Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lahir dari luka yang kejam
Suara mesin mobil Walikota memudar di kejauhan, menyisakan hening panjang di Pallazo. Dari balik jendela besar, Lucas berdiri diam, matanya menatap ke luar seolah masih mengikuti jejak kendaraan yang sudah tak terlihat.
Hose melangkah masuk dengan hati-hati. Pria itu sudah terbiasa membaca suasana hati tuannya, dan kini ia tahu, kata-kata harus dipilih sehalus mungkin. Ia menundukkan kepala sedikit sebelum berbicara. “Tuan,” ucapnya pelan. “Bagaimana kabar Nyonya Rose?”
Lucas tidak menjawab seketika. Jemarinya masih menggenggam erat tepi jendela, seakan menahan sesuatu agar tidak pecah. Baru setelah beberapa detik, ia bergumam rendah, “Dia… baik.”
Hose mengangguk pelan, meski sorot matanya menyimpan kegelisahan. Ia memberanikan diri melangkah lebih dekat, suaranya tetap lembut namun penuh makna. “Maafkan saya, Tuan. Tapi… mengapa Anda begitu melindungi Nyonya Rose?”
Lucas menoleh, lalu menatapnya. “Aku melindungi semua istriku. Apa kau meraggukan itu?”
“Maafkan atas kelancangan saya tuan, tapi penebusan itu wajar. Adat istiadat Motessa sudah terbentuk sangat jauh sebelum kita memutuskan untuk kesini tuan…”lanjut Hose.
“Dan kau juga sebenarnya tahu, untuk itu aku disni. Apa sebenranya yang ingin kau katakan?” bentak Lucas.
Hose tersentak, sebentar ia diam seolah Kembali menimba keberaniannya. “Mungkin andan butuh waktu untuk merenungkan hal ini tuan. Wasiat ibuk anda adalah menyelamatkan gadis Motessa. Namun kita justru sudah kehilangan lima istri, hanya karena ulah satu istri…” jelas Hose, menjeda. “Butuh alasan yang kuat, hingga anda berani mengambil Langkah sejauh ini. Tobias adalah legenda. Jika ada melawannya, maka kesempatan menyelamatkan gadis mungkin ada hilang…Selain itu, mungkin dengan membiarkan Nyonya Rose menjelaskan pada keluarganya, masalah ini tidak akan berlarut.”
“Cukup Hose! Pergilah!” jawab Lucas dingin, ia bahkan tidak menoleh karena kesal. Hosepun segera mundur, dengan perlahan dan hati-hati.
**
Di Tower Morreti.
Sudah lewat jam makan siang, Lucas masih belum Kembali. Rose yang terus mengingat isi dari buku itu, tentu saja sangat ingin Kembali kesana. Tak berpikir lagi, iapun bergerak.
Ruang kerja luas itu kembali menyambut Rose dengan keheningan yang berat. Lampu gantung kristal di atas meja panjang berkilauan lembut, memantulkan cahaya kekuningan di dinding penuh rak buku. Namun keindahan itu tidak menghapus kegelisahan yang menekan dadanya.
Ia duduk, menarik napas panjang, lalu membuka halaman berikutnya dari buku catatan tua yang baunya samar masih menyisakan aroma debu dan tinta lama. Jari-jarinya bergetar saat huruf-huruf itu kembali menghadirkan suara seorang wanita yang seakan berbicara langsung dari masa lalu.
“Aku dijual keluargaku sendiri pada Tobias Mancini. Mereka bilang, pria itu kaya, kuat, dan bisa memberi hidup yang lebih baik. Aku berharap… setidaknya ia akan memperlakukanku dengan baik. Namun ternyata aku salah besar.”
Rose menelan ludah, jemarinya mengepal di tepi buku.
“Saat aku tahu aku hamil, aku memberanikan diri mengabari Tobias. Kupikir ia akan senang. Kupikir ia akan melihatku sebagai seorang istri yang membawa keturunan baginya. Namun justru amarah yang kudapat. Katanya, ia hanya mau anak dari darah bangsawan. Bukan dari seorang wanita murah asal Motessa sepertiku.”
Rose bisa merasakan retakan itu, dada seorang ibu yang dicabik penghinaan, namun tak berdaya melawan.
“Hatiku hancur. Aku marah. Aku melawan. Aku berteriak, menolak diperlakukan seperti budak. Tapi ia… ia meninju wajahku, menendang perutku, memukulku tanpa henti sampai tubuhku tak lagi mampu bergerak. Hingga aku kehilangan kesadaran.”
Halaman berikutnya bergetar di tangan Rose. Matanya panas, bulir bening mulai mengabur pandangannya.
“Saat aku sadar, aku sudah berada di tempat asing. Bukan lagi di rumahnya. Aku terbaring di ranjang dengan bau parfum menyengat, tirai merah, dan tawa perempuan yang asing. Aku berada di rumah bordir… di kota besar yang bahkan tak kukenal. Aku tidak tahu… bagaimana bisa aku dibuang ke sana.”
Rose menutup mulutnya dengan tangan. Lembar itu berguncang di genggamannya. Nafasnya tersengal. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang selama ini tak pernah ia bayangkan, rasa sakit seorang ibu, ibu Lucas, yang dipaksa menerima penghinaan paling rendah, bahkan saat ia tengah mengandung.
Keheningan ruang kerja itu seakan berubah jadi penjara sunyi. Rose menutup buku itu perlahan, tapi isi kata-katanya terus bergaung di kepalanya.
“Lucas…Luka ibumu terlalu dalam. Bagaimana mungkin kau bisa tumbuh dengan hati yang utuh?” gumam batin Rose. Bulir bening meleleh, ada rasa bersalah yang tiba-tiba merayap di hatinya, karena ia sejauh ini menjadi salah satu dari orang yang menghina Lucas paling kejam.
Rose menutup buku catatan itu perlahan, tapi suaranya masih berdengung di telinganya. Ia menatap kosong ke arah meja kerja Lucas yang penuh tumpukan dokumen, pena mahal, dan jam antik yang berdetak tenang, seolah mengejek badai yang baru saja meledak di dalam dadanya.
Tanpa sadar, matanya mencari bayangan Lucas.
Mencari sosok pria yang kini menjadi suaminya… penyelamat seratus gadis Motessa, tapi sekaligus seorang laki-laki yang membawa warisan luka dari seorang ibu yang dipaksa menanggung neraka. Ia bahkan menerima hinaan, pria rakus, tukang kawin dan masih banyak lagi.
Rose menarik napas yang bergetar. “Apa… ini yang kau simpan sendirian selama ini, Lucas?” bisiknya lirih, meski Lucas tak ada di ruangan.
Ia membayangkan, seorang anak kecil, Lucas, tumbuh dengan rahim ibunya yang penuh rasa sakit. Air susu yang mungkin bercampur dengan air mata. Belaian yang dipaksa hangat meski hatinya retak seribu.
“Bagaimana mungkin seorang anak bisa belajar mencintai… kalau ia lahir dari luka yang begitu kejam?” Rose menggigit bibirnya, menahan isak.
Kini, setiap tatapan dingin Lucas, setiap keputusan keras, setiap rahasia yang ia simpan, semuanya mulai masuk akal.
Rose menoleh ke arah pintu, membayangkan Lucas di luar sana, dengan mata hitamnya yang tak pernah sepenuhnya terbaca.
Untuk pertama kalinya, ia merasa… bukan hanya dirinya yang terluka.
Lucas pun sama, bahkan mungkin lebih hancur, hanya saja ia pandai menyembunyikannya di balik dinding besi yang tak seorang pun boleh tembus.
Rose menyentuh sampul buku itu, menunduk, dan berbisik pelan, seolah berkata pada ibunya Lucas, “Aku mengerti, sekarang aku mengerti…jadi karena ini ia lebih dulu membeli para gadis, agar tidak jatuh ke tangan Tobias? Apa warga Motessa tidak tahu ini? Aku rasa memang tidak, bahkan aku sendiri baru tahu, ternyata suamiku semulia itu…”
Sementara Rose masih bergulat dengan perasaannya usai membaca catatan kelam milik mertuanya, jauh di Motessa pesta besar justru digelar.
*
Bersambung!
Hallo, Jangan lupa kasih bintang terbaik dan ulasan manis ya. Setiap komentarmu adalah seperti percikan api yang bikin semangatku menyala untuk terus menulis. Ayo, tulis pendapatmu, teorimu, atau bagian favoritmu_aku baca semuanya, lho!