Amira 22 tahun menikah kontrak dengan Ferdi baskara untuk biaya kesembuhan ayah angkatnya.
Amira bar-bar vs Ferdi yang perfeksionis
bagaimana kisah tom and Jery ini berlangsung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23 Mau buat cucu
Amira melangkah pelan menuju ruang tengah. Jubah mandinya tipis, menyisakan kulitnya yang masih lembap, rambut hitamnya meneteskan aroma sampo segar. Ia tahu apa yang dilakukannya—setiap langkahnya penuh perhitungan.
Di ruang tengah, Laras duduk dengan wajah sembab, menangis diapit Anton dan Laudia. Tangisannya terdengar memilukan, seolah benar-benar kehilangan segalanya.
“Paman… aku tidak mau hidup lagi,” suara Laras bergetar. “Ayahku sudah tiada.” Isak tangisnya terdengar dramatis, membuat Laudia cepat-cepat merangkul bahunya.
“Yang sabar, Ras. Kamu pasti kuat. Kamu tidak sendirian,” ujar Laudia, suaranya halus tapi matanya melirik tajam ke arah Amira yang baru muncul.
Amira berdiri di hadapan mereka. Senyum tipis tersungging di bibirnya, lalu ia berkata tenang, “Suamiku sedang mandi. Biasalah… kalau habis bercinta memang harus mandi, kan? Dia itu tidak sabaran, harusnya nunggu malam. Tapi ya begitulah… memaksaku.” Ia mengibaskan rambut basahnya, seolah sengaja menantang Laras.
Laras mengepalkan tangan di pangkuannya. Kurang ajar! Ferdi semudah itu berpindah hati? hatinya berteriak, meski wajahnya tetap ditutupi air mata.
“Amira!” bentak Anton. Tatapannya menusuk, penuh amarah. “Laras sedang berduka, dan kamu tega sekali bicara hal tidak pantas begitu?”
Amira menaikkan dagunya. “Tidak pantas bagaimana? Aku dan suamiku sudah menikah. Itu bukan sesuatu yang memalukan. Itu kewajiban.” Nada suaranya dingin, membuat suasana menegang.
Laudia langsung menyambar. “Dasar pembohong! Ferdi tidak mungkin menyentuhmu. Dia hanya mencintai Laras! Semua orang tahu itu.”
Amira tersenyum sinis. “Kalau tidak percaya, nanti saja. Saat Ferdi keluar, lihatlah sendiri. Wajahnya pasti segar.”
“Omong kosong!” seru Laudia.
Ketegangan makin memuncak sampai Viona keluar dari kamar. Ia mendapati wajah Anton merah karena marah, Laudia berapi-api, dan Laras yang terisak.
“Ada apa ini?” tanya Viona.
“Ini loh, menantu kamu. Sikapnya tidak sopan, tidak punya empati. Laras sedang berduka, malah dipanasi,” kata Anton, penuh amarah.
Viona menghela napas panjang. “Kalian ini… memang belum pernah muda, ya? Pengantin baru itu wajar. Mereka memang tidak kenal waktu. Soal Laras, apa hubungannya dengan Amira? Lagian, Laras sudah bukan siapa-siapanya Ferdi.”
Ucapan itu seperti pisau menusuk Laras. Ia menunduk, giginya bergemeletuk menahan emosi.
“Kamu!” bentak Laudia. “Menantu dan mertua sama saja. Tidak tahu diri, tidak punya rasa kasihan.”
Tiba-tiba terdengar suara dari kamar. “Amiraaaaaa!” panggilan Ferdi bergema.
Amira menoleh, lalu menjawab dengan suara keras. “Apa sayangggg?”
“Handuknya mana?” teriak Ferdi dari kamar mandi.
Amira terkekeh kecil. “Duh, maaf suamiku. Mau ditemani mandi? Hmmm… dia memang selalu manja sama aku.” Ucapannya itu bagai bara dilempar ke hati Laras.
Anton menepuk meja. “Viona, ambilkan handuk buat Ferdi!”
Viona menatap tajam. “Ferdi sudah punya istri. Kenapa harus aku yang ambilkan?”
Anton semakin murka.
“Amira! Cepat layanin suamimu.” perintah viona mebuat hati Laras semakin panas
Amira tersenyum puas. “Baik, Mah. Memang dia selalu begitu. Mandi saja harus ditemani. Ya sudah, aku turuti.” Ia melenggang masuk kamar, meninggalkan aroma sampo menyengat yang semakin membuat Laras panas hati.
Anton, Laudia, dan Laras kompak menatap tajam kepergian Amira.
“Menantu kamu memang tidak tahu sopan santun,” ketus Laudia.
“Sudahlah,” ujar Viona, malas berdebat. “Tapi aku penasaran, sebenarnya kenapa kamu datang ke sini, Laras?” Nada suaranya ketus.
Anton langsung menyambar. “Kak Viona, Laras sedang berduka! Kenapa kamu sinis begitu?”
“Berduka kenapa?” tanya Viona datar.
“Bapak Laras meninggal. Dia datang ke sini karena tidak punya tempat tinggal,” jelas Anton.
“Oh…” Viona mengangguk ringan. “Aku turut berduka cita. Tapi seharusnya kita yang melayat, bukan Laras yang datang ke sini.” Suaranya tenang tapi sarat kecurigaan.
“Kamu memang keterlaluan!” seru Laudia, berdiri karena emosi.
Seketika suara langkah pelan terdengar. Renata masuk, auranya langsung menguasai ruangan.
“Ada apa ini?” tanyanya dengan wibawa.
“Ini Bu,” Anton cepat-cepat bicara. “Kak Viona sama sekali tidak punya empati pada Laras. Padahal Laras sedang berduka, malah dicurigai.”
Renata menatap Anton sejenak, lalu beralih ke Laras. Tatapannya tajam, menusuk. “Kenapa, Laras?”
Laras menunduk, suaranya lirih tapi cukup jelas. “Oma… maafkan aku. Mamah Viona pasti marah karena aku tidak hadir di pernikahan kemarin. Tapi itu karena aku mengurus ayahku yang sakit. Dan… sekarang beliau sudah tiada.” Laras menangis lagi, kali ini suaranya lebih dramatis. “Aku tidak punya siapa-siapa lagi, Oma. Aku sebatang kara.”
Suasana hening. Anton dan Laudia mengangguk-angguk, seolah membenarkan.
Renata menghela napas. “Aku turut berduka. Kapan ayahmu meninggal? Dimakamkan di mana? Aku harus datang takziah.”
Laras tercekat. Mampus! Aku harus jawab apa? Aku tidak menyiapkan kebohongan sejauh ini. Kuburan siapa yang harus aku tunjuk? Bodoh sekali, kenapa aku tidak memikirkan ini sebelumnya…
Ia terdiam, wajahnya semakin pucat.
Renata masih menunggu jawaban. Anton mulai gelisah, Laudia mencoba menutupi. Tapi tatapan Renata seperti pisau yang bisa mengupas kebohongan sampai ke tulang.
Ferdi… cepatlah keluar! Aku butuh penyelamat, batin Laras, panik.
Dari dalam kamar, suara gemericik air berhenti. Suara langkah berat Ferdi terdengar. Sesaat lagi, ia akan keluar, dan semua mata akan beralih padanya.
Laras menelan ludah, jantungnya berdegup cepat. Ini kesempatan terakhirku. Kalau aku tidak hati-hati, kebohonganku akan runtuh di depan semua orang.
“Laras…” suara Ferdi terdengar, matanya berbinar melihat wanita yang ia cintai berdiri di hadapannya. Sejenak Laras merasa lega, bisa mengalihkan pertanyaan Renata.
Namun, kelegaan itu berubah jadi ngeri. Mata Laras terbelalak ketika melihat rambut Ferdi masih basah, aroma sampo dan sabun menempel kuat di udara. Yang lebih memuakkan, di leher Ferdi tampak bercak merah, jelas bekas ciuman seorang perempuan.
Astaga… itu pasti Amira! batin Laras, darahnya mendidih.
“Ferdi, seharusnya kamu pakai baju berkerah,” ucap Viona santai tapi penuh sindiran. “Kenapa malah pakai kaos? Tanda cinta Amira masih jelas terlihat di lehermu.”
Ferdi tersentak, buru-buru menutupi lehernya.' Dasar vampir sialan! Pantas saja dia memaksaku mencium… ternyata ada Laras di sini.' ucap Ferdi dalam hati
Sementara itu, Laras berusaha menahan diri, air mata mengalir lagi. “Ferdi… maafkan aku tidak datang di hari pernikahanmu. Waktu itu aku harus mengurus ayahku yang sakit. Dan sekarang…” suaranya bergetar, “ayahku sudah tiada.”
Ferdi melangkah ingin menghampiri Laras, tapi langkahnya terhenti ketika suara Viona menyalak. “Amira, kenapa kamu begitu?” tanyanya, melihat Amira berjalan dengan langkah sedikit pincang.
“Mamah… tolong aku,” ucap Amira manja, pura-pura lemas.
Ferdi menatapnya penuh curiga. Laras langsung panas, hatinya terbakar melihat Amira menarik simpati di depan semua orang.
Viona berdiri, wajahnya khawatir. “Kamu kenapa, Sayang?”
Amira menunduk, lalu menjawab lirih, “Anak mamah… menggempurku lagi. Dia pengen cepat-cepat kasih cucu buat Mamah.”
Laras langsung mengepalkan tangannya. Kata-kata itu bagai racun, menusuk ke dadanya.
fer kecintaan buangttt ma Kunti