Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.
suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.
apa yang menanti anzu didalam portal?
ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.
ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kekuatan untuk melindungi
Pagi itu, Lembah Velmore Hollow dibalut cahaya lembut yang jatuh di antara pepohonan biru berembun. Kabut tipis masih menggantung seperti tirai halus, bergerak pelan saat angin lembut menyapu permukaan ladang.
Anzu sudah berdiri di sana sejak matahari belum sepenuhnya terbit. Tanah di sekitar kakinya masih dingin, tangan dan tubuhnya basah oleh keringat setelah memindahkan puluhan karung hasil panen.
Di sisi lain ladang, para Velmari menunduk hormat setiap kali ia lewat.
“Penjaga Senyap pagi-pagi sudah bekerja lagi…”
“Tenaganya nggak manusiawi…”
“Tidak heran panen kali ini melimpah…”
Komentar itu tidak membuat Anzu berubah ekspresi sedikit pun. Ia hanya menyelesaikan tugasnya satu per satu, bergerak efisien, tenang, dan penuh fokus seperti biasanya.
Setelah hampir satu jam bekerja, ia akhirnya beristirahat di bawah pohon kecil di tepi ladang. Nafasnya teratur, seakan bekerja sepanjang pagi hanyalah pemanasan biasa baginya.
Saat ia baru saja duduk, seseorang muncul dari balik rerumputan.
Lira.
Rambut peraknya memantulkan cahaya pagi, di tangannya ada kendi air dan sebungkus roti hangat. Senyumnya canggung, tapi tulus.
“Anzu… kau pasti haus.”
Ia menyodorkan air itu. Anzu hanya menatap sebentar, lalu menerimanya.
“Terima kasih.”
Lira juga menyerahkan roti kecil berisi madu. “Aku buat sendiri tadi pagi.”
Anzu mengambilnya. “Terima kasih.”
Lira ingin bicara lebih banyak, tapi ia hanya duduk di samping Anzu, menjaga jarak sopan. Sejak pengakuan cintanya yang ditolak seminggu lalu, ia menahan diri.
Tetap dekat, tapi tidak memaksakan apa pun. Hanya… mencoba tetap menjadi sosok yang bisa berdiri di samping Anzu tanpa menuntut.
Begitu Anzu selesai minum, Lira berdiri. “Kalau kau butuh bantuan—”
“Tidak,” jawab Anzu cepat.
Lira tertawa kecil. “Aku lupa. Kau jarang sekali butuh bantuan.”
Ia pun pergi dengan senyum tipis.
Dan seketika… ladang bergemuruh dengan bisik-bisik.
“Lira mengantar makanan ke Anzu lagi!”
“Dia masih dekat dengannya walau ditolak?!”
“Bukankah itu berarti… kita juga bisa?”
“Ya! Lira bukan satu-satunya yang punya kesempatan!”
Dalam hitungan detik, beberapa gadis Velmari berlari—bahkan melompat dari tebing kecil—mendekati Anzu dengan semangat seperti sedang berebut hadiah festival.
“Anzu! Kau mau buah ini?!”
“Tidak.”
“Aku buat kalung dari bunga untukmu!”
“Tidak perlu.”
“Kau… mau aku pijat bahu?”
“Jangan.”
Dikelilingi begitu banyak wanita membuat Anzu terdiam. Ia bingung, bukan karena godaan, tapi karena ia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
Saat itu, Lira baru berjalan beberapa langkah. Ketika ia menoleh dan melihat Anzu dikerumuni gadis-gadis lain, pipinya langsung menggembung.
“…Hah?!”
Wajahnya memerah, lalu berbuah marah.
Dengan langkah cepat dan aura halus yang memancar dari tubuhnya, ia kembali menghampiri kerumunan itu.
“Semua! Mundur dari Anzu!”
Gadis-gadis Velmari menoleh panik. “L-Lira?!”
“Dia hanya ingin istirahat!” ujar Lira sambil menarik Anzu menjauh. “Kalian membuatnya tidak nyaman!”
Anzu ditarik begitu saja, tanpa sempat menolak.
Dan gadis-gadis lain hanya bisa menghela napas kecewa. “Aaah… masih kuat juga Lira…”
Anzu akhirnya duduk kembali, sementara Lira berdiri dengan tangan di pinggang.
“Kau harus belajar menolak lebih tegas…” gumamnya.
“Aku sudah menolak,” jawab Anzu datar.
“Itu bukan penolakan. Itu… napas panjang dengan kata ‘tidak’,” sahut Lira.
Anzu hanya diam.
Lira memalingkan wajah dengan kesal kecil, tetapi tetap mengawasinya dari jarak tiga langkah—seolah memastikan tidak ada lagi yang mendekat.
Tapi saat suasana mulai normal…
Anzu tiba-tiba menyipitkan mata.
Ada sesuatu yang janggal.
“Berita pengakuan itu…” gumamnya pelan. “Tidak ada yang melihat kami malam itu. Kenapa seluruh lembah tahu?”
Hanya ada satu kemungkinan.
Ia berdiri dan langsung berjalan cepat ke arah dapur pusat.
Alfred sedang sibuk di dapur. Dengan celemek lusuh, spatula di tangan, dan roti yang hampir gosong di wajan, ia tampak begitu damai.
“Hahaha! Kalau gosong berarti lebih renyah!” ujarnya sambil mengacungkan roti itu ke udara.
Para Velmari tertawa melihat kekacauannya.
Namun… tiba-tiba bulu kuduk Alfred berdiri.
“Eeeh? Kenapa aku merasa seperti ada kematian mendekat?”
Ketika ia menoleh…
Anzu sudah berdiri di pintu dapur dengan wajah gelap, membawa balok kayu besar yang entah darimana ia temukan.
“Alfred.”
“H-hey Anzu… teman… sahabat… pendamping hidup perjuangan… pagi yang indah ya?”
“Jadi kau yang menyebarkan berita itu.”
“A-aku bisa jelaskan—”
“Kejar aku sambil jelaskan.”
“EH?! ANZU JANGAN SERIUS—”
Alfred langsung kabur.
“ANZU JANGAN KEJAR AKU DENGAN BALOK KAYU ITUUU!!!”
Anzu mengejarnya dengan ekspresi datar tapi aura gelap di belakangnya jelas mengatakan: Kau pasti kubantai hari ini.
Seluruh penduduk lembah langsung berhenti bekerja dan menonton.
“Wah! Anzu marah besar!”
“Alfred lari seperti kambing dikejar harimau!”
Alfred terus berlari zig-zag.
“AKU HANYA BILANG KALAU LIRA MENARIKMU DI MALAM BULAN PURNAMA ITU! AKU TIDAK BILANG KAU MENOLAKNYA!!!”
“Itu sama saja.”
“ITUUU TIDA—AAARGH!!”
Kejar-kejaran itu berakhir di jalan buntu.
Alfred mundur perlahan. “Anzu… dengarkan aku… kekerasan bukan solus—”
BUAAAKH!!!
Balok kayu mengenai kepalanya. Tidak kuat, namun cukup untuk membuat benjolan besar muncul.
Saat mereka kembali ke pusat lembah, Alfred jalan sempoyongan, memegang kepala dengan mata berair.
Seluruh Velmari tertawa puas.
“Ini pertama kalinya Anzu memukul seseorang karena gosip!”
“Alfred benar-benar pembawa warna di lembah ini…”
Mereka merasa hangat melihat Anzu bisa berekspresi.
Namun…
Malam itu.
Kehangatan berubah menjadi mimpi buruk.
Malam Festival Panen
Lembah dipenuhi cahaya lentera, aroma makanan, dan tawa. Musik dimainkan dengan genderang dan seruling lembut. Seluruh penduduk memuji Anzu dan Alfred.
“Tanpa kalian, panen tahun ini tidak akan sebesar ini!”
“Benar! Terima kasih!”
Alfred mengangkat mangkuknya. “Hahaha! Jangan lupa, aku juga berjasa!”
Anzu hanya mengangguk kecil.
Namun di tengah pesta…
Angin tiba-tiba berhenti.
Kabut turun cepat, tebal—seolah jatuh dari langit.
Lilin yang menyala padam satu per satu.
Hawa dingin merayap dari tanah, menusuk tulang.
Semua suara menghilang.
Anzu dan Alfred langsung berdiri.
“…Apa kau merasakannya?” bisik Alfred.
“Ya.”
Di balik kabut tebal… dua mata merah menyala.
Langkah besar mengguncang tanah.
Siluet raksasa muncul.
Lalu—
GROOAAARRRR!!!
Auman itu seperti petir memecah langit.
Para Velmari menjerit dan berlarian panik.
Pemimpin klan Vel’desh maju, wajahnya pucat.
“Tidak… mustahil… itu…”
Dari balik kabut muncul seekor serigala raksasa setinggi tiga rumah, bulu hitamnya dipenuhi duri kristal obsidian, kukunya panjang seperti tombak, dan napasnya mengeluarkan kabut merah.
Vel’desh bergetar.
“Itu Lygares…”
Ras Velmari serentak mundur ketakutan.
“Kami pikir ia akan bangun seratus tahun lagi… bukan sekarang…”
Lygares mengaum lagi. Dalam sekejap, dua pejuang Velmari terpental puluhan meter hanya karena hempasan angin dari aumannya.
“Siapkan pertahanan!” teriak Vel’desh.
Anzu dan Alfred langsung melompat ke depan.
Anzu menghunus pedang, aura merah gelap mengalir di sekitarnya.
“Alfred. Kiri.”
“Oke!”
Pertempuran meledak.
Pejuang Velmari menyerang dari berbagai arah, namun bulu Lygares terlalu keras. Setiap cakarannya merobek tanah, setiap gerakannya mengguncang lembah.
Dalam satu hembusan kabut merah, tiga prajurit terhempas sambil memuntahkan darah.
Alfred menyerang dari belakang dengan pedang pendek dan aura Gluttony berwarna hijau tua.
“Serangannya gila! Biar aku bantu dari sisi lain!”
Anzu menyerang dari depan, memotong udara. Pedangnya menghantam bulu Lygares, menimbulkan percikan api dan suara logam keras.
CLANG!
Masih terlalu keras.
“Tch…”
Lygares berbalik cepat.
GRAAAH!!!
Aumannya membuat udara bergetar.
Anzu, Alfred, dan seluruh pejuang Velmari memuntahkan darah dari hidung dan mulut.
Tubuh Anzu terhuyung.
Saat itu, monster itu langsung menerjang ke arah Alfred.
Alfred melangkah mundur, gemetar. “Sial…!”
WHAM!!!
Cakaran Lygares menghantam tanah, menciptakan kawah besar. Alfred terhempas keras, namun masih hidup meski terluka parah.
“Alfred!!!” teriak Anzu.
Anzu berlari, tapi tubuhnya masih goyah. Kakinya lemas karena serangan auman itu.
Pejuang Velmari satu per satu tumbang mencoba menahan Lygares.
Hingga hanya Alfred yang masih berdiri—meski tubuhnya bergetar, darah mengalir dari dahinya.
Lygares bersiap menerkamnya.
Anzu berteriak.
“ALFRED!!!”
Dan dunia… melambat.
Waktu berhenti.
Dalam diam itu, aura merah gelap menyelimuti tubuh Anzu.
Hangat.
Bergolak.
Namun terkontrol oleh tekadnya, bukan oleh Satan.
Aku tidak akan membiarkan siapa pun mati.
Anzu berdiri.
Aura merah gelap memekat seperti api padat.
Dalam sekejap, ia muncul tepat di depan Alfred.
Pedangnya menahan cakar Lygares.
BOOOM!!
Alfred terpana. “Anzu…?”
“Aku bilang mundur.”
Anzu mendorong Lygares beberapa meter ke belakang.
Lalu ia mengangkat pedangnya. Aura mengalir seperti badai.
“—AETHER STRIKE!”
Pedangnya memotong udara, melepaskan gelombang aura merah gelap yang padat seperti besi, menghantam tubuh Lygares.
ZZZZWRAAAASH!!!
Bahu monster itu robek, darah hitam menetes.
Namun Lygares belum tumbang.
Alfred maju. “Aku bisa—”
“Tidak.”
Anzu menatapnya dengan mata merah.
“Aku yang menangani ini.”
Alfred menggigit bibir, namun tahu Anzu benar. Ia mundur sambil menahan luka.
Pertempuran dimulai lagi.
Anzu menutup mata.
Saat membuka—tatapannya tajam, dingin.
Pedangnya menari.
Setiap serangan menimbulkan gelombang aura yang memecah udara.
Lygares membalas dengan cakaran besar yang mencabik tanah.
Mereka sama-sama terluka.
Darah Anzu mengalir, tetapi ia tidak berhenti.
Aura merah gelap di tubuhnya menyala seperti meteor.
Tekadnya…
Melindungi.
Melindungi… apa pun yang berharga baginya.
Saat Lygares melompat untuk serangan terakhir—
Anzu juga melompat.
Dua sosok itu saling bertabrakan.
BOOOOOOM!!!
Suara dentuman mengguncang lembah.
Semua terdiam.
Kabut perlahan memudar.
Dan…
Lygares roboh ke tanah, tewas.
Anzu berdiri di belakangnya… sebelum tubuhnya jatuh berlutut.
Nafasnya berat. Matanya redup.
Namun ia tersenyum tipis.
“Lihat… Ayah… aku sudah…”
Tangan kanannya mengepal.
“Aku sudah punya kekuatan untuk melindungi…”
Dalam detik terakhir sebelum pingsan, wajah Reinhard—ayah angkat yang ia sayangi—terlintas begitu jelas.
Lalu Anzu ambruk sepenuhnya.
Alfred, walau tubuhnya luka parah, berlari dan menangkapnya sebelum jatuh ke tanah.
“Anzu… bertahanlah…”
Ia menggendong Anzu, berjalan terguncang menuju rumah pemimpin ras.
Semua penduduk menunduk hormat.
Malam itu…
Lembah selamat.
Tetapi perang yang lebih besar… baru saja dimulai.
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪