Keinginan untuk dipeluk erat oleh seseorang yang dicintai dengan sepenuh jiwa, merasakan hangatnya pelukan yang membungkus seluruh keberadaan, menghilangkan rasa takut dan kesepian, serta memberikan rasa aman dan nyaman yang tak tergantikan, seperti pelukan yang dapat menyembuhkan luka hati dan menenangkan pikiran yang kacau, memberikan kesempatan untuk melepaskan semua beban dan menemukan kembali kebahagiaan dalam pelukan kasih sayang yang tulus.
Hal tersebut adalah sesuatu yang diinginkan setiap pasangan. Namun apalah daya, ketika maut menjemput sesuatu yang harusnya di peluk dengan erat. Memisahkan dalam jurang keputusasaan dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30 : Pada Malam Yang Berbadai
"Aku butuh bantunamu.." ucap Fonix tiba-tiba. Keheningan terjadi di taman itu untuk sementara.
Gita tertawa kencang, Suara tawa sarkas Gita menggema di taman yang sunyi, kemudian tiba-tiba terhenti. Wajahnya yang cantik berubah menjadi dingin dan sinis, matanya memancarkan kebencian yang mendalam. Fonix menatapnya dengan mata yang penuh penyesalan, tapi Gita tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan emosi.
Gita berbalik badan memunggungi Fomix, "Ini menjadi tidak menarik.." Ucapnya, kemudian pergi menjauh.
Fonix menatapnya dengan harapan yang tipis, tapi Gita hanya terus berjalan menjauh, meninggalkan Fonix sendirian di taman yang sunyi.
Fonix menundukkan kepala, merasa keputusasaan yang semakin menghimpitnya. Ia tahu bahwa Gita tidak akan mudah memaafkannya, tapi ia tetap berharap bahwa Gita bisa membantunya demi Freya. Taman yang sunyi itu kembali menjadi sunyi, hanya suara burung kecil yang berkicau di antara ranting-ranting pohon yang memecahkan keheningan. Fonix berdiri tegak, menatap ke arah Gita yang semakin menjauh, merasa bahwa dirinya semakin terisolasi dan sendirian dalam perjuangannya untuk menyelamatkan Freya.
...***...
Samsak tinju yang menggantung di langit-langit sebuah ruangan, nampak telah lelah menerima pukulan yang tiada henti dari seorang gadis. Gita tidak berhenti memukuli samsak tersebut, demi menyalurkan emosinya. Bertahun-tahun ia mencoba untuk mengubur emosi ini, karena dia tau tidak akan bisa mengalahkan orang yang telah membuat adiknya celaka. Tapi kini, orang tersebut kembali hadir di hadapannya, dan berkata kalau dia butuh bantuan. Emosi yang Gita kubur selama bertahun-tahun, kembali meluap.
Samsak tinju itu tampak compang-camping, kulitnya yang tebal mulai robek di beberapa tempat. Gita terus memukuli samsak itu dengan keras, keringatnya membasahi wajah dan rambutnya. Ia tidak peduli dengan kelelahan yang dialaminya, yang penting adalah emosi yang meluap dari dalam dirinya bisa disalurkan. Setiap pukulan yang mengenai samsak tinju itu seolah-olah mengenai hati Gita sendiri. Ia berharap pukulan-pukulan itu dapat menghilangkan rasa sakit dan dendam yang telah membebaninya selama bertahun-tahun. Tapi, pukulan-pukulan itu tidak bisa menghilangkan kenangan akan adiknya yang telah pergi selamanya. Gita terus memukuli samsak tinju itu sampai ia kehabisan tenaga. Ia terhuyung-huyung, napasnya terengah-engah. Ia menundukkan kepala, membiarkan keringatnya menetes ke lantai. Ia tahu bahwa dirinya tidak akan pernah bisa melupakan apa yang telah terjadi, tapi ia berharap bahwa dengan menyalurkan emosi ini, ia bisa sedikit lebih tenang.
Tiba-tiba, Gita teringat akan kata-kata Fonix yang meminta bantuan. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri karena masih memikirkan orang yang telah membuat adiknya celaka. Ia tahu bahwa dirinya tidak akan pernah bisa memaafkan Fonix, dan sekarang ia hanya ingin melupakan keberadaan Fonix dari hidupnya.
Tidak lama, terdengar suara ketukan di pintu apartemennya. Gita menoleh ke arah pintu, matanya menyempit. Ia tidak mengharapkan tamu, apalagi setelah apa yang baru saja terjadi dengannya. Ia berjalan perlahan menuju pintu, mengintip melalui lubang intip.
Ketika ia melihat, tidak ada siapapun yang berada di balik pintu, Gita merasa sedikit heran dan curiga. Ia membuka pintu, dan tidak ada seorang pun di koridor apartemen. Ia melihat ke kiri dan ke kanan, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Tiba-tiba, Gita melihat sebuah kotak yang di letakan di lantai, tepat di depan pintu apartemennya. Ia mengambil kotak itu dan membuka isinya. Sebuah belati dengan ukiran yang indah. Belati itu memiliki bilah yang tajam dan ramping, dengan ukiran motif naga yang meliuk-liuk di sepanjang panjangnya. Gagang belati itu terbuat dari bahan kayu yang halus, dengan ukiran yang rumit dan detail. Mata naga pada gagang belati itu tampak seperti menatap tajam, seolah-olah siap menerkam mangsanya. Belati itu memiliki aura yang misterius dan berbahaya, seakan-akan dapat merasakan emosi dan niat penggunaannya. Ukiran pada belati itu tampak sangat detail, dengan motif yang sangat halus dan rumit, membuat belati itu terlihat sangat elegan dan mematikan.
Di dalam kotak tersebut juga terdapat sebuah surat yang di tujukan kepadanya.
'Aku menantangmu untuk bertarung secara pribadi, hidup dan mati. Dendam di antara kita sudah lama terjadi, dan sudah saatnya untuk mengakhiri ini. Gunakan belati itu untuk membunuhku. Itu jika kau bukan seorang pecundang. Akan kutunggu tengah malam ini. Puncak gedung terbengkalai di pinggiran kota.'
Meski tidak ada nama pengirimnya, Gita sudah tau siapa orang yang menulis ini semua. Gita merasa darahnya mendidih ketika membaca surat tantangan itu. Ia tahu bahwa Fonix tidak akan pernah menyerah, dan sekarang ia menantang Gita untuk bertarung secara pribadi. Gita merasa jijik dengan kata-kata Fonix yang menyebut dirinya pecundang jika tidak menerima tantangan itu.
Gita menatap belati yang ada di tangannya, dan ia merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk mengakhiri dendam di antara mereka. Ia tidak akan pernah memaafkan Fonix, dan sekarang ia memiliki kesempatan untuk membalas dendam adiknya.
Gita memutuskan untuk menerima tantangan itu, dan ia akan menggunakan belati itu untuk membunuh Fonix. Ia tidak akan menunjukkan belas kasihan kepada orang yang telah membuat adiknya celaka.
...***...
Tidak ada yang tau, bagaimana kondisi alam setiap harinya. Meski cuaca siang tadi teramat terik, hujan deras turun begitu lebat pada malam hari.
Gita melangkah keluar dari apartemennya, memasuki lorong gelap yang hanya diterangi oleh lampu neon yang berkelap-kelip. Ia membawa belati yang terasa berat di tangannya, aura kematian yang mengelilinginya seakan-akan membungkus dirinya dalam keheningan. Tujuan Gita adalah puncak gedung terbengkalai di pinggiran kota, tempat di mana Fonix menunggu dengan tantangan yang telah ia lontarkan. Hujan deras mulai turun, menghantam aspal jalan dengan kerasnya, menciptakan suara yang memekakkan telinga. Gita tidak peduli dengan hujan yang membasahi tubuhnya, ia terus melangkah maju dengan tekad yang kuat di dalam hatinya. Angin kencang berhembus, membawa serta suara gemuruh petir yang menggelegar di kejauhan.
Ketika Gita tiba di gedung terbengkalai, ia merasakan suasana yang mencekam. Bangunan tua itu berdiri dengan megah, meskipun telah terbengkalai selama bertahun-tahun. Gita memasuki gedung itu, melangkah melewati koridor yang gelap dan berdebu. Ia terus menaiki tangga yang berkarat, menuju ke puncak gedung di mana Fonix menunggu.
Di puncak gedung, Gita melihat sosok Fonix berdiri di tepi atap, menatap ke arah kota yang gelap gulita di bawahnya. Hujan deras terus turun, membasahi tubuh Fonix yang berdiri tegak dengan mata yang tajam menatap Gita.
"Hujan malam ini, terasa hangat.." ujar Fonix.
"Apa yang kau inginkan sebenarnya?" Tanya Gita. "Aku tau kau memiliku tujuan yang lain, dengan menantangku di sini." Ucap Gita.
"Kau benar, aku memiliki tujuan lain, dan aku membutuhkan bantunamu." Ucap Fonix.
"Itu lagi, apa yang membuat seorang pembunuh seperti Fonix Alverio Tantra, membutuhkan bantuan orang lain?" Sarkas Gita. Wajah dinginnya semakin cantik meski hujan membasahi rambutnya.
"Aku akan mengatakannya jika kau bisa mengalahkan ku." Ujar Fonix.
Gita berdecak. Gita melangkah maju, membawa belati yang siap digunakan untuk mengakhiri dendam yang telah membara selama bertahun-tahun. Pertarungan antara keduanya akan segera dimulai, dan hanya satu yang akan keluar sebagai pemenang.