Enam mahasiswa—Raka, Nando, Dimas, Citra, Lala, dan Novi—memutuskan untuk menghabiskan libur semester dengan mendaki sebuah bukit yang jarang dikunjungi di pinggiran kota kecil. Mereka mencari petualangan, udara segar, dan momen kebersamaan sebelum kembali ke rutinitas kampus. Namun, yang mereka temukan bukanlah keindahan alam, melainkan kengerian yang tak terbayangkan.
Bukit itu ternyata menyimpan rahasia kelam. Menurut penduduk setempat, kawasan itu dijaga oleh makhluk halus yang disebut “penunggu hutan”, sosok jin yang berwujud manusia tampan dan wanita cantik, yang gemar memperdaya manusia muda untuk dijadikan teman di alam mereka. Awalnya, keenamnya menertawakan cerita itu—hingga malam pertama di hutan tiba.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juan Darmawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiba Di Pos Pendakian II
Langkah Nando terhenti mendadak. Ia menegakkan tubuhnya, memicingkan mata. Dari jarak beberapa meter di depan jalur setapak, tampak seorang kakek tua berdiri diam di tengah jalan. Tubuhnya kurus, membungkuk sedikit, memakai baju lusuh berwarna cokelat keabu-abuan, dan memegang tongkat bambu.
Wajahnya dipenuhi keriput, tapi matanya tajam — menatap lurus ke arah mereka semua, seolah sedang menilai satu per satu.
Kakek itu perlahan mendekat berjalan dengan tongkatnya hingga akhirnya membuka mulutnya pelan, suaranya serak tapi jelas,
“Kalian… mau ke mana?”
Nando sempat menatap ke belakang ke arah teman-temannya. Semua terlihat tegang — terutama Novi, yang langsung bersembunyi di belakang Lala.
Nando mencoba bersikap sopan, walau suaranya sedikit gemetar.
“E… selamat pagi, Kek. Kami… mahasiswa dari kota. Mau mendaki ke bukit Arga Dipa.”
Kakek itu menatap mereka lama tanpa berkedip. Lalu perlahan, ia menggeleng.
“Tidak seharusnya kalian ada di sini.”
Dimas maju selangkah, berusaha menjelaskan.
“Kami cuma ingin lihat pemandangan, Kek. Gak berniat macem-macem.”
Kakek itu menunduk, menghela napas panjang, lalu menatap ke arah Novi — tepat di matanya.
“Di antara kalian… ada yang tidak suci. Alam di sini tidak suka.”
Novi langsung membeku. Wajahnya pucat pasi. Lala menatapnya dengan panik, sementara Citra menelan ludah, tak berani bicara.
Nando tertawa kecil, mencoba memecah suasana.
“Kakek, maksudnya apa ya? Kami gak ganggu siapa-siapa kok.”
Namun kakek itu malah menatap Nando tajam, suaranya kini lebih berat, hampir seperti bergema di telinga mereka.
“Pergilah… sebelum tanah ini menelan kalian
Nando memberanikan diri melangkah satu langkah ke depan, menatap kakek tua itu dengan wajah setengah bingung, setengah penasaran.
“Kek, kami udah jauh-jauh jalan dari bawah. Masa disuruh pulang begitu aja?
“Kami cuma mau lihat pemandangan di puncak, gak ganggu siapa-siapa kok.”
Suara Nando terdengar agak keras, berusaha meyakinkan dirinya sendiri lebih dari meyakinkan orang lain.
Kakek itu menatapnya lama. Sorot matanya dingin dan dalam, seperti tahu sesuatu yang belum mereka ketahui.
Perlahan, bibir keriputnya bergerak.
“Baiklah… jika kalian tidak mau mendengarkan…”
Nada suaranya berubah pelan tapi tegas — seperti ada ancaman di balik kata-katanya. Ia lalu memutar tubuhnya, langkahnya pelan tapi mantap menyusuri jalur semak di sebelah kanan. Suara tongkatnya mengetuk tanah berulang-ulang, tok… tok… tok…, makin lama makin jauh.
Tak ada yang berani bicara. Semua diam, hanya mengikuti suara langkah kakek itu sampai hilang ditelan hutan.
Beberapa detik kemudian, suasana kembali hening.
Nando menoleh ke belakang, melihat teman-temannya yang masih berdiri diam memandang ke arah semak tempat kakek tua itu tadi menghilang. Dengan nada setengah kesal, ia ngomong,
“Kok malah bengong? Katanya mau cepat sampai pos kedua! Ayo jalan, jangan buang waktu.”
Suara Nando memecah keheningan hutan yang mulai terasa menekan.
Dimas masih menatap ke arah semak itu.
“Ndo… lo beneran gak ngerasa aneh? Orang tua barusan bisa tiba-tiba muncul dari tengah hutan, dan hilang ke arah yang gak ada jalan.”
Nando menepuk bahu Dimas sambil tertawa kering.
“Ah, lo aja yang kebanyakan nonton film horor. Udahlah, jalan!”
Lala dan Citra saling pandang, tapi akhirnya ikut melangkah pelan.
Novi masih paling belakang, wajahnya tampak pucat.
***
Tiga puluh menit berlalu. Nafas mereka mulai tersengal, keringat bercucuran meski udara terasa dingin. Jalur menanjak semakin terjal, penuh akar pohon dan bebatuan licin.
Nando yang berjalan paling depan tiba-tiba berhenti dan menunjuk ke depan dengan napas terengah,
Tuh… liat! Pos kedua! Tinggal beberapa meter lagi!”
Semua menatap ke arah yang ditunjuknya. Di balik pepohonan, tampak sebuah gubuk kecil berdiri miring dengan atap yang sudah dipenuhi lumut. Dindingnya sebagian bolong, seolah lama tak tersentuh manusia. Tulisan “POS II” yang terpahat di papan kayu tampak samar, separuh hurufnya mengelupas dimakan waktu.
Citra tersenyum lega.
“Akhirnya… gue kira gak nyampe-nyampe.”