Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belum Bisa Jujur
Pintu ruangan menutup keras, meninggalkan gema yang membuat atmosfer seketika hening. Yuna yang sejak tadi berbaring hanya bisa menarik napas panjang, lalu menutup matanya rapat-rapat. Dia tidak ingin Rizal menyadari bahwa dia sama sekali tidak bisa melihat.
Jihan, yang masih berdiri di sisi ranjang, mengelus lembut rambut cucunya.
“Sudah, nak. Jangan pedulikan kata-kata orang yang tidak pernah benar-benar mengerti kamu.”
Rizal meremas tangan Yuna lebih erat, seolah ingin mengalirkan kekuatan.
“Mas di sini. Mas nggak akan biarkan siapapun nyakitin kamu.” Suaranya bergetar, kali ini tanpa bisa ia sembunyikan.
Indra berdiri kaku, wajahnya penuh dilema. Ada rasa bersalah yang begitu besar, bercampur amarah pada Sania, juga penyesalan yang menusuk. Tatapannya jatuh pada putrinya, tapi sulit baginya untuk bicara.
Beberapa menit kemudian, perawat masuk membawa obat-obatan untuk Yuna. Setelah memastikan kondisinya stabil, ia keluar lagi.
Rizal menatap Yuna yang tampak masih lemah, lalu membungkuk mendekat.
“Kamu istirahat dulu, ya? Jangan pikirin tante Sania tadi.”
Yuna membuka bibirnya perlahan, suara seraknya nyaris tak terdengar.
“Mas… kalau aku ikut Eyang, kamu marah nggak?”
“Kenapa mas harus marah? Yang penting kamu sehat. Kalau sama Eyang kamu bisa lebih tenang, mas justru lega.” Rizal menatapnya dalam, lalu tersenyum tipis meski matanya berkaca-kaca.
Yuna mengangguk kecil, lalu menahan tangisnya. Senyum samar tersungging di bibirnya, meski hati terasa perih.
Di sudut ruangan, Raden menatap keduanya dengan sorot penuh makna. Seolah ia sadar, ada rahasia yang disembunyikan Yuna—sesuatu yang tak diucapkan, tapi bisa ia baca lewat bahasa tubuh gadis itu.
*****
Kali ini seorang perawat masuk, wajahnya cemas.
“Maaf, Pak Indra… Bu Sania meminta Bapak segera ke ruang radiologi. Katanya hasil CT Scan Nona Nadine sudah keluar dan beliau ingin Bapak ada di sana.”
Indra menatap Yuna sejenak, hatinya terbelah dua. Namun akhirnya ia bangkit dengan langkah berat.
“Baik… aku akan ke sana.”
“Papi keluar sebentar, istirahatlah." Ucapnya sebelum keluar dari ruangan.
Pintu kembali tertutup, meninggalkan Yuna bersama orang-orang yang benar-benar peduli padanya.
*****
Indra berjalan cepat menuju ruang rawat Nadine setelah menerima laporan dari dokter bahwa hasil CT scan putrinya baik-baik saja. Namun, di dalam hati ia tahu, Sania pasti akan membuat masalah dari ini.
Begitu pintu kamar terbuka, Indra melihat Nadine berbaring lemah di ranjang, dengan Sania setia duduk di sampingnya. Sania langsung menoleh, wajahnya masam.
“Baru sempat datang, Mas? Dari tadi Nadine sendirian. Untung Mama ada di sini.” Suaranya ketus, penuh sindiran.
Indra menarik napas panjang, berusaha menahan emosi. Ia menatap Nadine dengan sorot mata lembut, lalu mendekat ke ranjang.
“Nadine… Dokter bilang hasilnya bagus. Jadi Papi lega, kamu baik-baik aja.”
Nadine menoleh perlahan, matanya berkaca-kaca. Suaranya serak seolah habis menahan tangis.
“Papi… aku beneran sakit. Kepala aku masih berdenyut. Tapi Papi… jaga Yuna, ya?”
Indra tertegun. Ada rasa bersalah yang menyelinap, meski ia tahu kebenarannya berbeda.
Indra juga menyayangi Nadine, bagaimanapun anak itu tumbuh dewasa bersama dengannya.
“Papi nggak pernah pilih kasih, Nak. Papi cuma… khawatir sama kalian berdua. Kamu juga anak Papi. Papi juga sayang sama kamu.”
Sania langsung menyambar.
“Kalau sayang, kenapa tadi Mas nggak dateng waktu Nadine sampai harus CT scan! Jangan cuma peduli sama Yuna, seolah Nadine nggak ada.”
Indra menatap Sania dengan rahang mengeras, lalu kembali menunduk pada Nadine. Ia mengusap rambut anak tirinya itu dengan lembut.
“Dengar, Nadine… kamu penting buat Papi. Kalau ada yang sakit atau butuh sesuatu, bilang ke Papi langsung. Jangan pernah merasa kamu dikesampingkan.”
Nadine menahan senyum kecil, namun ia tetap berakting lemah.
“Kalau begitu… Papi jangan tinggalin aku lagi. Aku takut sendirian.”
Indra mengangguk pelan, hatinya diliputi dilema.
Sania menghela napas keras, jelas tak setuju dengan cara Indra merespons. Tapi Nadine tahu, ia sudah menanam benih rasa bersalah di hati ayah tirinya. Dan itu sudah cukup.
*****
Ruangan VVIP itu akhirnya hening. Setelah banyak orang datang dan pergi, hanya Rizal yang tersisa di sisi ranjang Yuna. Eyang Jihan sudah pulang sebentar ke rumah lamanya, sementara Raden sibuk menyiapkan segala dokumen dan kebutuhan Yuna untuk keberangkatan mereka ke Singapura. Bahkan keluarga Hangga yang sempat mampir, sudah berpamitan pulang.
Rizal duduk di kursi tepat di samping ranjang. Tangannya masih menggenggam tangan Yuna erat, seolah takut kalau gadis itu kembali hilang. Sesekali ia menghela napas panjang, memandang wajah Yuna dengan tatapan yang sarat rasa sayang dan khawatir.
“Mas janji, Yuna… apa pun yang terjadi, mas bakal selalu di sini.” Bisiknya lirih, nyaris hanya terdengar dirinya sendiri.
Yuna mendengar, tapi ia memilih diam. Senyum samar muncul di bibirnya, meski matanya tetap terpejam. Baginya, cukup mendengar suara itu saja sudah membuat hatinya sedikit tenang.
Tak lama, suara Rizal makin jarang terdengar. Genggamannya pada tangan Yuna melemah. Hingga akhirnya, napasnya teratur, disertai dengkuran halus.
Yuna membuka sedikit matanya. Kegelapan tetap sama, tak ada cahaya yang mampu ia lihat. Tapi telinganya cukup tajam untuk menangkap bunyi lirih itu. Bibirnya melengkung tipis.
Perlahan, ia mengulurkan tangannya yang lemah, mencari-cari hingga menemukan kepala Rizal yang bersandar di sisi ranjang. Ujung jarinya menyentuh surai hitam lembut milik lelaki itu.
Dengan hati-hati, Yuna membelai rambut Rizal. Gerakannya lambat, penuh perasaan. Seolah setiap sentuhan adalah ucapan terima kasih yang tak sanggup ia ucapkan dengan kata-kata.
“Maaf, Mas…” Bisiknya lirih, nyaris patah.
“Kalau aku belum bisa jujur sama kamu. Kalau aku belum bisa lihat wajahmu lagi….”
Air matanya menetes, jatuh membasahi pipinya. Namun ujung jari yang masih membelai rambut Rizal. Sedangkan Rizal tetap terlelap, tidak sadar akan pergulatan batin Yuna.
Yuna menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Kalau kamu tahu aku buta… apa kamu masih akan tetap di sini? Tanyanya dalam hati, getir.
Setiap bayangan masa lalu, saat momen-momen bersama Rizal, perlahan berubah menjadi ingatan samar.
Untuk kedepannya... Yuna sendiri tak yakin, apakah dia bisa berjalan dan matanya bisa melihat kembali?
Kalau dirinya masih tetap bertahan di sisi Rizal yang kehidupannya nyaris sempurna, bukankah dia jadi egois?
Apa ini takdirku, mas?
Kebahagiaan untuk milikin kamu hanya sebatas ini...
Maaf... Aku nggak bisa lagi ada di sisi kamu dengan keadaanku yang sekarang...
Namun ia kembali mengelus lembut surai Rizal, kali ini dengan senyum samar di wajahnya. Setidaknya, untuk malam ini, ia masih bisa merasakan kehangatan itu di sisinya.