NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: tamat
Genre:Dunia Lain / Tamat
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~Highridge Yang Terbakar~

Mereka bergerak cepat ke utara, menyusuri jalur pegunungan yang berliku. Angin tajam menampar wajah, dan bau asap makin kuat. Dari puncak bukit terakhir sebelum Highridge, mereka melihat pemandangan yang membuat dada mereka sesak: desa Highridge, yang dulu tenang, kini dikuasai api. Rumah-rumah kayu terbakar, dan asap hitam naik ke langit.

“Garrick sudah mendahului kita,” gumam Darius.

Selene menunduk, rahangnya mengeras. “Dia ingin kita kehilangan sekutu dan perbekalan.”

Edrick menggenggam Ashenlight lebih erat. “Kita masih bisa menyelamatkan siapa pun yang selamat.”

Mereka menuruni bukit dengan cepat. Begitu mencapai jalan masuk desa, kengerian nyata terlihat. Beberapa penduduk desa mencoba memadamkan api, tapi prajurit-prajurit Garrick berkeliling, menebas siapa saja yang bergerak.

Mira mengangkat busurnya. “Aku bisa menjatuhkan penjaga di sisi barat.”

Darius menatap Edrick. “Kita serang dari dua arah. Selene dan aku ke timur, kau dan Mira dari barat. Buat kekacauan, bebaskan warga sebanyak mungkin.”

Edrick mengangguk. “Jangan beri mereka kesempatan untuk berkumpul.”

Mereka bergerak. Mira menembakkan panah pertamanya, menjatuhkan seorang penjaga sebelum ia sempat berteriak. Edrick menerjang ke penjaga berikutnya, Ashenlight memotong pedangnya dan menebas armor tipisnya.

Di sisi lain desa, Selene dan Darius menyerbu. Selene menebas dua prajurit sekaligus, gerakannya cepat dan tanpa ragu. Darius memblokir tebasan tombak dan memukul balik dengan kekuatan penuh, membuat lawannya tersungkur.

Jeritan dan benturan pedang memenuhi udara. Penduduk desa yang selamat mulai berlari ke arah gerbang belakang, mengikuti teriakan Selene: “Keluar! Lari ke hutan!”

Salah satu prajurit Garrick melihat Ashenlight dan berteriak, “Itu dia! Sang Pembawa Pedang!” Teriakan itu menarik perhatian lebih banyak prajurit. Lima di antaranya menyerbu Edrick sekaligus.

Mira melompat ke atas pagar kayu, menembakkan panah bertubi-tubi untuk melindunginya. Dua prajurit jatuh, tapi tiga lainnya terus maju. Edrick memutar pedangnya, menangkis serangan-serangan mereka. Cahaya biru dari Ashenlight membuat musuh-musuhnya ragu, tapi mereka tetap menyerang.

Selene dan Darius mendengar teriakan itu dan segera bergerak ke arah Edrick. Mereka memotong jalan para prajurit tambahan yang datang dari sisi utara desa.

Di tengah kekacauan itu, seorang pria bertopeng logam dengan mantel merah—komandan unit Garrick—muncul. Ia memegang pedang panjang dengan ukiran naga.

“Edrick dari Avermont,” katanya dingin. “Tuan Garrick menginginkan kepalamu.”

Edrick menatapnya tanpa gentar. “Kalau dia ingin pedang ini, dia harus datang sendiri.”

Komandan itu tersenyum tipis. “Aku cukup untuk mengambil kepalamu.”

Dia menyerang dengan kecepatan mengejutkan. Tebasan pertamanya hampir mengenai bahu Edrick, tapi Ashenlight menangkisnya. Dentingan logam memenuhi udara. Keduanya saling menyerang, mengukur kekuatan satu sama lain.

Mira mencoba menembakkan panah ke komandan itu, tapi dia memutar tubuh dan memukulnya dengan bagian datar pedangnya, memecahkan anak panah di udara. Selene dan Darius berusaha mendekat, tapi prajurit-prajurit lain menghalangi mereka.

Api terus berkobar di sekeliling mereka, dan suara tangisan anak-anak semakin keras.

---

Edrick mengubah posisi kakinya, menjaga keseimbangan. Komandan bertopeng logam itu menyerang lagi, kali ini dengan serangkaian tebasan yang cepat. Setiap benturan pedang memercikkan percikan cahaya, dan getarannya membuat tangan Edrick terasa pegal.

“Pedang itu bukan milikmu!” teriak komandan itu, mencoba memancing amarahnya.

“Lebih baik di tanganku daripada di tangan seorang pengecut Garrick,” balas Edrick.

Dua prajurit mencoba menyerangnya dari samping, tetapi Mira menembak tepat waktu, menjatuhkan satu, dan Darius datang dari sisi lain, menebas yang lain.

Selene akhirnya berhasil menerobos barisan prajurit dan berdiri di samping Edrick. “Kita harus menyingkirkannya cepat, atau desa ini akan habis.”

Komandan itu tertawa pendek. “Kalian pikir kalian bisa menang?” Dia meniup peluit kecil yang tergantung di lehernya. Dari sisi selatan, lebih banyak prajurit berlari masuk ke desa.

“Hebat,” gumam Mira dari atas pagar. “Sekarang mereka punya bala bantuan.”

Darius mengangkat pedangnya. “Maka kita pastikan mereka menyesal datang ke sini.”

Pertarungan berubah semakin brutal. Suara pedang beradu bercampur dengan jeritan dan tangisan. Api menjilat atap rumah-rumah, dan beberapa bangunan mulai runtuh. Penduduk desa yang masih hidup berlari ke arah belakang, dibantu Mira yang mengarahkan mereka dari posisi tingginya.

Edrick melancarkan serangan balik, mengarahkan tebasan mendatar yang memaksa komandan bertopeng itu mundur dua langkah. Selene memanfaatkan momen itu, menebas kakinya, tapi komandan itu melompat ke samping dan berbalik, hampir mengenai bahunya.

“Dia cepat,” kata Selene, napasnya terengah.

“Dan keras kepala,” tambah Edrick.

Komandan itu menatap mereka dengan tatapan tajam di balik topeng. “Kalian tidak mengerti. Garrick akan mempersatukan Averland. Kalian hanya memperlambat takdir.”

“Takdir?” Darius tertawa sinis sambil menangkis serangan seorang prajurit. “Membakar desa dan membantai rakyat bukanlah takdir—itu kejahatan.”

Komandan itu tak menggubris dan kembali menyerang Edrick. Serangan vertikalnya menghantam keras, membuat Edrick mundur. Ashenlight memancarkan cahaya yang lebih terang, seolah merespons ancaman itu.

Selene menyerang dari samping, tetapi komandan itu memutar tubuhnya, memukulnya dengan gagang pedangnya, membuatnya tersandung.

Mira berteriak, “Selene!” dan menembakkan panah lain, kali ini mengenai bahu komandan. Dia meringis, tetapi tetap berdiri.

Darius berhasil membunuh prajurit terakhir yang menghalanginya dan kini berlari membantu. “Sekarang, Edrick!”

Dengan teriakan lantang, Edrick mengangkat Ashenlight dan menebas. Komandan itu menangkis, tetapi pukulan itu cukup kuat untuk mematahkan sebagian pelindung pedangnya. Dentingan keras terdengar saat bilah besi patah sebagian.

Komandan itu mundur beberapa langkah, menatap pedangnya yang rusak. “Pertarungan ini belum berakhir,” katanya, sebelum melemparkan bom asap kecil ke tanah. Asap tebal menutupi pandangan mereka, dan saat menghilang, komandan itu sudah tak terlihat.

Edrick menggeram, menatap asap yang tersisa. “Dia akan kembali.”

Selene berdiri, membersihkan debu dari pakaiannya. “Dan kita harus siap saat itu terjadi.”

Darius menoleh ke Mira. “Berapa banyak yang berhasil keluar?”

Mira menghitung cepat. “Sekitar dua lusin. Sisanya… aku tidak yakin.”

Api masih melahap sebagian besar desa. Mereka bekerja cepat membantu warga yang terjebak dan memadamkan api sebisa mereka. Ketika matahari mulai terbit, Highridge hanyalah bayangan dari desa yang dulu tenang.

---

Matahari merayap di atas horizon, menyoroti Highridge yang kini penuh abu. Rumah-rumah tinggal rangka kayu yang menghitam. Jalanan yang semalam ramai teriakan perang kini hanya dipenuhi desah angin dan batuk tertahan dari para korban selamat.

Edrick menancapkan Ashenlight ke tanah. “Ini lebih buruk dari yang kubayangkan,” katanya lirih.

Darius berdiri di sebelahnya, memandang desa yang luluh lantak. “Garrick mengirim pesan. Dia ingin semua orang tahu bahwa dia akan menghancurkan siapa pun yang menentangnya.”

Mira turun dari menara pengawas yang masih utuh. Panah terakhirnya menempel di punggungnya, dan wajahnya kotor dengan jelaga. “Kita menyelamatkan sebagian, tapi kerugian ini… tidak bisa diperbaiki.”

Seorang pria tua dari desa, bahunya terbalut kain, menghampiri mereka. “Kalian membawa pedang itu,” katanya, matanya menatap Ashenlight. “Legenda itu benar, bukan? Pedang itu bisa menghentikan perang?”

Edrick tidak langsung menjawab. Dia menatap mata pria tua itu, kemudian memandang Selene dan Darius. “Pedang ini hanya besi dan cahaya. Yang menghentikan perang adalah orang-orang yang memilih melawan tirani.”

Selene menepuk bahu Edrick. “Jawaban yang tepat. Tapi kita tak bisa menunda. Garrick akan terus memburu kita.”

Darius menatap ke utara. “Ada benteng tua di perbatasan Blackridge. Tempat itu dulu dipakai para penjaga kerajaan untuk menyimpan peta dan catatan perang. Jika kita bisa mencapainya, kita mungkin menemukan cara menghadapi Garrick.”

Mira menghela napas. “Itu perjalanan berhari-hari. Dan kita harus membawa para pengungsi ini.”

Edrick menoleh pada para warga yang selamat. Anak-anak meringkuk di bawah selimut usang, wanita-wanita membantu yang terluka, dan beberapa pria memadamkan sisa api. Wajah mereka menunjukkan keputusasaan dan marah sekaligus.

“Kita tidak bisa meninggalkan mereka,” kata Edrick. “Kita bergerak bersama. Benteng Blackridge bisa menjadi tempat aman sementara.”

Pria tua itu mengangguk. “Kami akan mengikuti kalian. Kami tak punya pilihan lain.”

Selene memimpin beberapa orang memadamkan api yang masih menyala kecil di pinggir desa. Darius dan Mira membantu menyiapkan kereta seadanya untuk membawa yang terluka. Edrick memeriksa Ashenlight—bilahnya tetap bersih, meski digunakan dalam pertempuran sengit.

Saat mereka bersiap meninggalkan Highridge, suara dari kejauhan membuat mereka berhenti. Gema kuda-kuda berlari terdengar samar. Mira memanjat pagar setengah runtuh untuk mengintai.

“Ada kelompok kecil. Mereka bergerak ke arah selatan. Sepertinya pasukan Garrick yang tersisa,” lapornya.

Edrick berpikir sejenak. “Biarkan mereka. Mereka mungkin melapor. Tapi itu berarti Garrick akan mempercepat gerakannya.”

Selene menegakkan tubuhnya. “Kita harus lebih cepat. Jika kita bisa mendahuluinya, kita mungkin menemukan keunggulan.”

Darius menatap para pengungsi. “Itu berarti tidak ada istirahat panjang. Kita bergerak malam ini.”

Matahari naik sedikit lebih tinggi, memantulkan cahaya pada bilah Ashenlight. Edrick meraih pedangnya dan menggenggamnya erat. “Highridge telah menunjukkan pada kita harga dari kelambanan. Kita tidak akan mengulanginya.”

Mira menoleh kepadanya. “Kau sadar, bukan, Edrick? Ini baru permulaan.”

Edrick mengangguk. “Aku tahu.”

Dengan langkah perlahan, mereka meninggalkan Highridge. Asap tipis masih mengepul dari reruntuhan, meninggalkan bayangan gelap di cakrawala Averland. Para pengungsi bergerak di belakang mereka, membawa sedikit barang yang berhasil diselamatkan. Setiap langkah mereka menjauh dari desa terasa seperti janji—janji untuk melawan dan bertahan.

Di kejauhan, benteng Blackridge menunggu, bersama rahasia dan bahaya yang akan menentukan nasib mereka.

1
Siti Khalimah
👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!