NovelToon NovelToon
Sebungkus Mie Instan

Sebungkus Mie Instan

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Selingkuh / Janda / Romansa
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Tika Despita

Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.

Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Aku lihat ibuk dan Kevin, pakaiannya benar-benar rapi banget. Sedangkan aku berpakaian seadanya. Jujur aja, selama nikah sama Bang Rendra, aku hampir gak pernah beli pakaian baru. Semua bajuku kayaknya udah ketinggalan mode. Bahkan yang aku pakai sekarang ini aja, baju di zaman aku masih gadis dulu.

“Kamu cuma pakai itu aja, Aini?” tanya ibuk, menatapku dari atas sampai bawah dengan alis berkerut.

“Iya, Buk,” jawabku pelan sambil menatap ujung bajuku yang udah mulai pudar warnanya.

“Gak ada baju lain? Itu kan pakaian kerja kamu, bukan buat acara,” ucap ibuk lagi. Nada suaranya lembut, tapi entah kenapa terasa nyentil.

Aku mengangkat bahu. “Cuma ini yang ada, Buk. Selebihnya ya daster. Ibuk mau, Aini ke rumah Tante Ratna pakai daster?” sahutku sambil nyengir, mencoba mencairkan suasana.

Ibuk menghela napas, tapi sebelum dia sempat ngomel, Kevin keluar dari kamarnya sambil membawa sebuah hoodie abu-abu.

“Lebih baik Mbak pakai ini aja,” katanya sambil mengulurkan hoodie-nya ke aku.

“Kelihatan santai tapi tetap rapi.”

Aku menatapnya sebentar lalu tersenyum. “Ide kamu bagus juga,Vin” Aku langsung ambil dan memakainya di depan kaca kecil di ruang tamu. Ternyata pas juga di badan.

“Udah nih, ayo kita berangkat ke rumah Tante Ratna,” ucapku mencoba semangat, meski jujur aja, aku malas banget pergi. Ngerayain ulang tahun Pak Arsya bukan sesuatu yang aku tunggu-tunggu dan bukan gayaku untuk acara-acara kayak gitu.

Kami berempat berjalan ke rumah Tante Ratna yang berada di depan rumah kami ini. Dari halaman rumah kami saja udah kelihatan beliau berdiri di depan teras rumah dengan senyum lebar dan tangan melambai-lambai.

“Akhirnya kalian datang juga! Sekarang tinggal tunggu satu orang lagi buat kasih kejutan ke Arsya,” kata Tante Ratna begitu kami mendekat.

Kami masuk ke dalam rumah, suasananya hangat dan harum masakan. Aku dan ibuk langsung bantu Tante Ratna menyusun hidangan ke meja makan. Banyak banget menunya, mulai dari ayam panggang, sayur lodeh, sampe puding warna-warni.

“Oh ya, Tante,” kataku sambil menata piring, “kalau ulang tahun, bukannya harus ada kue ulang tahunnya?”

Tante Ratna tersenyum misterius sambil menyusun lilin kecil di meja. “Tenang aja, Aini. Satu orang lagi yang Tante undang, dia yang bakal bawa kuenya.”

Bel rumah tiba-tiba berbunyi.

“Biar Aini aja yang bukain, Tante,” kataku cepat, lalu berjalan ke depan.

Begitu pintu terbuka, aku dan orang di depanku sama-sama terkejut.

“Mbak Risa?” ucapku refleks.

Ternyata benar, sosok yang ditunggu Tante Ratna itu adalah Mbak Risa. Wah, sepertinya hubungan Mbak Risa dan Pak Arsya ini bukan cuma sekadar atasan dan bawahan.

“Ayo masuk, Mbak,” ucapku ramah.

Mbak Risa mengangguk, tapi matanya menatapku penuh tanya. Aku bisa membaca ekspresinya ,mungkin dia heran kenapa aku bisa ada di sini. Aku pengin jelasin, tapi kayaknya biar Tante Ratna aja yang ngomong nanti.

“Eh, cantiknya Tante datang!” seru Tante Ratna sambil memeluk Mbak Risa dan mencium pipinya kiri-kanan.

Kevin yang dari tadi duduk di sofa langsung melongo. Tatapannya gak lepas dari sosok Mbak Risa yang memang kelihatan elegan banget dengan dress sederhana tapi manis.

“Biasa aja liatnya! Mbak Risa emang cantik, tapi kamu gak perlu sampai mangap gitu juga Vin!” sindirku sambil menyenggol bahunya.

Kevin nyengir malu. “Mbak, sumpah, dia kayak bidadari,” bisiknya.

“Ssst! Mungkin itu pacarnya Den Arsya,” tegur ibuk pelan tapi cukup membuat Kevin buru-buru merapatkan mulutnya.

"Risa kenalin,mereka ini tetangga Tante. Sekaligus sudah Tante anggap keluarga!" ucap Tante memperkenalkan kami ke mbak Risa dan mbak Risa pun terbangun ramah ke arah kami.

"Pantas saja Arsya lumayan akrab dengan Aini. Ternyata Aini tetanggaan dengan Arsya,"angguk mbak Risa. Tapi entah kenapa seperti kekecewaan terdengarnya.

“Arsya-nya belum datang, Tante?” tanya Mbak Risa mengalihkan pembicaraan lalu lebih memilih membuka kotak kue tart dan menaruhnya di meja.

“Belum, paling bentar lagi. Ayo, kita matikan dulu semua lampu, biar nanti ada surprise-nya,” kata Tante Ratna dengan semangat.

Aku bergegas mengambil Keenan yang sedang duduk di pangkuan Kevin, lalu memeluknya erat. Takut dia kaget kalau lampu tiba-tiba padam.

Tak lama, terdengar suara mobil masuk ke halaman. Jantungku ikut berdebar. Sepertinya Pak Arsya sudah datang.

“Ma..ma..” suara Pak Arsya terdengar dari arah pintu, nadanya agak panik.

“Kok lampunya mati, Ma?”

Langkahnya semakin mendekat ke ruang tengah. Semua menahan tawa. Begitu dia melangkah masuk, Kevin menyalakan lampu sesuai rencana.

“Surprise!” seru Tante Ratna keras-keras.

Ruangan langsung riuh. Lagu ulang tahun pun dinyanyikan bersama, bahkan Keenan ikut tepuk tangan sambil tertawa kegirangan.

Yang ulang tahun siapa, tapi anakku yang paling heboh.

Saat Pak Arsya meniup lilin, matanya sempat bertemu dengan mata Mbak Risa. Sekilas suasana jadi hening.

Tante Ratna buru-buru mengarahkan, “Ayo, Risa, taruh kuenya di meja. Arsya, berdiri di sebelah sini, tiup lilinnya bareng.”

Aku memperhatikan dari sudut meja. Tapi entah kenapa, saat mereka berdiri bersebelahan di depan kue, aku merasa tatapan Pak Arsya bukan ke arah kue… melainkan ke arahku.

Atau jangan-jangan aku aja yang geer?

**

Proses tiup lilin dan potong kue pun berjalan lancar, seperti ulang tahun pada umumnya. Potongan kue pertama tentu diberikan untuk orang tua. Tapi yang menarik justru potongan kedua, yang biasanya diberikan kepada seseorang yang dianggap spesial.

Pak Arsya masih memegang potongan kue itu di tangannya, belum juga diberikan kepada siapa pun. Namun tiba-tiba Tante Ratna bersorak riang.

“Kasih ke Risa dong Sya! Ayo suapin Risanya dong! Suapin!” teriaknya penuh semangat.

Ibuk dan Kevin langsung ikut-ikutan bersorak memberi semangat, bikin suasana tambah riuh.

Sedangkan aku… ya, aku cuma ikut tepuk tangan aja. Mau gimana lagi, masa aku diem sendiri? Nanti malah dibilang gak sportif.

Mbak Risa tampak sedikit malu waktu disuapin kue ulang tahun oleh Pak Arsya, tapi yang aneh, ekspresi Pak Arsya datar banget malah kayak kanebo kering yang dijemur.

“Keenan, mau kue ini?” tanya Pak Arsya tiba-tiba, memecah suasana.

“Mau, Om!” jawab Keenan antusias sambil menepuk-nepuk tangan kecilnya.

“Tapi makan nasi dulu, ya. Kalau Keenan makan nasi, nanti Om kasih kue ini semuanya buat Keenan,” katanya lembut.

Keenan langsung mengangguk semangat, membuat semua orang tertawa kecil.

Makan malam pun dimulai. Hidangan di meja benar-benar menggoda ada ayam panggang, tumis buncis, sambal matah, dan puding warna-warni. Mbak Risa dengan sigap mengambilkan nasi dan lauk untuk Pak Arsya, bahkan menuangkan air minum ke gelasnya. Perhatiannya bikin Tante Ratna tersenyum bahagia, seolah melihat menantunya sendiri.

Sementara aku sibuk menyuapi Keenan. Untung anakku ini gak ribet urusan makanan. Apa aja dimakan dengan lahap. Kalau kata orang, anak yang tahu diuntung.

“Aini, kamu gak ikutan makan?” tanya Pak Arsya tiba-tiba, suaranya membuat semua kepala serentak menoleh ke arahku.

Aku tersenyum kikuk. “Saya gak lapar, Pak. Tadi udah makan di rumah. Jadi saya nyuapin Keenan aja.”

“Kapan Mbak makannya?” celetuk Kevin tiba-tiba, bikin aku langsung melotot ke arahnya.

Kevin terdiam sepersekian detik, lalu tertawa kering.

“Eh iya, tadi Mbak udah makan, aku aja yang gak ingat,” katanya cepat-cepat, jelas panik karena tatapan mataku sudah cukup untuk bikin dia kapok.

Selesai makan malam, aku menyuruh Kevin duluan pulang sambil membawa Keenan. Bocah kecil itu sudah mulai menguap dan matanya sayu. Sebelum mereka pergi, Pak Arsya sempat memberikan kue ulang tahunnya untuk dibawa pulang. Katanya, biar nanti Keenan bisa makan kue itu di rumah.

Setelah mereka pulang, aku dan ibuk membantu Tante Ratna beres-beres meja dan mencuci piring.

“Terima kasih banyak ya, sudah bantuin Tante. Kalau gak ada kalian, kejutan buat Arsya gak bakal sesukses ini,” ucap Tante Ratna dengan tulus.

“Sama-sama buk Ratna,” jawab ibuk ramah, sementara aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil.

“Aini, kamu pulang dulu aja. Keenan pasti susah tidur kalau gak ada kamu. Lagian jangan percaya Kevin, dia pasti sibuk main game di ponselnya,” kata ibuk menatapku lembut tapi tegas.

“Tapi ini masih banyak yang belum dicuci, Buk,” ujarku sambil melirik tumpukan piring di wastafel.

“Biar ibuk yang kerjain. Kamu pulang aja, Nak.”

Akhirnya aku mengangguk. Setelah pamit pada Tante Ratna, aku melangkah keluar. Tapi begitu sampai di depan pintu, langkahku otomatis berhenti.

Di teras, kulihat Pak Arsya sedang berbicara serius dengan Mbak Risa. Wajah keduanya tegang. Aku refleks bersembunyi di balik pintu, bingung harus keluar atau menunggu mereka selesai. Suara mereka terdengar cukup jelas, bahkan beberapa kali nada Pak Arsya meninggi.

“Apa maksud kamu dengan ini semua, Risa?” suara Pak Arsya terdengar tajam.

“Sya... aku cuma diundang Tante tadi,” jawab Mbak Risa pelan, matanya menunduk.

“Aku udah bilang sama kamu, hubungan kita cuma sebatas atasan dan bawahan sekarang. Jangan berharap lebih, Risa,” ucap Pak Arsya, suaranya tegas tapi juga terdengar berat.

“Aku tahu, Sya... tapi apa salahnya kalau aku pengin mencoba dari awal lagi? Aku yakin kamu masih punya perasaan yang sama kayak dulu,” kata Mbak Risa lirih.

Hening sejenak. Lalu suara Pak Arsya terdengar lagi, kali ini lebih dalam, seolah menahan emosi.

“Hubungan dan perasaan itu udah berakhir sejak kamu... menggugurkan anak itu.”

Deg. Aku refleks menutup mulut. Mataku membulat.

“Hah? Pak Arsya... dan Mbak Risa...?” gumamku dalam hati, nyaris gak percaya dengan apa yang baru kudengar.

“Sya, berapa kali aku harus bilang, waktu itu aku belum siap jadi ibu. Anak itu hadir di saat kita belum menikah. Apa kata orang nanti?” ucap Mbak Risa, suaranya mulai bergetar.

“Dan berapa kali harus aku bilang, aku gak peduli omongan orang, Risa! Aku siap bertanggung jawab, karena itu anakku. Dia gak bersalah. Yang salah itu kita, kita yang khilaf!” suara Pak Arsya meninggi, tapi bukan marah malah lebih ke arah kecewa dan terluka.

Aku berdiri kaku di balik pintu, jantungku berdegup kencang. Antara gak percaya dan gak tahu harus berbuat apa.

“Ya Allah...” lirihku pelan.

Tiba-tiba pintu di buka dari luar. Aku belum sempat mundur, dan mendapati Pak Arsya berdiri tepat di hadapanku saat ini. Matanya langsung menatap tajam, penuh tanda tanya.

Aduh, mati aku! Pasti dia mikir aku nguping!

Aku berdiri kaku sambil pura-pura senyum, tapi wajahku jelas pucat.

"Aini, kali ini kamu cari masalah sendiri!" ucapku panik dalam hati.

1
Kala Senja
Bagus ceritanya
Qhaqha
Semoga suka dengan karyaku ini... 😊😊😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!