NovelToon NovelToon
Kultivator Koplak

Kultivator Koplak

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Sistem / Tokyo Revengers / One Piece / BLEACH / Jujutsu Kaisen
Popularitas:8k
Nilai: 5
Nama Author: yellow street elite

seorang pemuda yang di paksa masuk ke dalam dunia lain. Di paksa untuk bertahan hidup berkultivasi dengan cara yang aneh.
cerita ini akan di isi dengan kekonyolan dan hal-hal yang tidak masuk akal.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellow street elite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

"Kalau dunia ini cuma dunia biasa, orang kayak gua gak mungkin kelempar ke sini begitu aja..." pikirnya.

Lalu ia mengingat kembali upacara pemanggilan di istana cahaya itu.

Deretan manusia dengan pakaian aneh, wajah-wajah dari berbagai benua, bahasa yang asing tapi entah kenapa bisa dimengerti. Semuanya berasal dari dunia lain. Sama seperti dirinya.

"Jadi... bukan gua satu-satunya 'orang asing' yang dipanggil..."

Ia mengingat beberapa dari mereka—ada yang wajahnya serius, ada yang tubuhnya penuh otot, ada yang langsung terlihat seperti karakter utama anime.

Bahkan salah satu dari mereka sempat bersorak waktu diberi class Magician dengan skill api tingkat tinggi.

"Berarti sistem 'level' itu juga berlaku buat mereka… karena mereka mikir sama kayak gua. Pakai logika EXP, job, evolusi, power-up, grinding… semua konsep game."

Ia mengepalkan tangan kanan, menggenggam palu kecil itu erat-erat.

"Tapi kenapa gua doang yang dapet profesi sampah?"

Tatapannya memanas.

"Kenapa mereka dapet senjata, sihir, binatang panggilan… gua malah dilempar kayak sampah, dikasih palu besi karatan kayak bocah pemula di tutorial zone?"

Lalu ia memejamkan mata. Muncul wajah lembut sang Dewi di pikirannya.

Dewi Anantasia.

Pakaiannya setipis kabut, dadanya hampir terbuka, matanya seolah menertawakan segalanya.

Senyumnya manis, tapi di balik itu…

ada kehinaan. Penghinaan.

Bukan hanya penolakan, tapi juga... pengusiran.

"Ahh... Dewi sialan itu... Jangan-jangan gua dikutuk sejak awal!"

Ia memukul tanah dengan gagang palu.

Tidak kuat. Tapi cukup untuk mengalihkan kemarahan sesaat.

"Mungkinkah... dia memang sengaja buang gua ke sini? Bukan karena gua lemah, tapi karena... gua ancaman?"

Ia tidak tahu. Belum ada bukti. Tapi logika itu terus berputar di kepalanya.

Karena satu hal yang kini mulai ia sadari:

Orang seperti dirinya… tidak akan pernah mendapat jalan yang sama seperti orang lain.

Entah itu untuk dijatuhkan…

atau untuk ditinggikan dengan cara yang lebih gila.

Rynz menyandarkan punggung ke dinding jerami, matanya terbuka, menatap kosong langit-langit gelap.

Tapi pikirannya tidak kosong.

Pikirannya kotor.

Busuk.

Penuh dendam.

"Dewi sialan itu... Anantasia..."

Ia menggertakkan gigi.

"Mereka semua sujud, mencium kakinya, memuja wajah manis dan tetek setengah terbukanya kayak budak tolol..."

Tangannya yang tersisa mencengkeram palu. Ia sudah tahu itu bukan senjata—belum. Tapi ia tahu, entah kenapa… benda itu menunggu. Seolah ikut menyimpan kebencian bersamanya.

"Lu kira gua cuma bakal mati gitu aja karena lu buang gua ke hutan kayak anjing?"

"Lu kira gua bakal jadi karakter gagal dalam cerita ini?"

Rynz menyeringai. Sakit. Gila.

Dalam bayangannya, tubuh Dewi itu berdiri angkuh lagi. Pakaiannya putih, lembut, nyaris transparan. Kulitnya pucat bercahaya. Tapi tidak ada lagi wibawa. Tidak ada lagi kemurnian.

Hanya rasa muak dan hasrat menguasai yang menggelegak dalam benaknya.

"Lu tunggu… Anantasia…"

"Suatu saat gua bakal balik, bukan buat minta restu… tapi buat ngerobek jubah lu, nindihin badan lu, dan bikin lu tahu siapa yang sekarang jadi Tuhan di dunia ini."

Ia tertawa pelan, dalam kegelapan kamar pengap itu.

Penuh benci. Penuh birahi.

Penuh obsesi.

Keesokan harinya, langit di atas desa Meryath diselimuti kabut tipis, membuat suasana pagi tampak suram dan dingin. Udara membawa aroma tanah basah dan daun kering yang jatuh semalaman. Di depan pintu rumah tanah itu, Rynz berdiri dengan pakaian baru yang diberikan warga—jubah abu-abu kusam, sabuk kulit kasar, dan selembar selendang lusuh untuk menutupi bekas luka di bahu kirinya yang telah putus.

Di tangannya masih tergenggam palu kecil—satu-satunya benda yang tidak pernah ia lepas sejak tiba di dunia ini.

Mayla, tabib tua itu, berdiri beberapa langkah darinya. Tatapannya tetap tajam seperti biasa, tapi ada sedikit bayangan perhatian di sana.

"Jalan menuju Kota Yurein akan menempuh dua hari berjalan kaki. Kau bisa menumpang gerobak pedagang yang lewat jika beruntung, atau mengandalkan kakimu sendiri."

Rynz hanya mengangguk.

"Aku akan cari perguruan. Sekte. Apa pun yang bisa bikin aku lebih kuat."

Mayla mendengus pelan.

"Hati-hati pada mereka yang menawarkan kekuatan terlalu cepat. Dunia ini tidak murah—dan tidak adil."

Ia menyodorkan sehelai keping kayu pipih, bertuliskan huruf yang samar membentuk lambang segitiga.

"Tunjukkan ini pada petugas gerbang Yurein. Mereka akan tahu kau datang dari Meryath, dan setidaknya tak langsung mengusirmu."

Rynz menerimanya dan menyelipkannya ke dalam sabuk.

"Terima kasih. Tapi kalau nanti aku sudah berdiri di puncak…"

Ia menatap langsung ke mata Mayla.

"...aku nggak akan lupa siapa yang pernah nolongin aku saat gua cuma sampah berdarah yang dilempar ke depan pintu."

Mayla tidak menjawab. Hanya mengangguk kecil, lalu membalik badan masuk kembali ke dalam rumah.

Langkah demi langkah, Rynz menyusuri jalan tanah berbatu yang kian lama berubah menjadi jalur beraspal kasar. Di kejauhan, bayangan besar mulai tampak—tembok batu abu-abu yang menjulang tinggi dengan menara-menara kecil di tiap sudutnya. Di atas gerbang utamanya, tergantung lambang matahari bersayap perak, simbol dari Kota Yurein, kota perbatasan yang menjadi gerbang masuk menuju wilayah kekaisaran timur.

Udara di sekitarnya terasa berbeda. Lebih hidup, lebih riuh.

Suara roda kereta, langkah kaki para pedagang, tawa anak-anak kecil, serta pekikan penjaga terdengar bersahutan. Aroma khas kota mencampur—bau asap kayu, roti panggang, keringat kuda, dan jejak rempah dari timur yang entah bagaimana bisa menguatkan perut kosong siapa pun yang menciumnya.

Kota Yurein bukan kota besar seperti ibu kota kekaisaran, tapi cukup luas dan padat. Tembok luarnya terbuat dari batu hitam yang diperkuat formasi sihir kuno. Di dalamnya, bangunan-bangunan tersusun dari kayu dan batu bata, dengan atap genteng hijau dan jalan yang membelah rapi antara kawasan dagang, kawasan tempat tinggal, dan kawasan pelatihan.

Yang paling mencolok adalah menara tinggi di tengah kota, menjulang lebih tinggi dari bangunan lain, dihiasi lambang spiral berwarna biru. Itu adalah Menara Registrasi Kultivator—tempat di mana orang-orang dari berbagai latar belakang datang untuk mendaftar sebagai calon murid sekte, prajurit bayaran, atau penjelajah yang ingin naik peringkat melalui jalur resmi.

Di dekat gerbang utama, dua penjaga berbaju kulit besi berdiri tegas. Saat melihat Rynz mendekat, salah satunya mengangkat tangan.

"Berhenti. Identitasmu?"

Rynz mengeluarkan keping kayu bertanda segitiga dari saku sabuknya, lalu menyodorkannya tanpa banyak bicara.

Penjaga itu menerima, melihatnya sekilas, lalu mengangguk.

"Dari desa Meryath ya? Baik. Kau boleh masuk. Tapi ingat, kekerasan di dalam kota dilarang kecuali di arena resmi."

Rynz tidak menjawab. Ia melangkah masuk melewati gerbang batu besar yang terbuka lebar.

Dan begitu masuk…

Matanya langsung disambut oleh hiruk-pikuk dunia yang sangat asing.

Puluhan penjual alat sihir berteriak menawarkan kristal energi.

Seorang anak laki-laki kecil dengan jubah ungu memamerkan manik ajaib yang bisa membuat api menari di telapak tangan.

Tiga wanita petarung dari ras beastfolk, telinganya runcing dan ekornya bergoyang, sedang berlatih di depan rumah pelatihan terbuka.

Di sisi kanan, terlihat papan pengumuman besar yang berisi daftar sekte-sekte kecil yang sedang membuka pendaftaran.

Ada Sekte Aliran Bayangan, Perguruan Sinar Timur, hingga Klan Api Langit—masing-masing menulis syarat, keunggulan, dan janji mereka kepada calon murid.

Rynz menghela napas panjang.

Satu lengan. Satu palu.

Dan masa depan yang masih kabur.

“Langkah pertama... adalah bertahan.

Langkah berikutnya... adalah membalas.”

Beberapa hari berlalu di Kota Yurein.

Rynz mencoba mendatangi satu per satu sekte yang membuka perekrutan. Ia membaca syaratnya, memenuhi formulir pendaftaran, bahkan ikut dalam tes fisik dan pertanyaan wawancara yang sederhana. Namun hasilnya selalu sama.

Penolakan.

"Kami butuh kandidat yang utuh secara fisik. Maaf, kau tidak bisa kami terima."

"Pertarungan antar sekte terlalu kejam. Kau akan mati di hari pertama."

"Dengan kondisi seperti itu... lebih baik kau kembali ke tempat asalmu."

Ucapan-ucapan itu mengikis harga dirinya sedikit demi sedikit. Bukan karena dia lemah. Tapi karena dunia ini memutuskan bahwa mereka yang cacat tak layak bahkan untuk diberi kesempatan.

Hari demi hari lewat, dan sisa uang yang diberikan Mayla telah habis. Penginapan murah tidak bisa dibayar lagi. Makan pun hanya bisa ia dapatkan dari sisa roti keras atau belas kasihan dari pedagang murah hati yang sesekali melirik tubuh kurusnya.

Pada hari kelima, ia duduk di dekat tangga batu di pasar tengah. Punggungnya bersandar pada dinding, matanya kosong menatap kerumunan orang yang lewat begitu saja. Tak ada yang memperhatikannya. Tak ada yang peduli. Ia telah menjadi bayangan kota—pengemis asing, tak dikenal, tak dianggap.

Langit Yurein siang itu kelabu. Mendung menggantung di atas menara pusat kota, seolah turut menertawakannya.

Rynz menatap langit. Matanya basah, bukan karena tangisan... tapi karena amarah yang tak tertahankan lagi.

"Apa kau puas sekarang, Anantasia?" gumamnya lirih.

"Sudah kau lempar aku ke dunia ini. Kau buang aku. Dan sekarang... kau buat seluruh dunia ikut meludahi aku."

Ia mengepalkan tangan. Nafasnya berat. Tubuhnya gemetar menahan dendam yang tumbuh semakin dalam.

"Apa ini bentuk kutukanmu? Apa ini caramu menghancurkan hidup orang-orang yang tak menyembahmu?"

Suara tawanya pahit. Ia seperti orang gila yang bicara pada langit, tapi tak satu pun menoleh.

Karena di kota seperti ini, pengemis yang berbicara sendiri hanya dianggap gangguan, bukan ancaman.

"Dengar ini, Dewi… aku bersumpah, kalau suatu saat aku menemukan cara untuk naik… untuk bangkit… aku tidak hanya akan membalas."

"Aku akan merobek dunia ini dari dasar sampai ke tahta surgamu."

1
yayat
tambah kuat lg
yayat
mulai pembantaian ni kayanya
yayat
ok ni latihn dari nol belajar mengenl kekuatan diri dulu lanjut thor
yayat
sejauh ini alurnya ok tp mc nya lambat pertumbuhnnya tp ok lah
‌🇳‌‌🇴‌‌🇻‌‌
sebelum kalian baca novel ini , biar gw kasih tau , ngk ada yang spesial dari cerita ini , tidak ada over power , intinya novel ini cuman gitu gitu aja plus MC bodoh dan naif bukan koplak atau lucu. kek QI MC minus 500 maka dari itu jangan berharap pada novel ini .
Aryanti endah
Luar biasa
Aisyah Suyuti
menarik
Chaidir Palmer1608
ngapa nga dibunuh musih2nya tanggung amat, dah punya api hitam sakti kok masih takut aja nga pantes jadi mc jagoan dah jadi tukang tempa aja nga usah ikut tempur bikin malu
Penyair Kegelapan: kwkwkw,bang kalo jadi MC Over Power dia gak koplak.
total 1 replies
Chaidir Palmer1608
jangan menyalahkan orang lain diri lo sendiri yg main main nga punya pikiran serius anjing
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!