Pernikahan seharusnya membuka lembaran yang manis. Tapi tidak bagi Nayara, dia menyimpan rahasia kelam yang akhirnya merenggut kebahagiaannya.
Suaminya membencinya, rumah tangganya hampa, dan hatinya terus terjerat rasa bersalah.
Hingga suatu hari sumber masalahnya sendiri datang dan berdiri dihadapannya, laki-laki yang kini memperkenalkannya sebagai sopir pribadi.
“Sudah aku katakan bukan. Kamu milikku! Aku tidak akan segan mengejarmu jika kau berani meninggalkanku.”
Apakah Nayara akan mempertahankan rumah tangganya yang hampa atau kembali pada seseorang dimasa lalu meski luka yang ia torehkan masih menganga dihatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila_Anta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Hawa dingin semakin menelisik kulit karena malam semakin larut menuju dini hari. Mona terperanjat saat menyadari kini ia terbangun di kamar Bian.
"Aku harus cepat-cepat keluar dari sini, sebelum seseorang mencurigai ku." Mona turun dan memunguti pakaian yang sejak semalam teronggok di lantai dan kembali memakainya secara asal.
Sebelum Mona pergi, ia menoleh ke atas kasur dimana Bian masih terlelap dengan damai tanpa terusik sedikitpun.
"Aku yakin di jam seperti ini belum ada yang terbangun di rumah ini. Aku harus cepat-cepat," ujarnya tanpa menyadari seseorang sudah berada di tengah-tengah tangga.
Wanita itu tersentak saat melihat Nay yang kini menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "B-bu. Anda sudah bangun?" tanyanya kikuk. Ia berusaha menutupi kancing bajunya yang separuh terbuka dengan rambut yang acak-acakan.
"Heum. Aku terbangun karena kehausan," jawab Nay berusaha tetap tenang meski ia pun terkejut setengah mati.
"Baiklah. Aku akan kembali ke kamar." Nay tidak ingin terlalu berbasa-basi karena ia tahu, Mona baru saja keluar dari kamar suaminya.
"B-baik Bu. Selamat malam."
Nay melenggang begitu saja melewati Mona yang termenung. "Apa? Dia tidak ingin tau aku dari mana. Benar kata pak Bian. Dia memang wanita yang begitu acuh. Pantas saja dia tidak tau suaminya sudah menduakannya. Dasar wanita bodoh," ucapnya dengan gelengan kepala.
Mona pun masuk ke kamar lalu tertidur karena hanya tinggal beberapa jam lagi pagi akan tiba.
Sedangkan Nay langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari sisa percintaan nya semalam.
"Aku tidak akan mundur meski aku dihukum atas hal ini. Karena dialah, aku bisa melupakan semua kesedihan dan penderitaan ku di rumah ini."
Nay mengguyur seluruh tubuhnya dengan air yang cukup deras. "Karena adanya dia, hatiku tidak merasakan sakit saat melihat pengkhianatan yang suamiku lakukan. Apa semua ini bisa dikatakan impas?"
Nay menyelesaikan ritual mandinya, dan kini berjalan ke atas kasur. Kali ini semua penghuni rumah larut dalam mimpinya tanpa terkecuali.
* * *
Pagi di meja makan.
"Apa Nay belum turun?" tanya Bian pada bi Yati.
"Belum Tuan. Non Nay sedang tidak enak badan."
Bian tertegun sebelum akhirnya duduk di kursinya. Laki-laki itu nampak menghela nafas berat, ia ingat pertengkaran nya semalam.
"Baiklah, biarkan saja. Bawa saja sarapan ke kamarnya."
"Baik Tuan."
Mona terlihat acuh mendengar percakapan kedua orang tersebut, ia sudah sibuk menyantap makanannya.
Di dalam mobil.
Seperti biasa Dev membawa Bian ke kantor dan mulai saat ini sepertinya Mona akan terus ikut bersama mereka. Entah sampai kapan, atau mungkin selamanya.
Tidak ada percakapan yang berarti. Bian hanya termenung dengan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Tatapannya lurus meski pikirannya menerawang jauh.
"Sayang, kenapa kamu masih mempertahankannya si. Aku liat, hubungan kalian itu udah gak sehat. Jika kamu masih mempertahankannya, kalian akan sama-sama merasa tersakiti." Mona berusaha membuka obrolan.
"Sayang. Yang kamu butuhkan cuma aku. Dia-"
"Diam! Jangan pernah membahas hal ini lagi. Dan jaga batasan mu," sentak Bian.
"Dia selalu sensitif jika menyangkut masalah istri pertamanya, cih." Mona mengerucutkan bibir.
Percakapan tersebut tidak luput dari pendengaran Dev yang tetap fokus memegang kemudi. Dan sepertinya kedua orang yang berada di kursi belakang tidak menyadari hal itu.
'Nay, apa kamu juga merasa kalau aku ini egois. Seberapa keras aku ingin membencimu, tapi tidak bisa. Jika kamu tau, hatiku masih berdebar jika berada di dekatmu.' Bian
Mereka sudah sampai di tujuan. Dev membuka pintu belakang sebelum Bian keluar.
"Kenapa punyaku gak dibukain si!" sergah Mona.
"Maaf, Nona. Tuan tidak menyuruh saya untuk membukakan pintu untuk Nona. Jadi saya belum paham. Hehe."
Wanita itu melengos dengan wajah kesalnya.
"Daf, kata bibi, istriku sakit. Tolong bawa dia periksa ke dokter untukku. Pastikan tidak terjadi apa-apa padanya. Dan ini kartu untuk biaya pengobatannya."
"Baik Tuan. Saya akan pastikan Nyonya baik-baik saja. Tuan tidak perlu khawatir," jawab Dev sungguh-sungguh.
Dev bergumam sesaat setelah kepergian kedua orang itu masuk ke dalam gedung. "Heh, istrimu bukan sakit Tuan, tapi dia kelelahan karena semalam aku menggempur nya habis-habisan," ujarnya disertai kekehan.
"Nay, setelah ini aku yang akan merawat mu. Tunggulah sayang." Dev merasakan jantungnya yang berdebar.
Di rumah Nay masih tertidur pulas. Tadi pagi ia sempat berbicara dengan bi Yati untuk memberitahu kalau dirinya tidak enak badan.
Ya. Itu tidak sebenarnya bohong, karena tubuhnya benar-benar merasakan lemas dan pusing. Dia juga menolak sarapan paginya.
"Itu mau dibawa kemana Bi?" Dev yang sudah kembali ke rumah.
"Untuk Non Nay. Tadi pagi ia masih menolak untuk sarapan," jawab Bi Yati dengan kedua tangan memegang nampan.
"Kalau bibi masih ada pekerjaan lain biar saya saja yang bawa bi. Kebetulan saya tidak ada kerjaan. Saya bingung harus melakukan apa, hehe."
"Tentu saja Daf. Makasih karena kamu selalu membantu pekerjaan bibi. Kamu benar-benar pemuda yang baik." Memberikan nampan dan kini beralih ke tangan Dev dengan hati yang bersorak.
"Oh ya, bibi perhatikan sejak tadi pagi kamu terus saja tersenyum. Apa karena nak Dafa sudah mempunyai kekasih?"
"Ah bibi bisa aja. Tapi tebakan bibi benar. Gadis yang saya sukai di kampung menerima cinta saya, Bi. Dan bibi tau, dia wanita yang begitu cantik."
"Wah, kamu beruntung kalau begitu Daf. Secantik apa gadis itu? Apa lebih cantik dari Non Nay? Karena bibi belum liat gadis yang lebih cantik darinya."
"Eum, bisa dikatakan mirip beda tipis si bi. Hehe. Ah sudah atuh bi, nanti makanannya keburu dingin."
"Oalah ya sudah sana. Lagian kamu malah curhat." Menepuk bahu Dev.
"Yey, si bibi."
Benar kata bi Yati, sejak semalam bibirnya tidak berhenti mengulas senyum. Bahkan jantungnya selalu berdebar jika mengingat kejadian semalam.
Tok, tok, tok.
"Masuk." Terdengar sahutan dari dalam meski terdengar parau.
Nay belum menyadari siapa yang kini masuk ke kamarnya. Kedua matanya masih terpejam dengan gulungan selimut membungkus tubuhnya di atas kasur.
Dev menaruh nampan di atas nakas dan kini duduk di sisi tempat tidur. Gadis itu merasakan tangan hangat membelai pucuk kepalanya. Tentu saja ia terperanjat. "Kak." Kini Nay terduduk dengan wajah khas bangun tidurnya. "Kenapa kamu bisa di sini?"
"Membawakan kamu sarapan. Kata bi Yati kamu sakit, padahal kalau beliau tau kamu itu cuma kelelahan, iya kan?" Mengerlingkan sebelah matanya.
"Kak." Nay membekap mulut Dev dengan kedua tangannya. "Jangan bicara seperti itu. Bagaimana kalau orang lain mendengarnya."
Dev menggeleng, melepaskan tangan Nay.
Cup.
Bahkan gadis itu kini membulatkan kedua matanya saat Dev malah menciumnya.
"Tidak ada siapa-siapa di rumah ini selain kita. Orang-orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing, sayang."
Nay mendengus. "Tapi tetap saja kak. Kamu tidak boleh main nyosor seperti tadi."
"Kenapa?"
"Ya pokoknya gak boleh. Ngerti gak si."
"Ok. Untuk saat ini kamu makan dulu. Kalau tidak, aku yang akan memakan mu."
"KAK!"