Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.
Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.
Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.
Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.
Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.
Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18. TAKUT
Deru mesin mobil berhenti di halaman. Lampu depan menembus pekat malam, menyapu gerbang yang kokoh dan sosok hitam yang masih berdiri di sana. Davian menatap monitor CCTV dengan wajah yang semakin mengeras, melihat bagaimana Peter keluar dari mobil bersama dua orang lelaki berpakaian hitam lainnya.
Ketiganya berjalan sigap, seolah tahu bahwa setiap detik malam itu bisa menjadi penentu.
Davian membuka pintu besar rumahnya, berdiri tegap di depan beranda, tubuhnya diliputi kewaspadaan.
"Peter." Suaranya dalam dan tegas.
Peter mendongak, menatap sosok majikannya dengan sorot penuh kesiapan. "Aku sudah lihat, Dav. Orang itu berdiri tanpa bergerak. Mau saya dekati?"
Davian menimbang sejenak. Di layar CCTV tadi, sosok itu memang tak bergeming. Namun begitu lampu mobil Peter menyorotinya, bayangan hitam itu perlahan melangkah mundur. Satu, dua langkah ... kemudian berlari ke kegelapan.
"Kejar!" perintah Davian cepat.
Tanpa menunggu, Peter dan kedua orangnya berlari menembus gerbang, mengikuti bayangan itu yang kini melesat ke jalan sepi di luar.
Davian masih berdiri di beranda, tubuhnya kaku seperti patung marmer. Matanya mengawasi setiap gerak, telinganya menangkap langkah-langkah yang semakin menjauh. Namun dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa orang itu tidak datang hanya untuk lewat. Ada maksud lain, dan kepergian cepatnya hanyalah tanda bahwa ia tak ingin identitasnya diketahui.
Tak lama kemudian, Peter kembali. Napasnya terengah, wajahnya serius.
"Dia hilang. Begitu masuk ke jalan sempit, kami kehabisan jejak. Sepertinya sudah disiapkan jalan keluar," kata Peter dengan wajah kesal karena kehilangan targetnya.
Davian mengepalkan rahang. "Berarti dia memang mengintai. Bukan kebetulan."
Peter mengangguk, matanya penuh kewaspadaan. "Aku akan menambah penjagaan di sekitar rumah. Malam ini, dua orang akan bergiliran berjaga di depan gerbang. Kami juga bisa pasang kamera tambahan di beberapa sudut."
"Tolong, lakukan." Suara Davian datar namun dingin. "Aku tidak mau ada satu pun bayangan asing yang bisa mendekat ke rumah ini lagi."
Setelah memberi instruksi, Davian kembali masuk ke dalam. Langkahnya naik ke lantai dua terasa berat, bukan karena lelah, melainkan karena beban pikiran yang semakin menumpuk. Di balik pintu kamarnya, ia tahu Olivia menunggu, ketakutan memeluknya erat.
Ia berhenti sejenak di depan pintu, mengetuk pelan.
"Olivia?" panggilnya lembut, berbeda dari nada tegasnya barusan. "Ini aku. Buka pintunya."
Butuh waktu beberapa detik sebelum terdengar bunyi kunci diputar. Pintu terbuka perlahan, dan Davian melihat Olivia berdiri di sana dengan wajah pucat, mata sembab, dan tubuh yang gemetar. Cassandra sudah tertidur kembali di gendongannya, meski sesekali bayi itu menggerakkan bibir mungilnya.
Davian menatap dalam-dalam, lalu masuk, menutup pintu di belakangnya.
Olivia melangkah mundur, duduk di tepi ranjang sambil tetap memeluk bayi kecil itu. Nafasnya masih berat, matanya berair.
"Apa ... apa dia masih di luar?" tanyanya lirih, nyaris tak terdengar.
Davian mendekat, berlutut agar sejajar dengan wajahnya. Ia menggeleng pelan, mencoba menenangkan.
"Tidak. Peter sudah mengejar, tapi orang itu kabur," jawab Davian.
Olivia menutup mulut dengan tangan, tubuhnya bergetar semakin keras. "Aku ... aku takut ... takut sekali ...."
Davian menaruh tangannya di atas tangan Olivia yang gemetar, menekannya lembut. Tatapannya serius, penuh keteguhan. "Kau aman di sini. Tidak ada yang bisa masuk. Selama aku ada, kau tidak perlu takut."
Namun Davian tahu ketakutan Olivia tidak bisa hilang begitu saja. Ia melirik ke arah meja samping, lalu berdiri.
"Tunggu sebentar," ucap Davian.
Davian membuka pintu samping kamar, memanggil pelan orang yang kini tak jauh dari ruangan pribadi Davian, sedang bicara bersama dengan Peter.
"Emily?" panggil Davian.
Tak lama, seorang wanita muda muncul. Wajahnya sedikit mengantuk, namun penuh kekhawatiran saat tahu apa yang terjadi dari Peter.
"Ya, Sir," jawab Olivia.
"Bantu Olivia sebentar. Bawa Cassandra ke kamarnya, biarkan dia tidur di sana. Aku ingin Olivia punya waktu menenangkan diri," pinta Davian.
Emily mengangguk cepat. Ia mendekat, meraih bayi kecil yang sudah kembali lelap dari pelukan Olivia. Dengan sedikit ragu, Olivia akhirnya menyerahkan Cassandra, meski tatapannya masih terikat erat pada bayinya.
"Tenang, Miss. Saya akan menjaganya," bisik Emily lembut.
Olivia hanya mengangguk, masih sulit bersuara. Ia tahu kalau dirinya belum cukup tenang untuk mengurus Cassandra, yang mana justru akan membuat bayi kecil itu menangis karena merasakan keresahan dari Olivia.
Begitu Emily keluar membawa Cassandra, Davian menuangkan segelas air putih dari botol di meja, lalu menyerahkannya pada Olivia.
"Minumlah. Kau harus tenang," suruh Davian.
Olivia menerima dengan tangan gemetar. Setiap teguk terasa seperti batu yang menuruni tenggorokannya, namun perlahan napasnya sedikit lebih teratur.
Davian duduk di kursi di depan ranjang, menatapnya dengan intensitas yang hanya dimiliki pria yang terbiasa menghadapi bahaya.
"Sekarang ceritakan padaku," katanya perlahan. "Sejak kapan kau melihat orang itu?"
Olivia menunduk, jari-jarinya memainkan gelas yang hampir kosong. Bibirnya bergetar.
"Aku ... aku sudah melihat beberapa kali. Mungkin ... tiga hari lalu. Aku pikir ... hanya orang lewat. Atau pekerja yang salah jalan." Ia menelan ludah, matanya berair. "Tapi malam ini dia tidak pergi. Dia berdiri lama sekali. Menatap ke jendela kamar ... tempat aku dan Cassandra," jawab Olivia suaranya terputus-putus.
Davian merasakan dadanya sesak mendengar kalimat itu. Ada semacam bara amarah yang menyala di balik ketenangannya.
"Kenapa kau tidak bilang dari awal?" tanyanya lembut, tapi dengan tekanan yang jelas.
Olivia menggeleng cepat, rambut panjangnya terurai menutupi wajah. "Aku takut ... kau akan berpikir aku berhalusinasi. Kau tahu kalau aku ... gila ...," suaranya pecah, tidak sanggup melanjutkan.
Davian menarik napas panjang, lalu duduk di sampingnya. Ia meraih dagu Olivia, mengangkat perlahan hingga mata mereka bertemu.
"Olivia, mulai sekarang, apa pun yang kau lihat, sekecil apa pun itu, katakan padaku. Aku tidak peduli apakah itu nyata atau tidak. Aku perlu tahu. Dan jangan sebut lagi kalau dirimu gila, oke. Kalau kau gila kau tidak akan berlari mencariku dan melindungi Cassandra. Kau tidak gila, kau hanya terlalu mudah panik," ucap Davian lembut namun tegas.
Mata Olivia berkaca-kaca. Ia hanya mampu mengangguk kecil, tubuhnya masih gemetar namun hatinya sedikit hangat oleh kepastian dalam suara pria itu.
Tak lama kemudian, pintu kembali diketuk.
"Davian?" suara Peter terdengar.
Davian bangkit, membuka pintu. Peter masuk, menatap Davian sebelum melirik ke arah Olivia yang masih duduk pucat.
"Ada jejak sepatu di jalan tanah dekat gerbang. Tapi hilang begitu masuk ke aspal. Orang itu tahu medan. Saya akan menambah orang berjaga, seperti yang kau perintahkan," lapor Peter cepat.
Davian mengangguk. "Pastikan tidak ada celah. Rumah ini harus aman, terutama kamar atas."
Peter menatap Olivia sejenak, lalu kembali pada Davian. "Kalau boleh tahu, sejak kapan kau melihat sosok itu, Olivia?"
Davian menoleh ke Olivia, memberi isyarat agar ia menjawab.
Olivia menggenggam erat gelas di tangannya. "Be-beberapa hari lalu. Aku ... aku pikir tidak penting. Aku takut ... aku hanya berlebihan," ucapnya terbata.
"Bukan hal kecil. Setiap detail penting. Apalagi jika menyangkut keamananmu dan Cassandra," ucap Peter dengan nada pelan, tak ingin membuat Olivia panik.
Olivia menutup wajah dengan tangannya, rasa bersalah bercampur ketakutan.
Davian menaruh tangannya di bahu wanita itu, menenangkannya. "Sudah cukup. Aku akan urus sisanya."
Setelah Peter keluar lagi untuk mengawasi penjagaan, kamar kembali sunyi. Olivia duduk, menatap lantai kosong, tubuhnya masih tegang.
Davian mendekat, meraih selimut di ranjang, lalu menaruhnya di atas bahu Olivia.
"Istirahatlah di sini. Aku akan berjaga malam ini," suruh Davian.
Olivia mengangkat wajahnya, tatapannya penuh keraguan.
Pria itu menatapnya, sorot matanya tegas namun hangat. "Kalau dia kembali, aku yang akan menyambutnya. Dan aku pastikan dia tidak akan pernah bisa menyentuhmu atau Cassandra. Jadi kau bisa istirahat dengan tenang."
Suasana kamar hening, hanya napas mereka berdua yang terdengar. Perlahan, Olivia merebahkan diri di tempat tidur, tubuhnya masih gemetar, namun untuk pertama kalinya malam itu ia merasa sedikit aman.
Di luar, angin berembus dingin, membawa bisikan yang seolah mengingatkan, bayangan yang datang malam ini bukan yang terakhir.
Namun Davian tahu satu hal: ia siap.
Dan siapa pun yang berani mengusik, akan berhadapan dengannya. Davian tidak senang jika ada yang mengganggu orang-orang di rumahnya.
Casie mungkin anaknya Davian dengan Olivia?,,dan mungkin ini semua permainan Raymond?
kau yang berjanji kau yang mengingkari
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi