Alena Prameswari percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya.
Tapi setelah tiga tahun menikah dengan Arga Mahendra, ia sadar bahwa kesetiaan tak akan berarti bila hanya satu pihak yang berjuang.
Saat pengkhianatan terbongkar, Alena memilih pergi. Ia menerima proyek desain di Dubai... tempat baru, awal baru.
Tanpa disangka pertemuan profesional dengan seorang pangeran muda, Fadil Al-Rashid, membuka lembaran hidup yang tak pernah ia bayangkan.
Fadil bukan hanya pria miliarder yang memujanya dengan segala kemewahan,
tetapi juga sosok yang menghargai luka-luka kecil yang dulu diabaikan.
Namun cinta baru tak selalu mudah.
Ada jarak budaya, gengsi, dan masa lalu yang belum benar-benar selesai. Tapi kali ini, Alena tak lari. Ia berdiri untuk dirinya sendiri... dan untuk cinta yang lebih sehat.
Akankah akhirnya Alena bisa bahagia?
Kisah ini adalah journey untuk wanita yang tersakiti...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 25.
Alena sedang membantu mbok di dapur ketika ketukan keras terdengar dari arah teras. Ia menyeka tangannya pada celemek, berjalan ke pintu, dan membuka daun kayu itu dengan sikap waspada.
Begitu melihat siapa yang berdiri di ambang, ekspresinya langsung mengeras.
“Alena,” ucap Arga dengan gugup.
Alena mengatupkan rahang. “Ada apa lagi, Mas? Kita sudah selesai bicara, jangan datang hanya untuk membuatku semakin muak padamu.”
Nada suara wanita itu dingin, tak meninggalkan celah nostalgia sedikit pun. Ia tidak lagi menyisakan tempat bagi Arga dalam hidupnya bahkan untuk sekadar bersikap ramah.
Arga tampak terkejut saat mendengar nada dingin mantan istrinya. Kedua tangannya mengepal kuat, ia gelisah.
“Aku dengar dari Dinar, sepupumu… dia dapat kabar dari ibumu, kalau kamu telah dilamar seseorang. Apa pria yang di kafe waktu itu?” suara pria itu bergetar menahan emosi.
“Ya, dia bosku di kantor. Namanya Fadil...“ Jawab Alena tanpa ragu.
“Dia seorang pangeran, kan?”
“Ya.” Kali ini Alena menatap langsung ke mata Arga, dengan pandangan tegas.
Tiba-tiba, suara datar seorang pria berbaju hitam terdengar dari belakang mereka. “Maaf, Miss Alena. Tuan Fadil… Nuriidu an naṭruda haadza ar-rajula.”
Pengawal bayangan itu baru saja melapor pada Fadil, dan langsung mendapat perintah dari Dubai... Fadil memerintahkan agar menyingkirkan Arga.
Alena menahan senyum kecil, ia sudah bisa menebak reaksi Fadil.
“Sampaikan pada Tuan-mu,” ucap Alena berbahasa campuran Inggris dan Arab, “Aku hanya butuh lima menit bicara dengan pria ini.”
Pengawal itu sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk dan mundur kembali ke pos pengawasannya.
Setelah pengawal itu pergi, Alena mengalihkan pandangannya pada Arga. Ia menatap mantan suaminya itu tanpa ragu, tanpa gentar.
“Aku sudah menerima lamarannya,” ucap Alena dengan nada tegas. “Dan barusan itu... adalah pengawal pribadi yang diperintahkan calon suamiku untuk melindungiku.”
Alena menarik napas pelan, tapi matanya tak pernah mengendur.
“Aku kasih saran padamu, Mas. Calon suamiku itu pencemburu berat. Dia tidak suka aku berbicara dengan laki-laki lain, apalagi mantan suami yang pernah menyakiti aku. Aku sudah bilang pada pengawal itu, kalau aku perlu bicara denganmu hanya lima menit. Kalau dalam lima menit kamu masih berada di sini… percaya atau tidak, pengawal itu akan meringkusmu dan mengusirmu dari tempat ini. Bahkan mungkin... mereka akan memberikan sedikit pukulan padamu sebagai peringatan.”
Alena mengendikkan bahunya. “Jadi, lebih baik kamu pergi sekarang. Dan jangan pernah... menemuiku lagi.”
Arga akhirnya mundur selangkah, tatapan matanya masih berharap. Konyol sekali, seolah masih ada ruang baginya di hidup Alena. Namun tubuhnya gemetar, sadar bahwa ancaman tadi bukan sekadar gertakan.
“Len… apa dia benar-benar lebih baik dariku?” tanyanya lirih.
Alena tersenyum tipis, senyum yang bukan lagi untuk Arga. “Bahkan ujung kukunya saja, sudah lebih berharga dari seluruh dirimu. Dia laki-laki baik, tidak pengecut. Aku sangat yakin... dia tidak akan berkhianat, seperti kamu mengkhianatiku.”
Wajah Arga mengeras, bibirnya bergetar. “A-aku…”
Arga tak tahu harus membela diri bagaimana, karena semua kata itu benar. kini ia menyadari, dia bukan lagi siapa-siapa bagi wanita yang pernah ia abaikan itu.
“Pergilah secara baik-baik, Mas.“
Pria itu ingin bicara lagi, namun akhirnya Arga membalikkan tubuhnya.
“Tunggu.”
Arga baru sempat membalikkan badan ketika suara Alena menahannya. Langkahnya terhenti, pria itu kembali menatapnya.
“Apa Mas tahu kalau Nadine pergi ke Dubai dan bekerja di perusahaan yang sama denganku?”
Sorot mata Arga membesar, jelas dia tak siap dengan kabar itu. “Apa? Aku… aku nggak tahu. Setelah aku pulang dari Dubai, dia tiba-tiba saja resign.”
“Mas, entah tujuan wanita itu demi karier atau karena ada maksud lain. Tapi jelas, dia membenciku. Dan aku yakin... alasannya adalah kamu.”
Arga menunduk sejenak, rahangnya mengeras. “Aku akan bicara dengan Nadine, aku tahu ini salahku. Aku sudah menolak dia waktu itu, tapi… aku tetap harus bertanggung jawab. Maaf kalau dia sampai menyusahkan mu.”
Alena menghela nafas. “Mas, sudahi semua yang Mas mulai. Bereskan masalah yang kamu buat sampai tuntas. Aku akan segera memulai hidup baru, aku akan menikah lagi dan ingin hidup tenang. Jadi tolong… pastikan kalian berdua tidak mengusik hidupku lagi.”
Arga hanya mengangguk pelan lalu pergi, langkahnya terasa begitu berat.
Beberapa jam, setelah Arga pergi dan situasi kembali tenang, suara deru mobil mewah berhenti tepat di depan rumah Alena.
Alena keluar rumah saat mendengar suara mobil, sedikit terkejut melihat sosok yang turun dari mobil hitam itu.
Fadil.
Pria itu berjalan menuju Alena dengan langkah tegap. Wajahnya tidak menyimpan amarah, hanya perhatian yang begitu jelas terlihat.
“Assalamualaikum, calon istriku.” Panggilnya lembut namun tegas.
Alena mengedipkan matanya beberapa kali, dia masih tak percaya di depannya berdiri Fadil. “Waalaikumsalam, aku pikir... kamu masih di Dubai.”
“Aku langsung berangkat setelah mendengar laporan” jawab Fadil, berdiri di hadapannya. “Aku tidak suka kamu merasa tidak aman di sini, apalagi didatangi mantan mu...”
Alena tersenyum geli, aura protektif Fadil begitu kuat.
“Aku ingin menjemputmu dan Ibumu, kita kembali ke Dubai bersama. Kita bicarakan lamaran di Dubai, ibuku juga ingin bicara dengan keluargamu.”
Entah kenapa, saat Fadil membicarakan tentang lamaran... Alena merasa lega.
Dengan sigap, pria itu mengatur keberangkatan mereka. Barang-barang dibereskan, dokumen disiapkan.
Kehidupan baru menanti.
Setelah menapakkan kaki di Dubai, Alena langsung dijemput dengan penyambutan resmi. Bukan berlebihan, Fadil memang ingin seluruh dunia tahu siapa wanita yang ia pilih.
Beberapa hari kemudian, lamaran resmi digelar di rumah pribadi milik Fadil. Ia meminta restu ibunya Alena secara langsung.
“Saya berjanji menjaga putri Ibu, saya tidak akan membiarkannya hidup dalam luka lagi.”
Restu itu diberikan dengan mata berkaca-kaca.
Cincin melingkar di jari Alena, wanita itu pun resmi menjadi tunangan Fadil.
Acara pertunangan yang lebih megah diadakan setelahnya. Gaun putih yang membalut tubuh Alena sederhana namun memukau. Fadil selalu menggenggam tangannya di tengah keramaian, seolah berkata bahwa Alena adalah pusat bagi dunianya.
Keduanya berdiri di balkon menghadap laut malam Dubai.
“Aku tidak mau menunda apa pun lagi, kita akan segera menikah bulan depan.” Ucap Fadil dengan nada tak main-main.
Alena menatap sang kekasih, merasakan bahwa semua luka dulu memang harus terjadi agar sampai ke titik ini. “Aku... siap menikah denganmu.”
Fadil tersenyum lega.
“Mulai hari ini,” ucap pria itu, jemarinya mengusap punggung tangan Alena, “Hidupmu akan selalu aman di sampingku, di setiap nafasmu... hanya akan ada kebahagiaan.“
Dan malam itu, Alena percaya… bukan karena kata-kata indah calon suaminya, melainkan karena bukti nyata yang sudah pria itu lakukan untuknya.
Tengah malam, pesta pertunangan berakhir tanpa satu pun insiden. Fadil memastikan hanya orang-orang terpilih yang boleh masuk daftar undangan, bahkan dari pihak istana hanya segelintir yang hadir. Ia ingin malam itu, menjadi malam yang damai untuk Alena.
Usai mengantar Alena dan ibunya masuk ke dalam rumah yang ditempati, Fadil menuju mobil.
Ahmed sudah menunggunya di dekat mobil. “Tuan, Pangeran Khalid meminta pertemuan. Sepertinya... dia sudah tahu Anda sedang menyelidikinya.”
Fadil menatap kegelapan malam dengan mata dinginnya. “Kalau begitu, kita hadapi saja. Sebelum pernikahanku dengan Alena, aku ingin semuanya selesai. Ayo berangkat!“
Kan kamu sendiri yang secara ngga langsung menyuruh Alena pergi dari hidupmu... 😤
Kalo Arga meminta Alena untuk balikan, jangan harap deh yah.. 😫
Kaya Jailangkung aja, datang tak dijemput pulang tak diantar /Facepalm/