Kiara terpaksa menikahi Orion karena satu tujuan yaitu untuk balas dendam. Dirinya merasa dipermainkan oleh Leonard Arven Hadinata, anak sulung sebuah keluarga konglomerat Hadinata. Kiara dan Leo sudah menjalin hubungan cukup lama dan dijanjikan akan dinikahi suatu hari nanti. Namun sang pria justru menghilang tanpa satu alasan. Kiara hingga merasa sedih dan kecewa.
Kiara melakukan sebuah pernikahan kontrak dengan Orion Alaric Hadinata, sang putra tidak sah alias anak haram Hadinata. Dari Aditya Pramana Hadinata, sang kepala keluarga dengan seorang wanita yang tak diketahui siapapun. Sekaligus adik tiri dari sang putra sah yaitu Leonard.
Orion menyetujui pernikahan itu karena ia juga ingin menghancurkan keluarga yang selama ini merawatnya dari kecil. Juga untuk mencari tau dimana keberadaan ibu kandungnya sekarang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NABABY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah dan Rasa
Di kantor utama perusahaan Hadinata, Leo berjalan tegap memasuki lobi utama. Beberapa pekerja membungkuk memberi salam. Sedangkan Leo hanya berjalan tanpa melihat mereka.
Pintu lift terbuka, Leo langsung masuk untuk menuju lantai atas. Lantai satu, lantai dua, begitu juga seterusnya.
Pintu lift terbuka, Leo langsung keluar dan berjalan menuju ruangan ayahnya. Pintu ruang kerja Aditya, sang pemimpin besar perusahaan terbuka lebar seolah memang sudah menunggunya.
“Duduk.” Suara Aditya berat namun penuh wibawa. Leo menuruti dengan langkah malas lalu menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Ada apa ayah memanggilku?"
“Aku dengar kabar, kau kembali berulah ya? Mengganggu istri Orion, Kiara? Apa kau sudah kehilangan akal sehat?” Jelas Aditya menatap Leo dengan tatapan tajam. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja mencoba menahan amarahnya.
Leo tersenyum miring, mencoba menutupi kegelisahannya. Dia tidak kaget jika ayahnya tau apa saja yang dia lakukan saat di Dieng kemarin.
“Aku hanya bicara dengannya, Ayah. Tidak lebih.”
“Jangan berbohong di depanku.” Aditya menggebrak meja, membuat suasana dalam ruangan makin mencekam.
“Kiara adalah istri sah Orion, bukan boneka mainanmu. Kau ingin mempermalukan keluarga kita di depan semua orang? Apa kau lupa dengan janjimu dulu? Kau sudah bilang pada ayah jika kau tidak akan pernah menemuinya lagi.”
Leo mengepalkan tangannya di atas lutut, menahan emosi. Ingin sekali dia berteriak, namun dia terlalu takut pada ayahnya. Bagi Leo, Aditya adalah sosok yang paling dia banggakan dan hormati.
“Aku tidak bermaksud begitu ayah. Tapi kenapa ayah selalu menekanku? Aku juga anak ayah, bukan hanya Orion! Kenapa harus aku yang selalu ngalah?”
Aditya menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya. Tatapannya berubah dingin. Dia sadar dirinya memang kurang memperhatikan Leo. Apalagi setiap melihat Leo, Aditya selalu teringat dengan kejadian Kirana. Tapi dia tau, dia tak seharusnya melampiaskan semuanya pada Leo.
"Sebaiknya aku harus mencarikanmu calon istri." Aditya akhirnya mengatakan apa tujuannya.
"Maksud ayah apa?" Leo masih tak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.
“Aku sudah merencanakan sesuatu untukmu. Kau akan dijodohkan dengan Arleta.”
Leo langsung menegakkan tubuhnya.
“Apa? Arleta?!” Nada suaranya meninggi. “Ayah bercanda? Aku tidak akan pernah mau!” Leo langsung berdiri.
“Dia gadis baik, putri keluarga terhormat, dan teman masa kecilmu juga. Dengan menikahinya, reputasimu akan menjadi baik. Daripada kau terus mengejar istri adikmu. Itu satu-satunya jalan yang baik untuk kita semua.” Jelas Aditya.
Tentu Leo menolak mentah-mentah.
“Tidak! Aku tidak mau! Aku bahkan tidak mencintainya! Jangan atur hidupku seolah aku ini pion catur milik ayah!” Suara Leo tinggi memenuhi seisi ruangan.
Aditya tetap duduk tenang, bahkan menyesap kopi miliknya sebelum menjawab dengan suara rendah namun menusuk.
“Kalau begitu, bersiaplah. Kau tak akan mewarisi apapun dariku. Semua akan jatuh ke tangan Orion. Uang, saham, bahkan perusahaan. Kau tidak akan dapat sepeser pun.”
Leo terdiam. Ancaman itu menghantamnya seperti petir di siang bolong. Rahangnya mengeras, dadanya berdegup kencang, namun ia tahu tak punya pilihan. Ancaman itu selalu membuat Leo tak berkutik. Setiap kali Leo tak ingin menurut, selalu, Aditya memakai ancaman itu. Karena Aditya tau, Leo sangat tidak ingin kalah dari adik tirinya.
“Ini… tidak adil…” Gumamnya pelan. Suaranya penuh amarah dan kepahitan.
“Dunia ini memang tidak adil, Leo,” balas Aditya santai. “Belajarlah menerimanya, atau tenggelam sendirian.”
Leo menatap ayahnya dengan penuh benci, lalu menghempaskan kursi saat berdiri. Ia keluar dari ruangan itu dengan langkah keras. Amarahnya makin meluap didalam dadanya. Tangannya terkepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Di koridor, wajah Leo memerah, matanya menyala. Ia terpaksa menerima keputusan itu, tapi hatinya penuh penolakan.
......................
Pagi itu, di rumah Orion masih tenang dengan cahaya matahari yang lembut menembus tirai di ruang tamu. Orion berdiri tak jauh dari Kiara, menatap penuh kesabaran.
“Ayo, pelan-pelan saja. Jangan terburu-buru. Aku akan membantumu” Ucap Orion lembut, tangannya terulur untuk menopang tubuh Kiara yang masih kesulitan melangkah. Orion masih telaten membantu Kiara untuk berjalan.
Kiara mengangguk pelan, wajahnya tegang tapi berusaha percaya diri. Satu langkah, dua langkah, lalu satu langkah lagi. Tubuhnya sedikit limbung, tapi Orion sigap menopang.
“Kau bisa. Hanya beberapa langkah lagi.” Orion memberi semangat.
Namun tiba-tiba, kaki Kiara kehilangan keseimbangan. Dirinya sesikit tersandung dan tanpa sempat menahan diri, tubuhnya jatuh ke arah Orion. Pria itu terkejut, ikut terdorong ke belakang hingga akhirnya mereka berdua terjatuh ke sofa.
"Aduh..." Kiara meringis kesakitan.
Kiara mendesah pelan, tubuhnya menindih Orion. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti, mata mereka berdua bertemu dalam diam. Napas keduanya juga terasa amat dekat. Seakan waktu berhenti sesaat.
Orion menelan ludah, matanya berkedip cepat. Kiara sendiri merasakan pipinya panas, jantungnya berdetak tak karuan. Posisi jatuh mereka sama persis saat Sarah terjatuh menindih Orion. Bahkan posisi tangan Orion juga tepat menyentuh buah dada Kiara.
Menyadari posisi mereka, Kiara buru-buru bangkit dengan wajah memerah.
“M-maaf! Aku tidak sengaja…” Orion langsung menarik tangannya. Orion duduk, mengusap tengkuknya dengan canggung.
“Tidak apa-apa." Wajah Kiara terlihat sangat merah.
Keheningan singkat menyelimuti ruangan. Mereka berdua saling menghindari tatapan, seakan malu atas momen tak terduga barusan. Namun di balik rasa kikuk itu, ada sesuatu yang bergetar halus dalam hati mereka. Sesuatu yang tak bisa mereka akui begitu saja.
Orion melihat tangannya yang barusan memegang sebuah benda empuk seperti jeli. Wajah Orion seketika memerah. Dia mengingat moment dimana dia memegang payudara Kiara.
"Kiara, aku sungguh minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk memegang itu." Orion panik, takut jika Kiara akan marah padanya.
Kiara masih duduk memeluk kakinya tak mampu melihat Orion. Orion kini tak bisa berkata-kata lagi. Dirinya sudah pasrah, dia lapang dada jika Kiara akan marah pada dirinya.
"Tinggalkan aku sendiri. Aku mohon." Suara Kiara lirih, tapi Orion mampu mendengarnya dengan jelas.
Orion mengangguk. Dia segera berdiri. "Jika kamu butuh sesuatu, kamu bisa panggil aku di dapur." Orion langsung berjalan cepat, pergi meninggalkan Kiara untuk memberi sedikit ruang pada gadis itu.
Sesampainya di dapur, Orion masih melihat tangannya yang menyentuh bagian sensitif Kiara. Dia merasa ada sesuatu aneh dan mengeras dalam celananya. Dia langsung duduk di lantai.
"Sial, aku bisa gila jika begini terus. Tapi, kenapa punya Kiara terasa sangat kenyal? Aku ingin menyentuhnya lagi." Ucapnya tanpa sadar.
Seketika dia langsung menampar pipinya sendiri. Mencoba membuat sadar jika pikirannya sudah makin kacau.
"Sadar Orion, dia bukan orang yang tidak bisa kau pakai begitu saja." Ucap Orion yang terus menepuk-nepuk pipinya. Meski begitu pipinya makin memerah.