NovelToon NovelToon
Midnight Professor

Midnight Professor

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / CEO / Beda Usia / Kaya Raya / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author:

Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.

Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.

Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.

Bab 18: Permainan Kedua dimulai

Leonhard sedang berdiri di balik bar, tangannya cekatan menuang minuman ke shaker. Lampu spotlight menimpa wajahnya yang mempertegas garis rahangnya. Selina menahan nafas. Dari jarak ini, jelas sekali leher Leonhard tidak terlihat tahi lalat yang ada di foto Baskara.

Selina memicingkan mata, mencoba mengingat kembali: Baskara ada tahi lalat. Leonhard? Clean.

Leonhard mengocok shaker dengan tempo stabil, matanya sudah menangkap Selina yang bediri di depan lorong masuk. Dia menurunkan shaker, menuangkan minuman ke dalam gelas lalu meletakkan di depan customer.

Kulitnya terasa panas dari tatapan Selina. Akhir-akhir ini Selina memang sering menatapnya penasaran. Tatapan itu semakin intense seiring berjalannya waktu.

Leonhard mengelap tangannya dengan handuk kecil saat Selina berjalan mendekat.

“You said you would hire some bartender?” tanya Selina duduk di depan Leonhard.

Leonhard mendongak menatap Selina. “I did,” jawabnya tenang.

Selina menyandarkan siku di meja bar, duduk santai dan matanya tajam mengunci.

“Saya kira bakal ada personel baru jaga malem ini.”

Leonhard tidak nampak terhibur dengan basa-basi Selina. Fokusnya tetap pada deretan botol alkohol di depannya.

“Sudah saya pecat,” jawab Leonhrad singkat.

Selina mengangkat alis. “Cepet banget, saya bahkan belum ketemu.”

Leonhard menutup botol gin, meletakkannya pelan di atas meja. “Kalau dia gak bisa jaga ritme malam, kenapa harus saya pertahankan?” katanya datar.

Selina memperhatikan gerakannya. Tega dan terukur, persis Baskara kalau di kelas. Nada suara yang sama dinginnya saat Baskara bersikap aneh di kantin.

Selina mengangguk pelan. “Heran aja… saya belum pernah ketemu, tapi udah di pecat.”

Leonhard berhenti sejenak dari aktivitasnya, matanya melirik Selina. “Aren’t you here for work? Kenapa gak siap-siap di sini,” jawabnya dedikit sarkastik sambil menunjuk sisi kosong di sebelahnya. “Staff baru bukan urusanmu.”

Selina mendengus pura-pura kelas sambil berjalan ke balik meja bar. “Cuma nanya.”

“Kenapa? Kewalahan handle sendiri?”

Selina menggeleng. “Gak… aneh aja punya bar tapi bartender tetap gak ada.”

Leonhard menoleh Selina cepat, tatapannya was-was. “Kamu kan bartender tetap sekarang.”

“Dari awal kan saja cuma part time… kenapa tiba-tiba jadi bartender tetap?” tanya Selina merasa aneh.

Leonhard diam, tidak bergeming. Dia berjalan keluar dari balik meja bar dan duduk di depan sebagai pelanggan.

“Kenapa? Karena saya udah tau tentang arena itu?” tanya Selina menguji Leonhard.

Leonhard bertopang dagu dengan satu tangannya, menatap Selina.

“Kamu terlalu cepat berasumsi,” ujarnya pelan tapi nada suaranya berat. “Padahal saya belum ngomong apa-apa.”

Selina mengangkat bahunya dengan ekspresi setengah menantang. “Again… kan cuma nanya.”

Keheningan menggantung beberapa detik. Musik dari speaker terdengar samar, mereka saling mengunci tatapan.

“Kamu tahu, Selina… kerja di sini bukan cuma soal melayani orang mabuk dan tukang minum.” Leonhard akhirnya bersuara lagi, nadanya lebih dalam dan hati-hati. “Kalau kamu sudah tau terlalu banyak, keluar bukan lagi opsi.”

Selina menyeringai karena tanpa sadar Leonhard sedang membuka aibnya sendiri.

“Sounds like a thread… kamu ngancam?” tanya Selina setengah bercanda, setengah serius.

Leonhard memutar bola matanya, tidak menjawab Selina lagi. Selina mengambil kesempatan itu.

“Hmm gak jawab berarti benar.” Selina mendekat sedikit, suara probikatifnya jelas. “Apa yang kamu lakukan ke bartender baru itu?”

Leonhard menatapnya bingung. “What are you trying to say?”

“Ya… siapa tau. Dia mungkin tau sesuatu tentang bar cantik ini dan kamu ngerasa terancam… makanya dia dipecat—oh! Jangan bilang… dia harus berurusan sama arenamu itu?” cerocos Selina tanpa menarik tatapannya dari mata Leonhard. Leonhard masih terlihat santai seperti dia sudah terbiasa dengan ancaman verbal yang halus seperti ini.

Leonhard tertawa kecil sarkastik. “Kamu mikirin apa? Kamu kira saya siapa?”

Selina mengangkat bahunya lagi seperti acuh tak acuh. “Well… saya belum terlalu yakin, tapi… yang pasti kamu bukan sekedar pemilik hidden bar dan arena ilegal biasa.”

Leonhard menghela nafas berat sambil mengusap kasar wajahnya. Dia terlalu lelah untuk menanggapi Selina saat ini. Sejujurnya, celat atau lambat, dia sudah bersiap diri untuk menghadapi segala pertanyaan aneh dari Selina. Lagipula dia sendiri yang memancing rasa penasaran itu.

“Mungkin kamu bisa minta bantuan sama… I’m not sure… mungkin sama saudara,” ujar Selina memancing topik ‘suadar’.

Mendengar itu, Leonhard langsung mendongak ke arah Selina. Matanya membulat, dia menelan ludah. Deru nafasnya sedikit lebih cepat dari sebelumnya.

“Maksudmu?”

“Minta bantuan suadaramu untuk ganti-gantian jaga bar. You know… saudara? Kakak? Atau mungkin adik?” jelas Selina. Tangan Selina mengambil gelas kosong untuk dia minum, tenggorokan terasa kering setelah mengajarkan itu.

Leonhard membeku beberapa detik. Selina tahu tentang adiknya? Darimana? Dari siapa? Sudah sejauh mana dia menggali kehidupan pribadinya?

Tatapan Leonhard kehilangan ketenangan, seperti seseorang yang baru saja disentil titik paling sensitif.

“Kamu tahu apa? Saya gak punya kakak atau adek,” tukas Leonhard dengan nada datar.

“Oh iya? Saya pikir kamu punya satu…” Selina sengaja menggantung kalimatnya, ingin melihat reaksi dari Leonhard. Apakah Leonhard akan mengaku atau membual?

Tiba-tiba Leonhard mengambil bungkus rokok beserta korek dari saku celananya. Dia mengambil satu batang dari kotak rokok, sebelum dia berhasil menyalakannya, Selina sudah duluan mencegat tangannya.

“Jangan mentang-mentang pemilik bisa bersikap seenaknya—kamu sendiri yang masang peringatan itu,” ujar Selina. Tangannya menunjuk ke arah logo Dilarang Merokok yang tertempel di tembok dekat lorong masuk. Leonhard membalikkan badan perlahan, mengikutu arah tangan Selina. Saat melihat logo itu, dia menghela nafas berat.

“Saya bisa bayar denda sendiri,” jawab Leonhard kasar.

Selina tertawa kecil. “Gak semuanya harus diselesaikan pakai uangmu. Kamu seharusnya bisa respect sama pilihanmu sendiri. Sekecil mengikuti aturan di areamu juga sudah termasuk, kok.”

Tidak ada pembelaan diri lagi, Leonhard memasuki rokoknya kembali bersamaan dengan gelas yang didorong ke arahnya. Selina memberinya segelas Whiskey.

“Pengganti rokok,” ujarnya sambil tersenyum. Tanpa basa-basi, Leonhard langsung menengguk Whiskey itu.

“Oh… where were we? Ah! Kamu seriusan gak punya adek atau kakak gitu?” tanya Selina masih mendesak jawaban asli Leonhard.

“Saya sudah bilang dengan jelas,” tukas Leonhard.

“Hmm… tapi aku… kenal orang yang mirip banget sama kamu.”

Leonhard terdiam kaku, gelas Whiskey-nya masih menempel di bibir. Dia menelan Whiskey itu dengan berat.

Apa dia sudah sadar identitas Baskara? batin Leonhard.

Pelipis Leonhard menegang. Tangannya perlahan menurunkan gelas. Tatapannya mengunci ke Selina dalam bentuk defensif.

“Mirip?” suaranya berat, tertahan, seperti seorang yang sedang menakar apakah harus melawan balik atau pura-pura tidak tahu.

Selina mengangguk. “Iya. Senyumnya sama. Garis wajahnya sama. Sorot matanya juga kadang sama… cuma yang itu—” dia menunjuk wajah Leonhard. “—lebih ramah daripada kamu.”

Jantung Leonhard berdegup dengan cepat. Dalam kepalanya, potongan-potongan kemungkinan terburuk berputar seperti rekaman rusak.

Leonhard mendengus. “Kamu terlalu mikirin saya mungkin, jadi tersugesti.”

Mendengar jawaban bosnya itu langsung tertawa kencang. “Saya? Mikirin kamu? Ngapain… lagipula saya cukup yakin sama yang saya lihat.”

Leonhard melipat tangannya di dada. “Yakin sama penglihatan belum tentu benar,” balasnya datar. “Banyak orang yang punya wajah mirip. Dunia ini kecil.”

Selina menggeleng pelan. Masih berpegang teguh dengan keyakinannya.

“Ini bukan sekedar mirip. Kalian tuh kayak… dua sisi mata uang. Satu kalem, satu berbahaya.” Dia mencondongkan tubuh ke depan, suaranya mengecil. “Mungkin dia bukan sekedar adek atau kakak… tapi kembaran.”

Selina mengejek Leonhard dengan menutup mulutnya karena berpura-pura shock. Leonhard mengernyit. Sedikit bingung dengan plot twist yang dia dengar.

Kembar?

Senyum tipis perlahan muncul di wajah Leonhard. Selina cerdas, tapi terlalu impulsif.

“Kembaran,” ulangnya pelan. Senyum tipis itu perlahan berubah jadi setengah ketawa rendah. “Kamu terlalu banyak nonton drama.”

Selina tidak mau kalah, dia ikutan melipat tangannya di dada. “Jangan meremehkan teori saya.”

“Teori itu bagus, asal dasarnya kuat. Kalau cuma cocoklogi, itu namanya kebetulan.”

Selina sedikit tertegun dengan kalimat itu. Dia hampir goyah, tapi masih bisa mempertahankan keyakinannya.

“Saya sudah research. Jadi, dasar teori saya sudah pasti kuat,” ujar Selina, nadanya sedikit memaksa.

Leonhard tersenyum miring. “Mungkin kamu bisa melakukan research mendalam untuk skripsimu tahun depan.”

Kena. Selina tersenyum simpul.

“Tau darimana kalau saya tahun depan udah skripsian?” Pertanyaan Selina membuat Leonhard tertegun. “Kamu baru aja masuk perangkap saya… pasti kembaranmu yang cerita.”

Leonhard memijat batang hidungnya, menghilangkan nyeri di mata.

“Selina,” panggilnya. “Semua orang pun bisa menyimpulkan atau menebak dari status kamu.”

Selina mencibir, lalu menggembungkan pipinya. “Nice try, bos. Tapi kamu kedengeran blunderbanget.”

“Kamu aja yang terlalu percaya diri dengan perangkapmu itu,” balasnya tenang dan nadanya lebih dingin.

“Gak masalah. Cepat atau lambat, semua yang kamu sembunyikan pasti akan saya buka,” ujar Selina sedikit mengancam.

Leonhard menunduk, menahan tawa. “Kamu beneran gak ada kerjaan lain, ya?”

“Gotcha. Kalau kamu emang gak ngelakuin hal-hal aneh ngapain defensif?” balas Selina masih tidak mau kalah.

Leonhard menatap Selina dengan tatapan datar, tidak ada emosi dalam matanya.

“Kamu salah Selina. Saya sudah cukup muak dituduh yang aneh-aneh,” ujarnya dingin. “Bahaya main tebak-tebakan sama saya.”

Selina semakin dekat dengan kebenaran. Terlalu dekat.

“Oke… anyway, kamu butuh orang buat jaga arena?” tanya Selina tiba-tiba mengubah topik pembicaraan. Dia sudah cukup puas mendesak Leonhard tentang kembarannya, sekarang waktunya masuk langsung ke dunia kotor itu.

Leonhard masih menatap Selina, tatapnya sedikit curiga. “Kenapa nanya?”

Selina mengangkat bahu seolah cuek padahal punya maksud lain. “Saya… butuh uang tambahan. Kalau perlu orang, saya siap bantu. Saya gak masalah sama waktu.”

“Jaga arena bukan tempat kamu buat main-main, Selina.”

“I didn’t say wanna play. Saya memang butuh uang… gak perlu jadi security—bantu koordinasi di arena seperti biasa aja,” jelas Selina.

Dalam hati, Leonhard tahu, gadis itu punya maksud yang direncanakan. Tapi… kalau dia menolak mentah-mentah justru memicu kecurigaan.

“Janji, saya bisa tutup mulut dan gak berulah.” Selina menunjukkan dua jari ke atas, matanya membulat memohon.

Leonhard berpikir sejenak karena setiap langkahnya akan membuat Selina tambah curiga.

“Fine.” Dia akhirnya membuang nafas berat. Ini adalah jalan terbaik. “Besok malam kamu bisa mulai handle. Datang lebih awal.”

Selina mehan senyum puas dan mengangguk ringan. Dalam pikirannya, dia baru sana membuka langkah baru. Kalau lewat interogasi tidak cukup, dia akan mengobservasi langsung.

“Jangan buat kerusuhan,” kata Leonhard tegas. Benar-benar seperti mengancam.

“Tenang aja. Saya cuma kerja bukan cari masalah.”

Leonhard tidak menjawab lagi, dia mengambil ponselnya untuk menghubungin seseorang. Dia membuka aplikasi chat, dan mencari nomor yang dituju, isinya:

Leonhard: “Saya butuh penjagaan ketat besok malam di arena.”

Selina pamit ke toilet, karena dari tadi dia sudah menahannya, sedangkan Leonhard masih sibuk dengan percakapannya di ponsel.

Selina berjalan cepat dengan sorot mata penuh tekad. Dia tidak sadar, dari meja samping dekat toilet, sepasang mata memperhatikannya.

Sosok itu mengeluarkan ponsel, memotret diam-diam.

Target ditemukan.

1
Acap Amir
Keren abis
Seraphina: terima kasih kak🥺
total 1 replies
Desi Natalia
Jalan ceritanya bikin penasaran
Seraphina: terima kasih❤️ pantentung terus ya kak🥺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!