NovelToon NovelToon
My Lovely Cartel

My Lovely Cartel

Status: sedang berlangsung
Genre:Kriminal dan Bidadari / Nikah Kontrak / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Psikopat itu cintaku / Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?

Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ruang Tamu

...୨ৎ R E M Y જ⁀➴...

Aku menyaksikannya sendiri, lidah Rainn menjulur keluar buat mengeluarkan krim dari bibirnya, dan itu membuatku terangsang hebat.

Waktu kugigit stroberi itu, aku hampir saja menyerah dan menghabisi mulutnya.

Satu-satunya alasan kenapa aku menghormati keputusannya untuk enggak berciuman adalah karena aku ingin dia menciumku duluan.

Dari rona merah di pipinya dan gairah di matanya, aku tahu aku enggak perlu menunggu lebih lama lagi.

Ya Tuhan. Sebelumnya, berciuman itu enggak pernah berarti apa-apa bagiku, sampai dia membuat keputusan itu. Dan sekarang, itu justru jadi hal yang paling aku inginkan dari dunia ini.

Sambil memegang kain di pahanya, aku memerintahkan, “Mau lagi, Sayang.”

Saat dia meraih stroberi, tanganku meluncur ke betisnya.

"Aku suka gaun ini," pujiku.

"Ya, kamu harus suka. Soalnya harganya mahal banget," gumamnya sambil membawa buah itu ke mulutku.

Sambil menggigitnya, aku menyelipkan tanganku di bawah kain dan menelusuri kakinya dengan jari-jariku. Tubuhnya menggigil, membuat bibirku melengkung.

Saat aku menelan ludah, Rainn mendekatkan ibu jarinya ke sudut mulutku dan menyeka krim dari bibirku. Aku memperhatikannya menghisap ibu jarinya, dan aku langsung kehilangan kendali.

Dengan satu gerakan cepat, aku pun berdiri, menyingkirkan stroberi dan krim, lalu menempatkan pantatnya di Kitchen Island.

Setelah menemukan retsleting pada gaun itu, aku menariknya ke bawah, lalu menarik lengannya ke atas lenganku sehingga aku dapat mencapai buah dadanya.

Saat mulutku melumat kismis mungilnya, erangan puas bergemuruh di dadaku.

Jari-jari Rainn merayapi rambutku sambil tersentak mendengar seranganku yang tiba-tiba.

Aku mendorongnya ke meja dan bilang, "Cuma kamu satu-satunya Dessert yang aku pingin."

Aku menanggalkan gaun dan celana dalamnya, dan begitu telanjang, aku pun memerintahkan, "Jangan bergerak."

Melihat betapa cepatnya memar di tubuhnya memudar, senyum pun terlukis di wajahku. Sial, aku enggak sabar menunggu semuanya habis.

Aku berjalan ke kulkas dan menekan tuas dispenser es. Mengambil satu es batu, kudekatkan ke mulutku sambil perlahan berjalan kembali ke arahnya. Matanya pun mengikuti setiap gerakan yang aku lakukan sementara dadanya naik turun mengikuti napas yang cepat.

Dengan es batu yang terjepit di antara gigiku, aku meletakkan tanganku di kedua sisi pinggulnya dan mencondongkan tubuhku ke arahnya. Aku mengusap es batu yang meleleh di sekitar kismis mungilnya dan memperhatikan ujungnya mengeras.

Rasa menggigil pun kembali menjalar ke seluruh tubuhnya, dan dia mendesis saat aku memindahkan es itu ke perutnya.

Sial, aku suka banget melihat bulu-bulu kuduknya berdiri. Pinggulnya terangkat dari atas marmer saat aku menyeret es ke atas pintu rahimnya dan tertawa terbahak-bahak.

Saat balok es itu menyentuh kacang saraf, dia meraih pergelangan tanganku dan melengkungkan punggungnya. "Remy!"

"Huumm?"

"Dingin banget." keluhnya.

Aku naik kembali ke tubuhnya hingga berhadapan dengan wajahnya. Aku letakkan tanganku di dagunya, lalu kutarik bibir bawahnya dengan ibu jariku. Saat dia buka mulut, kumasukkan es ke mulutnya.

"Hisaplah, sayang!"

Tanganku menelusuri tubuhnya hingga mencapai rahimnya yang sudah basah kuyup. Karena ingin menyiksanya, jadi aku menjaga sentuhanku agar tetap pelan saat memijat kacang sarafnya.

Aku melihatnya saat dia menuruti permintaanku, pipinya cekung sama seperti tadi malam saat dia menghisap Titidku.

Saat bibirnya terbuka dan dia menarik napas dalam-dalam, pinggulnya berputar. Salah satu tangannya turun dan mencengkeram pergelangan tanganku sementara tangan lainnya melingkari tengkukku.

Alisnya berkerut dan dia merintih, “Remy.”

Aku menundukkan kepalaku dan membiarkan mulutku menikmati rahang luar dan lehernya sebelum berkata, "Bilang, apa yang kamu mau, sayang."

"Se—senang bisa ketemu denganmu."

Punggungnya melengkung lagi dan dia mencoba mendorong tanganku lebih dekat ke Rahimnya.

Aku tertawa dan merasakan tubuhnya bergetar. Untuk membuatnya tergila-gila, aku gerakkan tanganku ke bagian dalam pahanya dan terus menggerakkan jariku di atas kulitnya yang lembut.

"Bilang aja apa yang kamu mau, ayo!" perintahku.

Dia mengerang frustrasi. "Sama kayak tadi malam."

Aku mendongak dan menatapnya. "Aku lupa, Sayang. Coba jelasin, di mana kamu pingin aku sentuh?"

Raut wajahnya menegang karena frustrasi yang semakin menjadi-jadi, dan dia mengalihkan pandangan dariku. "Aku pingin kamu mainin itu aku."

"Lihat aku!" pintaku. Saat matanya kembali menatapku, aku bilang, "Tubuhmu seksi banget, Rainn. Aku cuma mau nancepin titidku dalam-dalam di situ, boleh?"

Gairah bersinar di iris matanya yang coklat. Aku pun menggeser jariku mendekat ke tempat yang diinginkannya sambil memesan, "Aku mau kamu merasa pede pas kita main. Bilang aja apa yang kamu pingin, enggak usah malu-malu."

Dia mendorongku sambil duduk, meraih bajuku, dan menariknya ke atas kepalaku. "Aku pingin kamu telanjang!" pintanya dengan nada memerintah yang membuat Titidku berkedut basah padanya.

Aku pun menurutinya dan melepas pistol dari punggungku, menaruhnya di atas meja sebelum membuka ritsleting celana jeans dan menurunkannya ke kakiku.

Saat aku mendekatinya dia melingkarkan lengannya di pinggangku dan jari-jarinya menekan pantatku. "Aku pingin kamu masukin itu."

Aku mencengkeram dagunya dengan ibu jari dan telunjukku, memiringkan kepalanya ke arahku. Aku mencondongkan tubuh dan membiarkan napasku meluncur di atas bibirnya. "Good."

Dia mendorong peganganku, aku sebenarnya berharap sebuah ciuman, tapi di detik terakhir, dia malah melepaskan diri dari jemariku, senyum menggoda tersungging di mulutnya.

Ya Tuhan, sumpah, cewek ini bakal jadi penyebab kematianku.

Rainn menggeser pantatnya ke tepi marmer dan melilitkan kakinya di sekelilingku.

Aku menatap ke arah Rahimnya yang berkilau dan perlahan mendorong Titidku melalui lipatannya.

“Yessss,” bisiknya, kepalanya tertunduk ke belakang untuk memperlihatkan tenggorokannya untukku.

Aku lingkarkan jariku di lehernya yang indah sambil kudorong lebih keras, enggak sengaja titidku pun membelai kacang sarafnya.

Dengan mata setengah tertutup, dia menatapku, bibirnya terbuka saat dia bernapas dengan putus asa.

Aku terus membelai kacang sarafnya sampai kepala Titidku membengkak dan tertutupi oleh cairan basahnya, lalu aku memerintah, “Rainn, izinin aku buat cium kamu.”

Sudut mulutnya berkedut dan dia berbisik, "Enggak!!!"

Mataku menyipit saat aku menggeram, "Oh, shiiitt."

Tanpa memberinya peringatan apa pun, aku mendorong Titidku dalam-dalam. Tangannya menghantam dadaku sementara raut wajahnya berubah kesakitan, tapi dia enggak memutus kontak mata denganku.

Tubuhku bergetar saat dindingnya yang rapat itu mencengkeram Titidku bagai catok. Panas banget.

Enggak ada yang lebih sempurna di dunia ini daripada mati terkubur di dalam rahimnya Rainn.

Astaga. Rahimnya itu membuatku percaya adanya surga.

Rasa mengerikan lain menjalar ke seluruh tubuhku saat aku menggeram, menariknya keluar, dan menghantamnya kembali.

Tubuhnya bergetar karena dorongan kuat, dia mencengkeram bahuku, kukunya menancap sedalam satu senti di kulitku.

Aku melepaskan diri sepenuhnya darinya, meraih kedua sisi tubuhnya, dan mendekapnya ke dadaku. Aku mengangkatnya dari meja marmer dan menggendongnya ke ruang tamu, aku duduk di pangkuannya.

Aku dekatkan tanganku ke wajahnya, menggerakkan jari-jariku di pelipis dan pipinya, lalu bilang, "Ayo. Masukkin lagi Titidku."

Rainn enggak mengecewakan saat dia menurunkan tubuhnya di antara kami dan memposisikanku di celahnya. Dengan ragu-ragu, dia menurunkan tubuhnya ke Titidku hingga kacang sarafnya menyentuh kulitku.

Tanpa aku harus memberitahunya apa yang harus dilakukan, dia mulai menggoyangkan pinggulnya dan menggesekkan tubuhnya ke arahku.

“Gitu aja, Sayang,” erangku, Titidku pun membengkak enggak tertahankan karena visi misinya.

Aku gerakkan tanganku ke dadanya dan larut dalam sensasinya saat aku meremas dagingnya dan mencubit kismis mungilnya.

Cengkeraman Rainn makin erat di leherku dan keputusasaan tampak di wajahnya.

"Apa kamu mau kita tiduran, sayang?" bisikku dengan suara serak.

"Ya." Kepalanya mengangguk ke atas dan ke bawah. "Tolong."

"Minta tolong, siapa?" godaku sambil memegang pinggulnya untuk menghentikannya bergerak.

Tubuhnya bergetar saat dia memohon, “Aku mohon, Remy.”

Aku mengangkatnya dari tubuhku, saat aku bangun dia pun menatapku dengan bingung.

"Berlutut, sayang. Pegang bantalnya," perintahku.

Dia segera berlutut, kemudian bersujud di sofa dan memegang bantalnya.

"Buka kakimu lebar-lebar."

Dia menurutinya dan menatapku dari balik bahunya.

Menikmati pemandangan pantatnya yang semampai, aku pun meletakkan lututku di samping lututnya di sofa untuk menstabilkan diri dan mencengkeram pinggulnya erat-erat. Aku menyelaraskan diri dengan lubangnya dan mengisinya dengan Titidku dalam satu dorongan brutal.

 Terkubur sepenuhnya di tempat yang telah menjadi tempat favoritku di dunia ini, aku mengerang, "Kamu nikmatin ini, sayang."

Mataku pun terpejam merasakan sensasi luar biasa saat aku memeluknya dari belakang.

Sambil menahan Rainn di tempatnya, aku pun menghirup udara lewat gigiku sambil mulai menyantapnya tanpa kendali. Aku memperhatikan bagian-bagian pantatnya yang memerah karena perutku yang menampar keras.

Tangisan mulai keluar dari bibirnya dan enggak lama kemudian dia terisak, "Remy. Ya. Tuhan. Aaaaah."

Rahimnya mengerut saat orgasmenya tiba, dan kenikmatan itu menjalar ke tulang punggungku. Sensasinya menegangkan, dan aku pun langsung ambruk di atasnya begitu Titidku tersentak dan memuntahkan benih Arnold di dalam.

Gigiku pun menancap di bahunya, menahan geramanku, kelegaanku, kepuasanku menghabisinya.

Tubuh kami menggigil dan gemetar, basah oleh keringat, kami pun tersenggal-senggal mencari udara.

“Astaga,” erangku di kulitnya. “Perfect."

Aku duduk di sebelah Rainn dan menariknya lebih dekat. Dia duduk di pangkuanku, dan kami berdua sama-sama melihat bukti orgasme kami yang menutupi Rahimnya.

Setelah kuciduk beberapa cairan itu di jariku, aku pun menggeser jariku ke bibirnya, dan bergumam, "Buka!"

Ekspresi khawatir terpancar dari matanya, tapi dia tetap menurutinya. Aku memasukkan jariku ke dalam mulutnya dan berkata, "Sedot, Sayang."

Lidahnya menyentuh jariku selagi dia mendengarkan.

"Goodjob, Kucing Kecilku!"

1
Dewi kunti
hadeeeeehhh siang2 mendung gini malah adu pinalti
DityaR: emang musim ujan kak, 🤣
total 1 replies
Dewi kunti
bukan tertunduk kebelakang tp mendongak
Dewi kunti
🙈🙈🙈🙈🙈ak gak lihat
Dewi kunti
wis unboxing 🙈🙈🙈🙈🙈moga cpt hamil
Dewi kunti: lha tadi udah dicrut di dlm kan🙈🙈🙈🙈
total 2 replies
Dewi kunti
minta bantuan Remy Arnold aj
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!