Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Saudara
Hening yang menyesakkan menyelimuti markas malam itu. Udara penuh aroma mesiu, bercampur darah kering dari luka-luka yang belum sempat dibersihkan. Semua anak buah Leonardo bergerak dengan ketegangan di wajah. Mereka tahu, perang yang akan mereka hadapi bukanlah perang biasa—ini perang melawan darah sendiri.
Di ruang utama, Leonardo duduk di kursi besar yang menyerupai takhta. Balutan perban masih melilit bahunya, tapi sorot matanya kembali tajam, dingin, seperti pisau yang siap menebas siapa saja.
Aruna berdiri di sampingnya. Matanya bengkak karena kurang tidur, tapi langkahnya tetap tegak. Hatinya masih diguncang oleh kenyataan pahit: Marco , pria yang selama ini dianggap saudara, kini menjadi musuh.
Leonardo mengetuk meja sekali, membuat seluruh ruangan terdiam.
“Marco sudah merebut tiga gudang senjata kita, dan sekarang dia bergerak ke pelabuhan timur. Jika kita biarkan, besok dia akan menguasai seluruh jalur distribusi kita,” suaranya berat, dalam, menusuk setiap telinga, ucap Alberto.
Seorang anak buah mengangguk cepat. “Boss, pasukan kita siap. Katakan saja kapan bergerak.”
Leonardo menyeringai tipis, meski tubuhnya masih bergetar menahan sakit. “Malam ini. Kita habisi sebelum fajar.”
Aruna menatapnya kaget. “Leo, kau belum pulih. Kau bahkan masih kesakitan berjalan.”
Leonardo menoleh padanya, matanya berkilat. “Justru karena aku masih hidup, aku harus melakukannya sekarang. Jika kita menunggu, Marco akan semakin kuat. Aku tidak akan membiarkan pengkhianat itu bernapas lebih lama.”
“Ini gila!” Aruna bersuara keras. “Kau baru saja hampir mati, Leo. Apa kau tidak berpikir sedikit saja tentang—”
Leonardo berdiri dengan cepat, membanting tangannya ke meja hingga semua orang terlonjak. “Aku berpikir tentangmu, Aruna! Kau tidak mengerti? Selama Marco hidup, kau dalam bahaya. Kau adalah kelemahanku. Dan dia akan menggunakannya untuk menghancurkan ku.”
Keheningan membungkus ruangan. Aruna terdiam, jantungnya berdetak kencang. Kata-kata Leonardo itu seperti belati yang menusuk, mengingatkannya pada kebenaran pahit: dirinya kini adalah kunci permainan.
Tengah malam, konvoi hitam meluncur meninggalkan markas. Jalanan kota dilintasi dengan kecepatan penuh. Aruna duduk di samping Leonardo dalam mobil terdepan, hatinya bergejolak.
Di luar jendela, lampu-lampu kota berlari mundur, seolah dunia sedang melaju ke jurang.
“Leo…” Aruna akhirnya bersuara pelan. “Jika kau benar-benar membunuh Marco malam ini… apakah semua ini akan berakhir?”
Leonardo menoleh sebentar, bibirnya melengkung dingin. “Tidak pernah ada akhir di dunia ini. Selama kita hidup di dalamnya, selalu ada darah baru yang harus ditumpahkan. Tapi Marco… dia adalah permulaan. Aku harus menghapusnya agar semuanya tetap terkendali.”
Aruna menggenggam tangannya erat, meski jemari Leonardo dingin. Dalam hati ia bertanya: berapa banyak lagi darah yang harus tertumpah hanya untuk sebuah cinta?
Konvoi berhenti di dekat pelabuhan timur. Gudang besar di sana dijaga ketat oleh anak buah Marco. Lampu-lampu sorot menembus kegelapan, sementara suara ombak menghantam dermaga.
Leonardo turun, langkahnya mantap meski bahunya masih perih. Anak buahnya berbaris di belakang, bersenjata lengkap.
“Marco ada di dalam,” laporan salah satu pengintai.
Leonardo tersenyum dingin. “Bagus. Aku ingin melihat wajah pengkhianat itu saat menyadari ajalnya datang.”
Aruna ikut turun, meski Leonardo sempat menahannya. “Kau di sini saja.”
“Tidak,” jawab Aruna tegas. “Jika kau benar-benar ingin aku tahu siapa dirimu, biarkan aku melihat semuanya.”
Leonardo menatapnya lama, lalu akhirnya mengangguk. “Baik. Tapi tetap di belakangku.”
Ledakan pertama mengguncang gudang. Pasukan Leonardo menerobos masuk dengan senjata terangkat. Tembakan meledak di udara, memenuhi ruangan dengan kilatan api dan jeritan.
Pertarungan sengit pecah. Darah tercecer di lantai, tubuh bergelimpangan. Suara peluru bersahutan dengan dentuman jantung Aruna yang hampir pecah.
Leonardo berjalan di depan, menembak dengan presisi mematikan. Meskipun terluka, gerakannya cepat, matanya hanya tertuju pada satu hal—Marco.
Dan akhirnya, di tengah kekacauan, mereka bertemu.
Marco berdiri di ujung ruangan, senjata di tangannya. Wajahnya keras, matanya dipenuhi amarah dan sakit hati.
“Leonardo!” teriaknya. “Saudara… atau seharusnya aku katakan, mantan saudara.”
Leonardo mendengus dingin. “Kau sudah mati sejak malam kau mengkhianati ku.”
Marco menyeringai getir. “Kau selalu menganggap dirimu raja. Tapi kau lupa, bahkan raja bisa jatuh ketika rakyatnya berhenti tunduk.”
Ketegangan meledak. Mereka saling menodongkan senjata. Para anak buah terhenti, menahan napas menyaksikan dua pemimpin berdiri berhadapan.
Aruna melangkah maju sedikit, wajahnya pucat. “Marco… kenapa kau lakukan ini? Kau bisa bicara dengan Leonardo, kau tidak perlu—”
“Diam, Aruna!” bentak Marco. Matanya berkilat saat menatapnya. “Kau tidak tahu apa-apa! Semua ini terjadi karena dia! Karena Leonardo selalu melemah ketika menyangkut dirimu. Dunia mafia bukan tempat untuk kelemahan, dan aku akan membuktikannya dengan membunuhnya di depanmu!”
Aruna terperangah. Air matanya menetes, hatinya teriris. Marco benar—ia adalah kelemahan Leonardo.
Leonardo menegang, jari di pelatuknya gemetar oleh amarah. “Sentuh dia, dan aku akan mencabik tubuhmu sampai kau berdoa agar mati lebih cepat.”
Tembakan meledak. Mereka berdua bergerak cepat, saling menghindar, saling menyerang. Suara senjata memekakkan telinga, percikan api memantul di dinding.
Aruna menjerit, mencoba mendekat, tapi anak buah Leonardo menahannya. “Nyonya! Ini terlalu berbahaya!”
“Lepaskan aku!” teriaknya putus asa.
Di tengah hujan peluru, Leonardo akhirnya berhasil mendekat. Ia menjatuhkan pistol Marco dengan tendangan, lalu menodongkan senjata ke wajahnya.
Marco terengah, darah mengalir di keningnya. Tapi matanya tetap menantang. “Ayo, Leonardo. Habisi aku. Buktikan bahwa kau memang monster yang mereka katakan.”
Hening sejenak. Semua orang menahan napas.
Aruna menangis, suaranya pecah. “Leo, jangan…! Jika kau membunuhnya, kau akan kehilangan sisa kemanusiaanmu!”
Leonardo terdiam, matanya beralih pada Aruna. Di wajah wanita itu, ia melihat ketakutan, cinta, dan juga keputusasaan.
Tapi kemudian ia kembali menatap Marco. Bibirnya melengkung dingin.
“Saudara… kau sudah mati sejak kau mengkhianati ku. Dan tidak ada pengkhianat yang bisa hidup dalam dunia ini.”
Dor!
Peluru meledak, menembus dada Marco.
Tubuh Marco terhuyung, lalu jatuh berlutut. Senyumnya samar, getir, sebelum akhirnya ia roboh ke lantai, tak bergerak.
Keheningan menyelimuti ruangan.
Aruna menutup mulut, tubuhnya gemetar hebat. Air matanya jatuh tanpa henti. Leonardo menatap mayat Marco dengan tatapan dingin, tanpa penyesalan sedikit pun.
Ia lalu menoleh pada Aruna. “Kau lihat, Aruna? Beginilah dunia ini. Hanya ada darah dan kesetiaan. Dan aku memilih kesetiaanmu di atas segalanya.”
Aruna terisak, menatapnya dengan hati yang hancur. Ia tidak tahu apakah harus membenci Leonardo… atau semakin terjerat dalam obsesi cintanya yang gelap.
Satu hal yang pasti—malam itu, di pelabuhan yang basah oleh darah, Aruna sadar: jalan pulangnya sudah tidak ada.