Alena Prameswari percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya.
Tapi setelah tiga tahun menikah dengan Arga Mahendra, ia sadar bahwa kesetiaan tak akan berarti bila hanya satu pihak yang berjuang.
Saat pengkhianatan terbongkar, Alena memilih pergi. Ia menerima proyek desain di Dubai... tempat baru, awal baru.
Tanpa disangka pertemuan profesional dengan seorang pangeran muda, Fadil Al-Rashid, membuka lembaran hidup yang tak pernah ia bayangkan.
Fadil bukan hanya pria miliarder yang memujanya dengan segala kemewahan,
tetapi juga sosok yang menghargai luka-luka kecil yang dulu diabaikan.
Namun cinta baru tak selalu mudah.
Ada jarak budaya, gengsi, dan masa lalu yang belum benar-benar selesai. Tapi kali ini, Alena tak lari. Ia berdiri untuk dirinya sendiri... dan untuk cinta yang lebih sehat.
Akankah akhirnya Alena bisa bahagia?
Kisah ini adalah journey untuk wanita yang tersakiti...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 29.
Saat hendak keluar restoran pribadi itu, Noura berjalan lebih cepat. Tumit sepatunya berbunyi penuh percaya diri.
Khalid terpesona sejenak.
Hingga tiba-tiba... Noura tersandung karpet mewah. Tubuh wanita itu akan terjatuh, tanpa berpikir panjang Khalid langsung memegang bahu Noura.
“Kau baik-baik saja!?”
Noura buru-buru berdiri tegak.
“Aku tidak apa-apa, karpetnya benar-benar kurang ajar.”
“Itu hanya karpet…” ucap Khalid.
“Aku tahu itu karpet!!” Noura membalas cepat sambil mengibaskan rambut panjangnya dramatis. “Karpetnya yang iri, dia lihat aku lebih soft dan fluffy darinya.”
Khalid menatap Noura seperti melihat spesies baru. Sementara Fadil dan Alena sudah tak sanggup menahan tawa.
Mereka pun berpisah di lobby hotel.
Tapi ternyata… cerita belum selesai.
Alena menatap Khalid sekilas. “Tolong antarkan temanku pulang, aku dan Fadil ada urusan lain. Kami akan pergi ke istana di gurun, jauh dari sini.” Tanpa memberi kesempatan untuk protes, Alena menarik Fadil dan segera pergi bersamanya.
Noura berdiri kaku, merasa ditinggal tanpa peringatan.
“Aku akan mengantarmu,” ucap Khalid tenang.
Noura langsung memelototi pria itu. “Oh... jadi aku harus naik mobil pangeran gila yang suka memeluk orang seenaknya? Bagaimana kalau kau khilaf lagi dan memelukku? Aku belum pernah pacaran, aku masih suci! Oke?!”
Khalid menarik napas panjang, menahan diri agar tidak terpancing.
Ia kemudian menundukkan tubuhnya sedikit, wajahnya mendekat, cukup dekat untuk membuat Noura kaget dan menegakkan punggungnya.
“Aku sudah sadar sepenuhnya, aku tidak akan melakukan kesalahan lagi. Kecuali... kalau kamu sendiri yang mulai menggodaku.” Suara Khalid rendah, berat, dan seksi.
Noura mendengus keras. “Aku tidak tertarik pada pangeran, aku benci aturan kerajaan. Jadi jelas... aku tidak akan menggoda mu.”
Khalid mengangkat alis, seakan menantangnya. “Kalau begitu, apa lagi yang kamu takutkan? Masuk mobilku.”
Wanita itu merasa kesal, tapi pada akhirnya Noura melangkah masuk ke mobil. Benar juga, kenapa ia harus takut?
Di dalam mobil, suasana justru makin aneh. Supir Khalid memutar musik klasik kerajaan.
Noura mendengus. “Musik apa ini? Musik untuk orang tidur?”
Sekejap, Khalid menatap supirnya lewat kaca. “Putar lagu lain.”
Supir mengangguk dan langsung memutar lagu arab versi remix.
Tubuh Noura langsung bergerak-gerak mengikuti irama musik.
Khalid… terdiam. Dia benar-benar, speechless.
“Naaaah! Ini baru hidup!” seru Noura, bersemangat.
Khalid menatap Noura lagi.
Semakin lama, semakin sulit baginya untuk tidak tersenyum.
“Wanita ini… unik sekali,” gumamnya pelan namun terdengar.
Noura melirik Khalid dengan smirk nakal. “Jangan naksir aku ya, soalnya... aku mahal.”
Khalid tercenung, lalu tersenyum. “Aku seorang pangeran, aku tidak keberatan dengan sesuatu yang mahal. Apalagi untuk sesuatu yang unik dan menyenangkan...”
Noura langsung terbatuk-batuk, ia langsung memalingkan wajahnya ke jendela mobil untuk mengabaikan pria itu. Namun, pipinya sedikit memerah.
***
Noura baru sampai di apartemennya, dia menjatuhkan tubuhnya di sofa dan menghembuskan napas panjang.
“Astaga… pangeran mesum itu, sepertinya butuh terapi.”
Ia memijat pelipisnya.
Tiba-tiba getaran notifikasi terdengar.
📩 Unknown Number.
[ Ini aku, Khalid. Aku ingin bertemu lagi denganmu nanti. Aku… ingin meminta maaf dengan cara yang benar.]
Noura mengernyit, ia hendak menghapus pesan itu saja.
Namun pesan kedua masuk 📩
[Aku tahu kau tak suka seorang pangeran, tapi aku ingin berterima kasih. Karena untuk pertama kalinya… aku bisa tersenyum lagi. Itu semua, karenamu.]
Jari Noura terhenti di atas layar.
“Kalimatnya… menyedihkan juga sih.“
Ia menggigit bibir sebentar, lalu membalas singkat. [Besok siang, satu jam saja. Kita bertemu, di Café dekat Dubai Fountain.]
Pesan terkirim.
Detik berikutnya, Noura langsung menutup wajah dengan bantal.
“Aku gila! Aku gila! Kenapa aku harus kasihan padanya!”
.
.
.
Istana cabang, di ruang rahasia Dewan Kerajaan.
Lady Eleanor berdiri tegap di depan Pangeran Hasan, pria tua itu menatapnya seperti penguasa yang tidak lagi sabar terhadap permainan keluarga raja.
“Aku sudah menginvestigasi lagi tentang kecelakaan pada suamimu, Pangeran Al Rashid... Lady. Ternyata, Pangeran Aziz sudah melampaui batas. Selama ini, dia bersih di mata publik. Namun, dia kotor dengan darah yang di sembunyikan dalam bayang-bayang.”
Lady Eleanor menarik napas. “Akhirnya, kamu bertindak dengan bijak.“
Pangeran Hasan bersedekap. “Khalid juga sudah menyerahkan bukti manipulasi laporan kecelakaan tentang Humaira, itu juga adalah perbuatan Ayahnya. Dia bahkan siap, melawan ayahnya sendiri.”
“Khalid? Dia akan melawan ayahnya sendiri?” Lady Eleanor terkejut
“Katanya, demi keadilan untuk Humaira,” jawab Pangeran Hasan lirih. “Dan mungkin… untuk membersihkan hatinya dari dosa yang tidak ia lakukan.”
Lady Eleanor terdiam.
“Jika perang keluarga ini benar-benar meledak, dan Pangeran Aziz ditangkap serta diadili... posisi Pangeran Khalid akan runtuh. Dewan pasti menolak dia menjadi putra mahkota, aku membutuhkan Fadil. Dia harus kembali ke istana, kembali menjadi pangeran sekaligus penerus tahta. Karena, dia satu-satunya yang paling pantas.” Ucap Pangeran Hasan.
Lady Eleanor menghela napas panjang. Ia tahu keputusan itu berat, terutama bagi Fadil yang sudah jauh dari kehidupan istana. Apakah putra bungsunya itu mau kembali terikat dengan ambisi kekuasaan yang dulu membuatnya pergi?
Namun tiba-tiba, sebuah nama terlintas di benaknya. Ide itu muncul begitu saja, membuat senyumnya muncul tipis.
Masih ada… Ammar. Putra sulungnya!