Zayn Alvaro, pewaris tunggal berusia 28 tahun, tampan, kaya raya, dan dingin bak batu. Sejak kecil ia hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani kesepian dan harta yang tak ada habisnya. Cinta? Ia pernah hampir percaya—tapi gadis yang disayanginya ternyata ular berbisa.
Hingga suatu hari, asistennya datang dengan tawaran tak terduga: seorang gadis desa lugu yang bersedia menikah dengan Zayn… demi mahar yang tak terhingga. Gadis polos itu menerima, bukan karena cinta, melainkan karena uang yang dijanjikan.
Bagi Zayn, ini hanya soal perjanjian: ia butuh istri untuk melengkapi hidup, bukan untuk mengisi hati. Tapi semakin hari, kehadiran gadis sederhana itu mulai mengguncang tembok dingin di dalam dirinya.
Mampukah pernikahan yang lahir dari “pesanan” berubah menjadi cinta yang sesungguhnya? Ataukah keduanya akan tetap terjebak dalam ikatan tanpa hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang kampung
Mobil hitam berlapis kaca film 80 % itu melaju meninggalkan hiruk pikuk kota metropolitan. Di kursi penumpang, Alisha mengarahkan pandangannya keluar jendela, menyusuri pemandangan yang semakin lama semakin hijau. Jalan tol mulai berganti sawah, pepohonan, dan rumah-rumah sederhana. Ada perasaan hangat sekaligus cemas yang menguasai dirinya.
Alisha menoleh sekilas pada Zayn, pria yang kini duduk dengan tenang di sampingnya, menatap layar ponsel dengan wajah datar khasnya. Rasanya aneh, beberapa hari lalu ia hanya seorang pegawai butik yang berusaha keras bertahan hidup di kota besar. Kini, ia duduk di dalam mobil mewah bersama suaminya, pria miliarder yang namanya sering disebut-sebut di media.
“Masih gugup?” tanya Zayn tanpa menoleh, seolah bisa membaca kegelisahannya hanya dari desah napas yang berulang.
Alisha terlonjak kecil. “A-aku… hanya khawatir. Ibu pasti banyak bertanya nanti. Aku tidak tahu harus menjawab apa jika beliau—”
“Biarkan aku yang bicara.” Zayn akhirnya menoleh, menatap dalam matanya. Tatapan itu tenang tapi penuh otoritas. “Kau tidak perlu menjelaskan apapun. Aku cukup tahu bagaimana bersikap di depan keluargamu.”
Hati Alisha mencelos. Ia seolah ingin membantah, tapi juga tahu Zayn tak pernah main-main. Ada wibawa yang membuatnya akhirnya hanya mengangguk pelan.
___
Sesampainya di kampung, jalanan mulai berubah menjadi gang-gang kecil dengan aspal yang retak dan rumah-rumah beratap seng. Anak-anak kecil berlarian, menoleh kagum ke arah mobil mewah yang berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan dinding kayu dan teras mungil.
Alisha menarik napas dalam-dalam. “Ini rumahku,” gumamnya lirih, seolah takut Zayn akan menilai rendah.
Zayn menatap sekilas rumah itu. Tidak ada cemoohan, hanya tatapan datar yang sulit diterjemahkan. “Mari turun.”
Alisha membuka pintu, segera disambut suara lirih dari dalam rumah. “Alisha? Alisha, nak, itu kau?”
Seorang wanita paruh baya dengan pakaian lusuh keluar terburu-buru. Wajahnya jelas memperlihatkan lelah, namun senyumnya merekah begitu melihat anak perempuannya. “Alhamdulillah… kau pulang, Nak.”
“Ibu…” Alisha memeluk ibunya erat. Suara tangisnya pecah tanpa bisa ditahan. Berbulan-bulan ia menahan rindu, menahan beban sendiri di kota besar. Kini, dalam pelukan ibunya, semua dinding pertahanan itu runtuh.
Zayn berdiri di belakang, diam memperhatikan. Ada sesuatu dalam adegan itu yang menusuk dadanya—hangat sekaligus asing. Ia tidak pernah merasakan pelukan seorang ibu sejak kecil, dan kini, melihat Alisha begitu larut, hatinya bergetar tanpa ia sadari.
Ibu Alisha menoleh, memperhatikan pria tinggi berjas rapih itu. “Nak, ini… siapa?” tanyanya pelan, heran sekaligus canggung.
Alisha tercekat. Inilah momen yang ia takutkan sejak tadi. Bibirnya bergetar, namun kata-kata seolah terhenti di tenggorokan. Ia bingung harus memperkenalkan Zayn sebagai apa.
Sebelum Alisha sempat bersuara, Zayn melangkah maju. Dengan tenang, ia menundukkan kepala sedikit dan berkata, “Perkenalkan, Bu. Saya Zayn. Suami Alisha.”
Dunia seakan berhenti berputar. Alisha membelalakkan mata, tak menyangka Zayn akan berkata sejujur itu. Jantungnya berdentum keras.
Sementara itu, wajah ibunya memucat, lalu berubah menjadi haru. “S-suami? Alisha, benarkah ini?”
Alisha tak sanggup menjawab. Ia hanya bisa menatap Zayn, mencari penjelasan dari pria itu. Namun Zayn tetap tenang, bahkan meletakkan tangannya di bahu Alisha seolah ingin menegaskan kebenarannya.
“Benar, Bu. Kami menikah beberapa waktu lalu,” lanjut Zayn dengan suara dalam dan tenang. “Dan saya datang ke sini untuk menepati janji saya pada Alisha—membawa adiknya berobat. Saya akan pastikan ia mendapat perawatan terbaik.”
Air mata menitik di sudut mata ibu Alisha. Tangannya gemetar meraih tangan putrinya. “Alisha… jadi benar, Tuhan mengirimkan jodoh untukmu…”
Alisha tercekat, ingin berkata bahwa semua ini tidak seperti yang ibunya bayangkan. Bahwa pernikahan mereka hanyalah perjanjian, bukan cinta sejati. Namun, melihat wajah ibunya yang penuh syukur, ia menahan diri. Bibirnya terkatup rapat, hanya mampu tersenyum kecil, meski hatinya kacau.
Tak lama, dari dalam rumah terdengar suara batuk pelan. Seorang anak laki-laki kurus berusia sepuluh tahun keluar, tubuhnya tampak ringkih. “Mbak Alisha?”
“Bima!” Alisha segera berlari menghampiri adiknya. Ia memeluk tubuh kurus itu erat-erat. “Kau semakin kurus…”
Bima tersenyum kecil, meski wajahnya pucat. “Aku senang sekali Mbak pulang. Siapa… siapa yang datang bersama Mbak?”
Zayn maju, menundukkan tubuhnya sedikit agar sejajar dengan tatapan Bima. “Aku Zayn. Kakakmu bilang kau harus mendapat pengobatan terbaik. Mulai hari ini, kau tidak perlu khawatir mengenai itu. Aku akan mengurus semuanya.”
Bima terdiam, matanya berbinar-binar. “Benarkah, Kak?”
Alisha menatap Zayn tak percaya. Kata-kata pria itu terdengar begitu tulus, seolah ia benar-benar peduli. Hatinya campur aduk antara lega dan bingung.
Zayn menepuk lembut bahu Bima. “Benar. Kita akan berangkat ke rumah sakit terbaik besok. Kau akan sembuh, Bima.”
.....
Malam itu, setelah makan malam sederhana bersama, Alisha duduk di teras rumah. Lampu bohlam kecil menggantung, cahayanya temaram. Udara kampung yang sejuk membawanya ke masa kecil, penuh kenangan.
Zayn keluar menyusul, berdiri di sampingnya. “Kau merasa tenang?”
Alisha menoleh sekilas. “Aku… bingung, Zayn. Kenapa kau bilang pada ibu jika kita suami istri sungguhan?”
Zayn menatap langit yang bertabur bintang. “Karena itu kenyataannya. Kau istriku di mata hukum, Alisha. Aku hanya menyebutkan yang benar.”
“Tapi… perjanjian kita—”
“Perjanjian itu urusan kita,” potong Zayn dingin namun tenang. “Ibumu tidak perlu tahu. Lagipula, bukankah kau ingin ibumu bahagia?”
Alisha terdiam. Hatinya seperti ditarik ke dua arah. Ia tahu Zayn benar. Melihat ibunya tersenyum tadi, ada kelegaan yang belum pernah ia rasakan. Namun, di sisi lain, ia takut perasaan itu akan menjeratnya lebih dalam.