulu lukamu.”

Setelah mengatakan itu, Damian melangkah melewati mereka dan menaiki tangga menuju kamarnya.

Jane memandangi paper bag itu dalam diam, lalu membukanya perlahan. Aroma bubur ayam yang masih hangat menyeruak lembut di udara, kontras dengan hawa dingin di rumah itu.

Ia kemudian melirik Sean, “Lihatlah, Tuan Muda. Tuan besar masih memedulikanmu,” ucap wanita itu lembut.

Sean menyeringai sinis, “Dia hanya berusaha memperbaiki hubungan denganku karena ingin menikahi wanita itu,” ucapnya lalu melangkah keluar dari rumah, dan menutup pintu dengan keras.

Jane terdiam lama.

“Menikah...? Tuan besar akan menikah?”

......................

Di apartemen, Elena berdiri di depan lemari pakaian yang terbuka lebar. Deretan pakaian baru menggantung rapi di sana, beberapa masih berlabel, hasil belanjaannya sebelum pindah ke apartemen.

Ia menatapnya satu per satu, lalu menarik beberapa pakaian dan menyusunnya di atas tempat tidur.

“Mm... yang mana, ya?” gumamnya sambil menyipitkan mata, mencoba membayangkan mana yang paling cocok untuk besok.

Suasana ruangan begitu tenang, hanya terdengar suara lembut pendingin udara dan bunyi halus gantungan besi saat bajunya digeser. Hingga tiba-tiba ponsel di atas nakas menyala, menandakan pesan masuk.

Elena meraihnya, lalu tersenyum tipis saat membaca nama pengirimnya. Pesan singkat itu hanya berisi kabar bahwa Damian telah sampai di rumah dengan selamat.

Ia ingin membalas, bahkan sempat mengetik beberapa kata. Ada banyak hal yang ingin ia tulis, tapi jemarinya segera berhenti saat layar ponselnya berubah menjadi panggilan masuk dari Theo.

“Theo? Ada apa?”

“Kurasa kau harus ke sini sekarang. Seorang pria datang mencarimu.”

Elena mengerutkan dahi, “Siapa maksudmu?”

“Aku tidak mengenalnya, dia sudah pergi. Tapi tetap saja, lebih baik kau segera melihat kondisi rumahmu."

Nada Theo yang serius membuat Elena merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Perasaan tidak nyaman yang tidak bisa ia jelaskan.

“Baiklah. Aku ke sana sekarang.”

Tanpa berpikir panjang, Elena segera menyambar tas selempangnya. Ia menoleh sekilas pada deretan pakaian yang masih berserakan di atas tempat tidur. Tapi ia tidak memedulikannya dan memilih bergegas keluar dari apartemen.

Setelah turun dari apartemen, Elena langsung mencegat taksi di pinggir jalan. Perjalanan yang panjang membuat tubuhnya terasa lelah, tapi rasa penasaran dan cemas membuatnya tidak bisa memejamkan mata di sepanjang jalan.

Saat akhirnya taksi berhenti di depan rumah masa kecilnya, langit sudah berubah jingga gelap, tanda malam hampir tiba.

Ia turun dengan tergesa, lalu melangkah cepat menuju gerbang besi kecil di depan rumah. Tapi langkahnya langsung terhenti begitu melihat pemandangan di depan mata.

Halaman rumahnya berantakan.

Pot-pot bunga yang biasanya tersusun rapi kini hancur berceceran. Tanahnya berserak di teras. Kursi kayu yang dulu tempat kakeknya sering duduk kini patah tidak berbentuk.

“Apa yang terjadi di sini...” bisiknya pelan, matanya melebar tidak percaya.

“Elena!”

Suara Theo terdengar dari arah belakang. Ia berlari kecil menghampiri Elena, wajahnya tampak lelah dengan pakaian khas montir.

“Pria itu yang melakukannya,” jelas Theo sambil menunjuk ke arah halaman yang porak-poranda.

“Dia datang sambil terus meneriakkan namamu. Aku sudah bilang padanya kalau kau tidak tinggal di sini lagi, tapi dia malah marah dan menghancurkan semuanya. Untung saja warga cepat datang, jadi dia kabur ketakutan.”

Elena menatap sekeliling, masih berusaha mencerna ucapan Theo, “Kau ingat wajahnya?” tanyanya cepat.

Theo menggeleng, ekspresinya berubah sedikit ngeri, “Tidak terlalu jelas. Dia pakai masker. Jaketnya lusuh, rambutnya panjang dan berantakan, pakai topi bucket, benar-benar seperti tunawisma. Kau yakin tidak pernah menyinggung orang-orang seperti itu?”

Elena menggeleng pelan, matanya masih menatap reruntuhan di depannya.

Wajahnya tampak tegang, seperti sedang mencoba menghubungkan semua potongan kejadian dalam kepalanya, tapi tidak satu pun terasa masuk akal.

“Kau sudah terpikir siapa orangnya?” tanya Theo lagi.

Elena menghela napas panjang, “Tidak,” jawabnya akhirnya.

Semakin ia mencoba mengingat, semakin kosong pikirannya.

Ia memang punya banyak rahasia, tapi tidak ada satu pun yang seharusnya membuat seseorang datang menghancurkan rumahnya seperti ini.

Namun di lubuk hatinya, sebuah firasat buruk mulai tumbuh, bahwa semua ini bukan sekadar amarah dari orang asing.

1
kalea rizuky
kok g lanjut
merry
selmt gk tu Elena,,,
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!